Di satu sisi, banyak lahan produktif dialih-fungsikan menjadi kawasan pemukiman atau industri. Di sisi yang lain, lahan produktif justru terlantar karena adanya konflik kepemilikan.
Pada titik ini, pengelolaan lahan yang adil dan berkelanjutan menjadi salah satu solusi. Ada beragam instrumen dalam konsep pengelolaan lahan berkelanjutan. Termasuk didalamnya land banking atau bank tanah.
Bank tanah adalah mekanisme pengelolaan lahan yang tidak hanya digunakan sekarang, namun juga “ditabung” untuk keperluan mendatang.
Bank tanah yang dikelola dengan baik akan memastikan alokasi yang seimbang (land allocation) dan harga lahan yang kompetitif (land price control).
Salah satu implementasi nyata dari konsep land banking adalah pembentukan Badan Bank Tanah (Indonesia Land Bank Authority) oleh Pemerintah pada akhir 2021 lalu.
Badan ini berperan untuk mengatur lahan-lahan negara yang terlantar, tidak bertuan, tanah bekas hak, dan tanah lainnya sesuai penetapan pemerintah.
Badan ini juga bisa melakukan perjanjian dengan pihak lain, entah dalam bentuk hibah, tukar-menukar, pembelian, atau mekanisme sah lainnya. Semuanya lengkap diatur dalam Peraturan Pemerintah No.64 Tahun 2021.
Per awal 2025, lembaga non profit ini telah mengelola lahan seluas 33.115,6 hektar di 45 kabupaten dan kota. Beberapa di antaranya telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum, pemerataan ekonomi, juga reforma agraria.
Badan Bank Tanah memiliki tanggung jawab utama untuk mengelola dan memanfaatkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang dimiliki negara. Tanah negara yang masih produktif, dimanfaatkan untuk kepentingan pemerataan ekonomi. Termasuk untuk mendukung ketahanan pangan (Pasal 17 huruf x).
Lahan tambak produktif di Desa Tengkurak, Kec. Tirtayasa, Kabupaten Serang misalnya. Lahan seluas 7,5 hektar ini, kini dikerja samakan dengan BUMDes setempat dengan skema Hak Guna Usaha (HGU). Oleh lembaga desa, lahan itu dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya ikan bandeng dan rumput laut.