Penjelasan di atas menunjukkan bahwa guru juga menyandang tugas orang tua dalam mendidik intelektual serta jiwa anak. Maka, hal ini akan mempengaruhi etika yang harus dikedepankan seorang murid kepada berhadapan/berinteraksi dengan gurunya. Mengutip pendapat Syaikh al-Zarnuji, bahwa guru adalah bapak. Pendapat ini memberi konsekuensi terhadap perasaan dan sikap guru yang memanifestasikan cita-
cita orang tua murid.Â
Posisi ini, harus disadari oleh kedua belah pihak, sehingga terwujud keseimbangan dalam hak dan kewajiban yang tercermin dalam sikap pribadi masing-masing, baik guru maupun murid. Hubungan ini menunjukkan kedekatan dari sisi psikologis. Posisi ini dipertegas oleh Syaikh az-Zarnuji, bahwa sesungguhnya guru yang mengajar seorang murid walaupun satu huruf dalam hal agama, maka dihukumi sebagai bapak dalam agama, "Maka sesungguhnya orang yang mengajarkanmu satu huruf yang hal tersebut berhubungan dengan masalah agama dan hal itu kamu perlukan, maka ia (guru) tersebut, dapat dihukumi sebagai bapakmu dalam agama."
Maka dapat disimpulkan, bahwa salah satu cara untuk dapat menghormati guru, yakni dengan memposisikannya sebagaimana orang tua, dan memanifestikan norma- norma kepatuhan dan keta'atan sebagaimana kerika berinteraksi dengan orang tua kandung.
Sesungguhnya pada kisah-kisah para Rasul terdapat pengajaran bagi orang yang berfikir. Apa yang diceritakan Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi suatu penegasan terhadap ajakan sebelumnya dan sebagai penjelas tentang segala sesuatu dan merupakan petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.Â
Dari ayat di atas dapat difahami bahwa kisah dalam Al-Quran dituturkan dengan sangat indah oleh Allah Swt. tentunya bukan tanpa tujuan, melainkan sarat dengan tujuan. Menurut al- Sharwi >Â kisah-kisah dalam Al-Quran seringkali menyamarkan tokoh yang ada di dalamnya. Karena tujuan dari kisah dalam Al- Quran adalah ibarat atau hikmah yang ada di dalamnya, bukan fakta dari kisah itu sendiri (Al-Sharwi, n.d.). Kemudian al- Sharw membagi kisah dalam Al-Quran menjadi dua yaitu:
a. Kisah yang dapat terulang kembali, yaitu kisah yang tidak menyebutkan tokohnya secara gamblang. Seperti kisah Nabi Musa dengan Fir'aun. Dalam Al- Qur'an tidak dijelaskan identitas Fir'aun pada zaman Nabi Musa. Hal ini dikarenakan tujuan utama dari kisah tersebut bukanlah Fir'aun maupun waktu kejadian berlangsung, melainkan pelajaran dari kisah tersebut. Yakni, di sepanjang masa akan ada orang yang menuhankan dirinya sendiri, seperti yang
dilakukan oleh Fir'aun. Orang seperti Fir'aun ini tidak hanya dapat dijumpai pada zaman Nabi Musa saja, melainkan setiap zaman. Seperti Hilter di Jerman, Mussolini di Italia, dan lain-lain.
b. Kisah yang tidak dapat terulang kembali, kisah yang menyebutkan tokohnya secara gamblang. Seperti kisah Maryam binti Imrn dan sa bin Maryam, dan para Nabi lainnya seperti Ibrh m, lih, Yunus, Musa, dan yang lainnya. Kisah Maryam dan Nabi Isa merupakan suatu mukjizat yang tidak akan terulang lagi, karena seorang perempuan tidak akan hamil tanpa adanya suami - kecuali Maryam binti Imran -- jika ada seseorang yang mengaku seperti itu, maka ia telah berbohong, karena anak kecil tidak akan dipanggil anak jika tidak memiliki ayah.
Jika dilihat dari pembagian tersebut, maka kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidir merupakan kisah yang dapat terulang kembali. Sebab dalam Al-Qur'an nama Nabi Khidir tidak dijelaskan secara gamblang, hanya diidentitaskan dengan hamba saleh. Alasan kisah tersebut dapat terulang kembali adalah karena kisah tersebut merupakan perumpamaan atau kiasan dari Allah Swt. bahwa ada segala sesuatu di dunia ini yang tidak tampak kebenarannya. Hal inilah yang menjadi masalah bagi manusia di dunia ini, hanya terpacu pada hal-hal yang lahiriyah saja.Â
Seperti ketika seorang pemimpin mengatakan sesuatu yang bagus menurutnya tapi sangat dibenci oleh rakyatnya dan mengira hal itu adalah kejahatan, begitupula sebaliknya. Semestinya manusia harus waspada terhadap hal ini. Jangan sampai menjadikan diri sendiri sebagai hakim atas segala kehendak Allah SWT.
 Dalam konteks etika dan moralitas menuntut ilmu adalah penekanan pada pentingnya sikap rendah hati, kesediaan untuk terus belajar dan keterbukaan terhadap pengetahuan yang baru. Ayat-ayat ini menceritakan tentang Nabi Musa yang bertebu dengan Khidir, seorang hamba Allah yang memiliki pengetahuan khusus.
Â
Dalam kisah tersebut, khidir menunjukkan pemahaman yang lebih mendalam tentang kebijaksanaan Allah yang tidak bisa dipahami oleh Nabi Musa. Ini menggambarkan bahwa pengtahuan tidka hanya terbatas pada apa yang telah dipelajari seseorang, tetapi juga melibatkan keterbukaan terhadap pengetahuan baru yang mungkin berbeda atau lebih tinggi dari apa yang kita miliki.
Gagasan utama dari segi etika dan moralitas menuntut ilmu dari segi etika dan moralitas menuntu ilmu dalam kisah ini adalah rendah hati, kesedian bahwa pengetahuan yang kita miliki mungkin terbatas dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki orang lain. Ini mengajarkan pentingnya rendah hati dalam perjalanan ilmu, keterbukaan terhadap pembelajaran barum serta kesadaran bahwa ada banyak hal yang masih perlu dipelajari meskipun seseorang telah meiliki pengetahuan sebelumnya.
Kesimpulannya, dengan menuntut seseorang menjadi berwawasan luas. Dan melalui pembelajaran, seseorang dapat membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah, dapat dilakukan dan tidak mungkin. Di dalam menuntut ilmu terdapat sesuatu yang amat penting yang perlu diketengahkan, yaitu etika menuntut ilmu. Penelitian dapat memberikan sumbangan dalam upaya memberikan pemahaman mengenai kewajiban belajar dan pentingnya memiliki ilmu pengetahuan, berdasarkan yang terdapat dalam kitab suci pedoman umat Muslim yaitu Al- Qur'an dan As-Sunnah.