Hampir setahun yang lalu, tepatnya 20 Februari 2024, Harian Kompas edisi cetak menerbitkan artikel berjudul "Hunian Murah Impian Kelas Menengah".
Artikel itu menandai jika di kehidupan nyata kelas menengah juga mengidamkan rumah dengan harga terjangkau. Karena spektrum penghasilan kelas menengah ini cukup variatif, mereka yang berpenghasilan dibawah 7 juta bisa dipastikan masih struggle untuk membeli rumah. Termasuk saya pribadi.
Bila rumah dianggap sebagai parameter kesejahteraan, maka sebagian dari kelas menengah masih belum dapat dikatakan 'sejahtera'. Fenomena ini memperlihatkan tantangan besar dalam penyediaan hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah.
Kata undang-undang, penyedian perumahan dan permukiman menjadi urusan wajib bagi pemerintah. Implikasinya, pemerintah terus menggagas beragam instrumen untuk menyediakan rumah layak dan terjangkau. Salah satunya dengan konsep land banking.
Lewat Badan Bank Tanah, Denyut Harapan Itu Masih Berdetak
Land banking atau bank tanah bukanlah konsep baru. Mudahnya, bank tanah adalah mekanisme akuisisi lahan, lalu "menabungnya" sebagai bagian dari ketersedian lahan. Bank tanah dikategorikan sebagai bagian dari praktek SLM (sustainable land management).
SLM adalah metode yang mengkonservasi dan menggunakan lahan dengan menyelaraskan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Praktek ini memungkinkan pengelolaan lahan dengan adil dan berkelanjutan.
Idealnya, bank tanah dapat memastikan alokasi lahan secara optimal (land allocation), dapat mengontrol fluktuasi harga lahan (land price control), juga dapat membantu mengamankan lahan untuk kebutuhan pembangunan kedepan (land development).
Bank tanah yang dikelola dengan bijak pada akhirnya bermanfaat untuk meningkatkan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih terarah.
Mengingat manfaatnya, per 2021 lalu, pemerintah Indonesia membentuk badan khusus yang menangani pengelolaan lahan, yang dinamai Badan Bank Tanah atau Indonesia Land Bank Authority.