Tasya D. Amalia
      Di balik pintu jati terpaku kopiah hitam berkarat. Lebih dari sepuluh tahun lamanya kopiah itu terdiam. Gurat-gurat tua telah nampak. Warnanya yang hitam dulu, kini berubah coklat kekuningan. Jika dipandang dari sudut dipan ia terlihat begitu lesu. Kadang ia terhimpit oleh tegangnya kayu dan dinding batu. Kepala yang telah memilihnya tengah tergantung. Bukan kepala itu tak setia. Tapi apa mau dikata. Masih untung sarung dan surban kelabunya telah memiliki badan baru. Meski lama sekali, tetap saja mereka melekat pada tubuhku.
      Dhamar berkelebat redup terang. Listriknya hampir habis. Mungkin dompetku lupa membayar biaya listrik. Pantas saja setiap terduduk di atas lantai serasa ada yang mengganjal di saku celanaku. Udara berhembus dingin penuh sesak embun rindu. Lailahaillah... Subhanallah... dzikir hari yang menua. Dilihat mata dari balik jendela yang usang dunia terlihat lesuh. Tak ingin berbohong jika mereka juga ikut merasa jengah. Langit memuntahkan isinya, perang antar samudra membuat mereka saling memisahkan diri. Bumi terbatuk. Kopiah berkarat itu bergeming.
      " Bumi sekarat, benar kawan?"
***
      Allah pasti tahu, memanglah begitu...!
Rintik air menangis membasahi bumi pertiwi. Tak ada angin yang menambah keruh suasana di kala hujan datang. Hanya tetap saja pengeroyokan air terhadap rimbun pohon membuatnya menghentikan niat untuk pergi. Air hujan membasahi halaman serta pelataran toko kelontong itu. Kacamatanya ikut berembun terkena bias-bias air. Semuanya terkurung termasuk aku.
Toko kelontong menjadi tempat terakhir pemberhentianku. Cicak-cicak menyambut dari balik pintu bambu. Melihatku mereka tak percaya. Tuanku menempatkan posisiku agar dapat dilihat semua orang. Di dekat jendela besar sebelah kanan. Setelah mengucapkan salam perpisahan. Orang bermata sipit itu mengajak tuan bersalaman. Sepanjang perjalanan tuan banyak bercerita tentangnya. Si pemilik toko kelontong itu sedikit pemalu. Begitu mantap perjanjian mereka. Sesaat dua puluhan lembar uang berada di tangan tuan. Syukurlah akhirnya aku terjual. Berhari-hari tuan merajutku agar kelak aku menjadi yang terbaik. Hal ini tentu saja membuat para saudaraku iri. Sejak aku masih berbentuk bahan dasar hujatan selalu saja datang. Apalagi mengetahui tuan sering begadang untuk memastikan aku tercipta bukan sembarangan. Mereka semua menjauhiku. Tetapi bukan salahku tuan lebih perhatian padaku, bukan...?
Sedikit bangga aku menyadari akulah mahakarya terbaik yang dimiliki tuan. Begitu lem-lem dalam tubuhku melekat sempurna jadilah aku utuh. Tubuh hitamku bersinar. Menantang cahaya matahari yang menyilaukan. Dibersihkannya debu yang tertinggal. Saat itulah tuan menamaiku, kopiah.
" Gak salah dia di sini, ini kan tempatnya barang antik?" Ucap tempayan. Tak kupedulikan gumamannya. Mataku tetap memandang bayang tuan hingga hilang di tikungan.
" Mungkin dia juga barang antik... lihat saja bentuknya! Aku saja tak tahu ia apa?" jawab guci Cina. Menjadi ciptaan yang sempurna bukab berarti tak ada celah. Selalu di setiap sisi ada yang tak suka.