Mohon tunggu...
Tata Tambi
Tata Tambi Mohon Tunggu... Guru - mengajar, menulis, mengharap rida Ilahi

Belajar menulis. Semoga bermanfaat dunia dan akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bersama Mengelola Lahan (Petani 2 Negeri #34 dari 60)

30 Januari 2025   05:15 Diperbarui: 28 Januari 2025   04:36 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pertanian.uma.ac.id/2023/04/27/cara-memilih-lahan-pertanian-yang-baik/

Seorang petani wanita mengeluhkan etos kerja buruh tetap yang mengelola kebunnya. Pekerjaan yang seharusnya kelar dalam sehari, jadi molor hingga dua hari, bahkan lebih. Padahal, ia bayar mereka sesuai dengan UMR dan itu pun sudah berlangsung lama. Disadari atau tidak, ulah pekerja yang asal ini bisa merugikan sang pemilik, sementara mereka tetap menerima bayaran secara utuh, tanpa ikut menanggung rugi, sekalipun mereka merupakan penyebabnya.

Banyak usulan yang disampaikan, salah satunya adalah mengajak mereka bermitra. Bukan sistem upah, akan tetapi bagi hasil. Dampak yang diharapkan dari model kerja sama ini adalah adanya rasa memiliki sehingga pekerjaan tidak asal selesai, namun betul-betul sempurna dan bisa dipertanggungjawabkan.

Dalam Islam, boleh bekerjasama dengan pihak lain dalam pengelolaan lahan pertanian. Upah kerja tergantung kesepakatan, bisa berupa uang, makanan, barang berharga lainnya, atau bagi hasil panenan itu sendiri.

Beberapa model di atas pernah terjadi pada zaman Nabi dan sepeninggal beliau. Yang penting, kedua belah pihak saling rida, tidak ada kecurangan dan ketidakjelasan, serta tetap berpegang pada batas-batas syar'i.

Berbeda dengan mempekerjakan orang lain dengan upah, yang disebut dengan akad kerja yang dibayar dengan upah selain hasil panen, yaitu uang atau yang lainnya, ada pula dalam dunia pertanian yang disebut dengan muzaraah.

Muzaraah disebut juga dengan mukhabarah dan muwakarah (Al-Mulakhash Al-Fiqhi (2/142), "Secara bahasa," terang Sayyid Sabiq, "muzaraah adalah kerja sama untuk mengelola tanah dalam bentuk sawah, ladang, kebun, atau sejenisnya dengan cara bagi hasil panen. Sedangkan dalam istilah fikih dijabarkan dengan penyerahan tanah kepada penggarap dengan hasil bagi panen, seperti setengah, sepertiga, atau kurang-lebih, sesuai akad yang disepakati."

"Jadi," lanjutnya, "muzaraah termasuk kerja sama antara penggarap dan pemilik tanah. Bisa saja karena penggarap memiliki kemahiran bertani, namun tidak memiliki lahan. Atau sebaliknya, pemilik tanah tidak bisa menggarap lahan persawahannya sendiri. Dalam sistem ini, nampak perhatian Islam terhadap kedua belah pihak" (Fiqh As-Sunnah, 3/162).

Muzaraah sendiri tidak asing di zaman Rasulullah dan sahabat. Ibnu Umar menuturkan, "Rasulullah mempekerjakan penduduk Khaibar (mengelola kebun) dengan upah setengah dari panen buah-buahan atau tanaman yang dihasilkan" (HR Al-Bukhari, 2.328, dan Muslim,  1.551).

Abu Ja'far mengatakan, "Tidaklah didapati keluarga Muhajirin yang tinggal di Madinah melainkan mereka melakukan muzaraah dengan upah sepertiga atau seperempat."

Di antara mereka yang juga melakukan praktik muzaraah adalah Ali, Sa'd bin Malik, Abdullah bin Mas'ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim, 'Urwah, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, dan Ibnu Sirin" (HR Al-Bukhari secara mu'allaq dalam Bab Al-Muzara'ah bi Asy-Syathr wa Nahwihi, 3/104).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun