Untuk sementara, tak apalah kita bermimpi dulu. Semoga suatu saat, kota-kota kita menjadi lebih peduli lingkungan dengan sistem pergerakan yang terintegrasi dan mengedepankan transportasi publik untuk semua kalangan. Termasuk bersepeda.
Menilik Amsterdam sebagai bahan bermimpi
Rasanya, kota kita juga belum ada yang sepadan untuk dibandingkan dalam skala 11-12 dengan Kota Amsterdam. Kota pelopor pertama peningkatan lifestyle bersepeda hingga ke komunitas terkecil: rumah tangga. Jauh, jauh sekali. Jika dibandingkan dengan Kota Taipe saja, kita juga masih tertinggal di belakang. Entah kota-kota kita diurutan berapa. Sangat jauh jika dibandingkan dengan kota-kota di dunia.
Have to laugh when people attempt to argue the Netherlands isn’t good for sports cycling. There’s a huge network of cycle-only roads, as well as the entire road network. It’s brilliant pic.twitter.com/NRIEi4dPPE— Mark Treasure (@AsEasyAsRiding) September 9, 2018
Amsterdam, kota yang dijuluki cycling capital of the world. Kota itu tidak lagi menjadikan bersepeda sebagai lifestyle, namun telah menancapkan sepeda sebagai budaya. Lekat dengan aktivitas sehari-hari. Pemerintah kotanya gencar mempromosikan sepeda sebagai moda transportasi utama.
Bahkan, kegiatan bersepeda itu menjadi bagian dari sektor industri pariwisata yang menunjang ekonomi nasional. Tak sedikit, setiap tahun menghasilkan 2.4 Milyar euro.
The Netherlands’ rural cycling network could be the eighth wonder of the world: thousands of miles of smooth, signed, scenic, separated paths connecting every remote corner of the country.
The result? A cycle tourism industry worth €2.4 billion annually to the national economy. pic.twitter.com/uGH2MdVQQ6— Melissa & Chris Bruntlett (@modacitylife) May 14, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H