Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Tergantungnya Mata Mungil

6 November 2018   12:16 Diperbarui: 6 November 2018   13:43 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan...? aku baru mendengarnya. Mungkinkah Ia yang selama ini kucari. Aku merasa damai berada diruang ini. Berulang kali kurayapi setiap atmosfir hatiku berdesir. Mungkinkah aku telah berada di rumah Tuhan..?

" Benar...!" Kali ini mata mungil yang menjawabku. Aku terbatuk. Aku baru tahu ada manusia yang dapat mengerti kataku. " Karena itu aku mengajakmu... sejak kulihat kau berpose tanpa tujuan di depan kaca toko kelontong. Hatiku tergerak, kau tersesat. Leluhurmu sudah banyak yang menjadi batu, dengan congkaknya berpose tanpa mengetahui fungsi awal penciptaanmu."

Luluh lantak setiap denyut nadiku. Aku serasa tersetrum berjuta volt listrik bertegangan tinggi. Tak kusadari aku menangis. Dari mana datangnya air mata ini?

" Apa? Mata mungil... tolong bantu aku! Aku tak tahu."  Ia tersenyum. Mengelus-mengelus kepalaku lalu menempatkanku di hadapannya.

" InsyaAllah... satu yang terpenting. Tuhanmu yang paling besar. Dan Tuhanmu hanya satu. Bisakah kau tahu siapa itu?" Sembilu mengiris hati. Kupejamkan lensa. Berusaha mengingat semua. Mendengar kata Tuhan disebut aku menciut. Serasa aku menjadi kerdil, mengecil menjadi debu. Bayang-bayang congkakku kandas. Semuanya mendebu,

" Aku tak tahu apa sebenarnya Tuhan itu? tetapi saat kau membawaku menuju Surau ini. Hanya satu nama yang kutangkap. Anehnya dapat kubaca nama itu meski aku tak pernah sekalipun mengunyah huruf saat TK dulu. Tidak itu bukan huruf yang biasa. bentuknya saja meliuk-liuk. Mata mungil tolong koreksi aku jika salah!" Mata mungil hanya bergeming. Tak hentinya ia menebar senyum pada seantero suasana. Termasuk aku. Sajadah ikut basah akan tangis, bahkan waktu seakan ingin berhenti melaju. " ALLAH..." ucapku berlinang airmata. Aku sadar seutuhnya benar ia.

Angin berhenti berderu. Bulan memancarkan sinarpaling terangnya. Melintasi sela-sela surau, ia seakan menyinariku. Aku bertasbih saat itu juga. Aku bertekad akan belajar semuanya dari awal. Mungkin inilah penyebab ayah membuatku. Agar dapat kutemukan Tuhanku. Malam itu aku belajar pada mata mungil. Ia hanya tertawa geli saat kupinta ia mengajariku mengaji.

" Ya Allah... Aku memiliki seorang santri." Ucapnya senang. Hingga pagi kupatuhi semua yang dikatakannya. Ustad... begitulah sebutanku untuknya sekarang.

***

Langit muram tak berbintang. Bulanpun enggan menampakkan diri meski di butuhkan. Gelap mencekam ditemani rinai hujan yang mulai bertaburan. Membasahi atap, halaman dan pepohonan. Membawaku ke alam berbeda. Ke sebuah pelataran kesepian. Menahan teriak hati yang tersekat di tenggerokan. Terus mencoba menutup penglihatan tentang keadaan. Alangkah indahnya dulu saat semua masih tetap sama. Lagi- lagi hanya bisa menghela nafas kecewa.

Hari ini adalah lebaran pertamaku bersama mata mungil, ma... maksudku ustad. Dengan gembira kami menuju Surau tempat dimana kami biasa belajar mengaji. Berbondong-bondong umat islam solat idul fitri bersama. Kami memilih shaf paling depan. Saat takbir dikumandangkan kami hanyut dalam kekhusyukan. Bersama dengan mata mungil aku bahagia. Ia bukan hanya tuan dan ustad yang baik. Dari yang terpenting ia telah kuanggap saudaraku sendiri. Ia tak pernah mengeluh ataupun iri. Tak ada kepayahan selama ini. Benar kata sendok dan piring, saudara perempuanku. Aku akan betah bersamanya. Menjadi penurut dan tentu juga santrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun