Oleh karena itu, Ibnu Qudamah mengatakan, "Praktik ini dibenarkan dan begitu populer. Rasulullah melakukannya hingga beliau meninggal dunia. Lalu, para Khulafa Ar-Rasyidin berikut keluarga mereka juga demikian. Penduduk yang menetap di Madinah juga melakukannya, tanpa terkecuali, termasuk para istri Nabi sepeninggal beliau" (Al-Mughni, 5/310).
Begitulah muzaraah yang benar, berdasarkan kesepakatan hasil panen. Adapun jenis muzaraah yang tidak benar adalah bila masing-masing pihak, pemilik dan penggarap, menentukan bagian masing-masing, seperti bagian tanah tertentu atau sekian meter dari keseluruhan lahan yang digarap, maka muzaraah seperti ini tidak sah. Sebabnya adalah adanya ketidakjelasan yang mengarah pada percekcokan (Fiqh As-Sunnah, 3/166).
Rafi' bin Khudaij mengatakan, "Dulu kami adalah penduduk Madinah yang paling banyak memiliki kebun. Kami menyewakan tanah dengan jatah salah satu sisinya yang disebut dengan jatah pemilik tanah. Lalu, bisa jadi bagian itu tertimpa musibah sedangkan bagian tanah lainnya selamat. Atau, keseluruhan tanah terkena musibah, sedangkan bagian tadi selamat. Kami pun dilarang melakukan (dengan cara) itu," katanya lagi (HR Al-Bukhari, 2.327).
Masih dari Rafi' bin Khudaij, ia menuturkan, "Dulu orang-orang bekerja sama mengelola lahan dengan upah tanaman yang tumbuh di pinggir sungai, bagian depan saluran air, dan beberapa tanaman. Lalu, sebagian ada yang rusak, sebagian selamat. Saat itu, masyarakat tidak mengenal cara bekerja sama, kecuali dengan cara ini. Karena itu, cara ini dilarang. Adapun dengan bagian yang diketahui dan terjamin, tidak mengapa" (HR Muslim, 1.547).
Dalam Al-Qawa'id An-Nuraniyah Al-Fiqhiyah, (HR Muslim, 1/241) Ibnu Taimiyah menyebutkan dua riwayat pendukung. Pertama, dari Kulaib bin Wail. "Aku pernah mendatangi Ibnu Umar," tuturnya, "Kukatakan padanya bahwa ada seorang pemilik tanah dan sumber air yang mendatangiku. Ia tidak memiliki benih dan sapi. Aku meminta separuh bagian atas benih yang kutanam dan garapan sawah oleh sapiku. Ia pun memberiku separuh hasilnya. Ibnu Umar berkomentar, "Bagus." Kedua, dari Said bin Ubaid. Ia berkisah, "Seorang pria datang menemui Salim bin Abdullah bin Umar. Ia mengatakan, 'Ada seorang pria di antara kami mendatangi pria lain lalu berujar, 'Aku membawa benih dan sapi untuk menggarap tanahmu. Apa yang Allah keluarkan dari hasil itu, kau ambil sekiannya dan aku ambil sekiannya.' Salim mengatakan, 'Tidak masalah. Kami pun dulu melakukannya."
Tidak jauh berbeda dengan muzaraah, adapula sistem kerja sama pertanian yang dinamakan dengan musaqah. Musaqah berakar kata saqyu, yaitu pengairan. Namun demikian, pekerjaan ini tidak hanya mengairi, tapi mengurus segala keperluan perkebunan. Akad kerja sama ini adalah pengupahan pemilik tanah terhadap pemeliharaan kebun.
"Musaqah adalah jika seseorang menyerahkan lahan atau kebunnya agar dirawat, dengan upah sebagian buah yang dihasilkan. Adapun muzaraah, jika seseorang menyerahkan lahannya yang kosong tanpa tumbuhan kepada seorang petani agar menanaminya dengan upah separuh hasil panen, contohnya." Ia melanjutkan, "Perbedaan kedua model tadi, musaqah adalah kerja sama dalam perawatan kebun yang sudah ada pohonnya, sedangkan muzaraah adalah kerja sama dalam rangka menanami tanah" (Asy-Syarh Al-Mumti', 9/420).
Ibnu Umar menuturkan, "Rasulullah mempekerjakan penduduk Khaibar (mengelola kebun) dengan upah setengah dari panen buah-buahan atau tanaman yang dihasilkan" (HR Al-Bukhari, 2.328 dan Muslim, 1.551).
Abu Hurairah menceritakan bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi, "Bagilah kebun kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami." "Tidak," jawab beliau. "Bagaimana kalau kalian mengupah kami dan kami sertakan kalian dalam buah-buahan yang dihasilkan." "Ya," jawab beliau (HR Al-Bukhari, 2.325).
Dalam kitabnya, Nail Al-Authar, Asy-Syaukani menukil perkataan Al-Hazimi bahwa Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud, Ammar bin Yasir, serta beberapa ulama yang lain bahwa dua praktik di atas, muzaraah dan musaqah, bisa digabungkan, dilangsungkan secara bersama. Yaitu, memberi upah atas perawatan kebun kurma, juga mengupahnya untuk menanami lahan kosong, sebagaimana berlaku di Khaibar. Boleh juga masing-masing akadnya dibuat terpisah (HR Al-Bukhari, 5/328).
Ada juga yang dinamakan dengan munashabah atau mugharasah, yaitu menyerahkan lahan kosong berikut bibit yang hendak ditanam selama periode tertentu agar dikerjakan seseorang dengan bagi hasil panen sesuai dengan kesepakatan. Perbedaan antara munashabah dan musaqah, bahwa dalam musaqah, tanah sudah ditanami (berupa perkebunan) sedangkan munashabah lahan kosong yang belum ditanami (Al-Musu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 37/112).