Saya masih ingat apa yang dikatakan dosen saya saat kuliah dulu. “Suatu saat, orang akan menanam padi di atap, di laci. Kenapa? Karena lahan untuk menanam habis dek! Makanan kita bisa jadi hanya kapsul, seperti di film-film.”
Saat itu, ucapan beliau terdengar layaknya candaan. Namun, semakin saya memikirkannya, semakin masuk akal. Masa itu, vertical garden mulai populer di Indonesia. Konsep itu seakan memberi justifikasi bahwa apa yang beliau katakan suatu saat bisa terjadi.
Ingatan saya pun melayang ke sebuah film lawas, Soylent Green, yang dirilis pada 1973. Film itu mengambil setting masa depan. Dalam ceritanya, dunia mengalami over populasi pada tahun 2022. Imbasnya, pangan langka, dan masyarakat dipaksa bertahan hidup dengan makanan sintetis berbentuk tablet.
Meski skenario itu belum sepenuhnya terjadi di 2022 lalu, namun ancaman itu nyata. Ledakan populasi, dalam konotasi negatif, akan menjadikan lahan semakin habis terbangun. Dan cerita film itu bisa jadi kenyataan, jika sumber daya tanah tidak dikelola dengan prinsip berkelanjutan.
Dampaknya tentu tidak main-main. Tanah subur untuk bercocok tanam musnah. Lahan untuk budidaya ikan pun habis tak bersisa. Pangan sebagai kebutuhan dasar masyarakat bisa-bisa tak terpenuhi.
Karena itu, tidak ada jalan lain. Praktik pengelolaan lahan yang adil dan berkelanjutan harus diterapkan. Tidak bisa tidak!
Ketahanan Pangan dan Badan Bank Tanah
Pangan, sebagai salah satu pilar kesejahteraan masyarakat, tidak hanya diartikan makanan pokok saja, seperti beras atau sagu. Namun juga makanan bergizi dan aman untuk dikonsumsi.
Ketahanan pangan menjadi salah satu misi utama pemerintah saat ini. Secara teori, ketahanan pangan bukan hanya soal ketersediaannya. Tapi juga distribusi yang adil, kemampuan masyarakat untuk mengaksesnya, serta keberlanjutan produksi.
Di tengah perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan pola konsumsi yang terus meningkat, ketahanan pangan menjadi tantangan yang kompleks. Tak berhenti di sana, ketahanan pangan juga terancam karena isu sosial-ekonomi dan degradasi lahan.
Di satu sisi, banyak lahan produktif dialih-fungsikan menjadi kawasan pemukiman atau industri. Di sisi yang lain, lahan produktif justru terlantar karena adanya konflik kepemilikan.
Pada titik ini, pengelolaan lahan yang adil dan berkelanjutan menjadi salah satu solusi. Ada beragam instrumen dalam konsep pengelolaan lahan berkelanjutan. Termasuk didalamnya land banking atau bank tanah.
Bank tanah adalah mekanisme pengelolaan lahan yang tidak hanya digunakan sekarang, namun juga “ditabung” untuk keperluan mendatang.
Bank tanah yang dikelola dengan baik akan memastikan alokasi yang seimbang (land allocation) dan harga lahan yang kompetitif (land price control).
Salah satu implementasi nyata dari konsep land banking adalah pembentukan Badan Bank Tanah (Indonesia Land Bank Authority) oleh Pemerintah pada akhir 2021 lalu.
Badan ini berperan untuk mengatur lahan-lahan negara yang terlantar, tidak bertuan, tanah bekas hak, dan tanah lainnya sesuai penetapan pemerintah.
Badan ini juga bisa melakukan perjanjian dengan pihak lain, entah dalam bentuk hibah, tukar-menukar, pembelian, atau mekanisme sah lainnya. Semuanya lengkap diatur dalam Peraturan Pemerintah No.64 Tahun 2021.
Per awal 2025, lembaga non profit ini telah mengelola lahan seluas 33.115,6 hektar di 45 kabupaten dan kota. Beberapa di antaranya telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum, pemerataan ekonomi, juga reforma agraria.
Badan Bank Tanah memiliki tanggung jawab utama untuk mengelola dan memanfaatkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dimiliki negara. Tanah negara yang masih produktif, dimanfaatkan untuk kepentingan pemerataan ekonomi. Termasuk untuk mendukung ketahanan pangan (Pasal 17 huruf x).
Lahan tambak produktif di Desa Tengkurak, Kec. Tirtayasa, Kabupaten Serang misalnya. Lahan seluas 7,5 hektar ini, kini dikerja samakan dengan BUMDes setempat dengan skema Hak Guna Usaha (HGU). Oleh lembaga desa, lahan itu dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya ikan bandeng dan rumput laut.
