"Pertanyaan apa, anak muda?"
   Lelaki itu beberapa antaranya terdiam. Ia berkata setelah merasa tenang.
   "Mengapa aku tidak dilahirkan di Palestina? Supaya jelas siapa musuhku, mereka bangsa Israel yang merampas tanah negeriku! Mengapa aku tidak hidup sebagai orang kulit hitam legam di Afrika Selatan? Agar aku bisa melawan kaum apartheid bersama-sama Nelson Mandela untuk memperjuangkan derajat kemanusian yang dibedakan warna kulit putih-hitam! Mengapa aku tidak dilahirkan di zaman Pangeran Diponegoro, Tjut Nyak Dhien, Imam Bonjol, Kapitan Pattimura agar aku ikut berperang melawan Belanda yang menjajah tanah airku!"
   "Di sini, sekarang, tidak jelas siapa yang harus kulawan."
   Kakek tua manggut-manggut lagi.Â
   Udara kian hangat. Matahari telah merambat naik di langit. Cahaya amat terang di perbukitan itu. Kesunyian menggenang.
   "Akan kusampaikan pertanyaanmu itu, anak muda. Oh, jika kamu tak yakin aku ini malaikat, tak apalah. Bahkan kamu menganggap aku alien atau orang gila atau jin atau hantu, bukan soal bagiku. Setidaknya, kurasa, aku akan dengan senang mendengarkan selanjutnya kata-katamu."
   Setelah menarik napas dalam-dalam, lelaki itu melanjutkan.
   "Ayahku pejuang reformasi. Dia ikut demonstrasi, berorasi, berhadap-hadapan dengan polisi. Sampai dia duduk di atap gedung parlemen untuk menghentikan KKN para penyelenggara negara. Itu singkatan korupsi, kolusi, nepotisme. Dua puluh tahun setelah itu, perjuangannya seperti lenyap tak berbekas. Korupsi semakin merajalela dimana-mana, kolusi tumbuh subur dan terbuka, nepotisme tanpa malu-malu semakin menjadi-jadi."
   "Mendadak kehidupan beragama kami terusik. Ulama sedang berceramah dianiaya. Adzan berkumandang dianggap mengganggu ketenteraman. Sementara penista agama dibiarkan begitu saja, para pemuka agama malah masuk penjara."
   "Kami tak lagi menemukan teladan. Anehnya, para pejabat kami suka berdusta. Mereka gemar menebar janji tanpa pernah ditepati. Bicara ngasal tanpa akal, jauh dari kesan intelektual."