Pemanfaatan lahan di Desa Tengkurak ini menunjukkan bagaimana pengelolaan lahan yang tepat dapat mendukung ketersediaan pangan lokal sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Perlu dicatat, Badan Bank Tanah tidak memperoleh lahan secara serampangan. Ada sejumlah mekanisme yang memastikan tanah tersebut memang dapat dikelola oleh Badan Bank Tanah.
Justru, Badan Bank Tanah menjamin adanya kepastian hak atas tanah bagi masyarakat. Atau dengan kata lain, Badan Bank Tanah menghempaskan rasa was-was akan konflik lahan.
Misal dalam kasus lahan tambak, masyarakat sudah menabur benih ikan untuk pembesaran. Setelah masa panen tinggal menghitung hari, ada klaim pihak lain perkara lahan itu. Konflik lahan pun terjadi, dan usaha yang sudah dilakukan menjadi sia-sia. Alih-alih meraup untung, petambak harus berurusan dengan hukum.
Badan Bank Tanah: Instrumen Pendongkrak Kesejahteraan Masyarakat Desa
Berikan kailnya, jangan ikannya! Kerjasama Badan Bank Tanah dengan BUMDes Berdikari Serang ini bukan sekadar ungkapan semata. Namun begitulah adanya. Litterally.
Badan Bank Tanah menjemput bola dengan menawarkan pengelolaan pada pihak desa agar lahan produktif itu tidak terlantar. Dan menurut saya, ini adalah langkah cerdas!
Kenapa? Karena kerjasama ini menegaskan jika Badan Bank Tanah juga bisa menjadi instrumen sekaligus katalis kesejahteraan masyarakat.
Kita tahu bahwa salah satu penggerak ekonomi masyarakat desa adalah BUMDes. Dengan adanya dana desa, desa diharapkan mampu mengelola potensi desanya menjadi semakin bernilai ekonomi dan mensejahterakan warganya.
Bicara kesejahteraan tentu banyak indikatornya. Badan Pusat Statistik dalam rilis buku terbarunya, Welfare Indicators 2024, mengelompokkan parameter kesejahteraan pada delapan aspek. Empat di antaranya adalah kesehatan dan gizi, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, juga kemiskinan.
Salah satu misi Desa Tengkurak yang tertuang dalam RPJM-desa adalah "menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan perekonomian perdesaan." Sebagai desa pesisir, mereka mengamini jika potensi terbesarnya adalah dari sektor perikanan.
Maka ketika BUMDes sebagai badan usaha yang memberdayakan ekonomi desa ditawari untuk mengelola lahan tambak Badan Bank Tanah, empat tangga kesejahteraan itu dapat ditapaki sekaligus. Walau tentu jalannya setapak demi setapak.
Dari sektor kesehatan dan gizi, yang juga erat kaitannya dengan ketahanan pangan. Pihak desa mampu memproduksi, mendistribusikan, juga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan hasil budidayanya. Poin ini juga erat kaitannya dengan peningkatan taraf dan pola konsumsi.
Studi United Nation pada kisaran 2020-an juga menyatakan hal serupa:
Aquaculture can improve food security and nutrition by increasing the amount of seafood available for people to eat. - UN
Kemudian, seperti publikasi United Nation lainnya, pengembangan sektor perikanan dinilai dapat menguatkan pertumbuhan ekonomi di pedesaan maupun pesisir. Penguatan ekonomi ini akan menunjang indikator kesejahteraan yang lain, yaitu kemiskinan.
Kemiskinan akan menurun seiring dengan adanya pengurangan pengangguran dan peningkatan kesempatan kerja. Melalui video Badan Bank Tanah yang ditayangkan di Instagram, Usman, warga Desa Tengkurak mengaku bersyukur karena bisa bekerja menunggu tambak di lahan Badan Bank Tanah ini.
Jika kemiskinan menurun, sektor lain akan terdampak positif. Seperti pendidikan anak akan meningkat, kesehatan keluarga lebih diperhatikan, dan sederet efek positif lainnya.
Dengan begitu Badan Bank Tanah sukses mengelola lahan negara, memberdayakan ekonomi dan masyarakat lokal, pun meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.
Bukankah ini definisi memberikan kail, dan bukan ikan? :) Kondisi seperti ini akan bermanfaat jika direplika di kabupaten atau kota lain. Harapannya, Badan Bank Tanah semakin banyak memberikan tanah HPL-nya agar dikelola masyarakat desa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI