Mohon tunggu...
Taslim Batubara
Taslim Batubara Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar Seumur Hidup

Hidup cuma sekali, maka hidup harus berarti

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Khalifah Al-Ma'mun: Sang Revolusioner Ilmu Pengetahuan Islam

8 Juni 2020   09:39 Diperbarui: 8 Juni 2020   11:32 1168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baghdad dalam bahasa Persia berarti "Didirikan oleh Tuhan." Kota ini dibangun atas perintah khalifah kedua Abbasiyah, Abu Ja'far al-Manshur. Pembangunan Baghdad dilakukan dengan perencanaan dan perhitungan yang sangat akurat. Dengan memperhatikan aspek iklim, lokasi, kemunculan penyakit, dan sumber pengairan, Baghdad hadir menjadi ibukota yang sangat layak bagi Abbasiyah. 

Dengan ratusan ribu pekerja yang didatangkan dari berbagai daerah, serta dana pembangunan yang sangat besar, Baghdad menjadi kota terbesar di dunia timur, mengalahkan Konstantinopel. Tahun 776 M, Baghdad selesai dibangun dan bersiap menjadi pusat kemajuan bagi peradaban Islam. Khalifah al-Manshur kemudian memberinya nama "Madinah as-Salam."

Seperti diciptakan dengan tongkat ajaib, Baghdad menjadi pusat pemerintahan bagi Daulah Abbasiyah. Daulah ini merupakan pemerintahan Islam terlama dalam sejarah Islam. berbagai kemajuan dan prestasi berhasil ditorehkan oleh para pemimpinnya. 

Baghdad berkembang pesat menjadikan Islam sebagai pusat Ilmu pengetahuan. Kota ini menjadi sebuah kota yang sangat kosmopolitan, terdiri dari berbagai macam bangsa, sekte, dan agama. Sehingga daya tarik Baghdad sangat memukau seluruh dunia. 

Baghdad memiliki ribuah taman indah, dan pemandian umum yang tersebar di seluruh penjuru kota. Seorang penulis sampai membandingkan keadaan Baghdad saat itu yang sudah sangat maju, dengan London dan Paris yang masih menjadi sebuah kota kecil dan sangat jorok.

Kemudian, khalifah kelima Abbasiyah, Harun ar-Rasyid menjadikan Baghdad sebuah "Mutiara dari Timur." Dalam kisah "Seribu Satu Malam", kemegahan Baghdad menjadi latar utama dalam cerita ini, yang sangat melegenda di dunia sasta timur maupun barat. 

Harun adalah sosok khalifah yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan. Di masanya, gerakan penerjemahan kitab-kitab kuno dari peradaban sebelumnya: Persia, Romawi, Yunani, dan lainnya, mulai dilakukan. 

Harun mengundang ilmuwan dari seluruh dunia untuk hadir di Baghdad dan melakukan pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk menarik minat para pencari ilmu, Harun mendirikan "Baitul Hikmah" sebagai pusat aktifitas penerjemahan. Selain itu, Harun juga memberi berbagai macam fasilitas negara, agar para pencari ilmu merasa nyaman selama berada di Baghdad.

Kegemilangan Harun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, diikuti oleh anak tertuanya, Abdullah al-Ma'mun. Di masa kepemimpinannya, daya tarik Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan semakin luas. Baitul Hikmah yang didirikan oleh ayahnya, semakin diperluas oleh al-Ma'mun, guna semakin banyak buku (kitab) dan karya yang dihasilkan. Selain itu, ia juga membangun Observatorium termegah di Dunia Timur, sebagai pusat pengkajian ilmu Astronomi. 

Selain memberi berbagai fasilitas negara, Khalifah al-Ma'mun juga memberi tunjangan dan dana penelitian yang sangat besar kepada para ilmuwan. Biarpun, di masa kepemimpinanya, terjadi sedikit kekejaman terhadap para ulama konservatif. Hal itu tidak terlalu berpengaruh terhadap citra Baghdad sebagai kota pusat ilmu pengetahuan, dan dirinya sebagai Khalifah yang dicintai oleh para ilmuwan. Sehingga tak salah kalau para sejarawan, mengatakan masa kepemimpinan al-Ma'mun sebagai puncak kegemilangan peradaban Islam.

Kepribadian Khalifah al-Ma'mun

Nama Lengkapnya, Abdullah al-Ma'mun bin Harun ar-Rasyid bin Muhammad al-Mahdi. Ia diberi nama al-Ma'mun yang artinya, "bisa diandalkan." Ia lahir pada 14 September 786 M atau yang lebih dikenal dalam sejarah Islam dengan nama "Malam Takdir." 

Pada malam ini, terjadi tiga peristiwa yang luar biasa. Pertama, wafatnya khalifah al-Hadi, kedua, diangkatnya Harun ar-Rasyid sebagai khalifah kelima, dan lahirnya calon khalifah ketujuh, al-Ma'mun. Imam Suyuthi menggambarkan sosok al-Ma'mun sebagai orang yang belajar hadits, fikih, sejarah, filsafat dan seorang orator yang ulung. Tidak ada satu pun khalifah Abbasiyah yang dapat menandingi kecerdasan, kewibawaan, dan kecerdikan yang dimiliki al-Ma'mun.

Ketika Harun ar-Rasyid masih menjabat sebagai khalifah, dia sudah melihat bagaimana kebijksanaan, watak, kesalehan dan sifat negarawan yang dimiliki oleh al-Ma'mun. Suatu hari, ketika sedang duduk bersama Yahya al-Barmaki (wazir agung) di masa pemerintahannya. Harun terlihat sangat gusar dan tertekan. 

Hal ini kemudian diketahui oleh sang wazir yang bertanya kepadanya, apa yang sedang ia khawatirkan. Harun kemudian menjawab, "Nabi Muhammad wafat tanpa meninggalkan wasiat. Di saat Islam masih sangat muda, agama ini harus mengalami percekcokan berebut suksesi kepemimpinan. Adapun untukku, aku bermaksud untuk mengatur pengganti diriku seorang yang watak dan perilakunya kusukai. Aku lebih menyukai al-Ma'mun sebagai penggantiku, daripada al-Amin. Namun, hal ini akan mendapat penolakan hebat dari keluarga besarku."

Sedari kecil, Harun ar-Rasyid sudah melihat nilai luhur yang dimiliki oleh putra tertuanya, Abdullah al-Ma'mun. Dalam kitab al-Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa pada saat bulan Ramadhan, Al-Ma'mun sanggup mengkhatamkan al-Qur'an sebanyak 33 kali. 

Benson Bobrick, dalam bukunya "Kejayaan Sang Khalifah Harun ar-Rasyid" menuliskan, ketika saudaranya, Al-Amin sibuk dengan angkat berat dan membentuk fisiknya. Al-Ma'mun lebih suka mencurahkan perhatiannya untuk belajar dan menimba ilmu. Bekal kepintaran dan kecintaan kepada ilmu itulah, yang kemudian membuat periode kekuasaannya tercatat sebagai masa keemasan Daulah Abbasiyah.

Khalifah al-Ma'mun: Pemimpin Yang Dicintai Para Ilmuwan

Ada dua faktor utama, yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan berkembang pesat di masa al-Ma'mun. Pertama, al-Ma'mun sendiri adalah orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk ilmu pengetahuan dan mendalaminya. Karena itu, selama memimpin ia sangat mencintai dan bersemangat untuk mengembangkannya. 

Kedua, umat Islam saat itu sudah sangat merindukan ilmu pengetahuan. Banyak ilmuwan dan ulama yang bersemangat berpetualang untuk mencari ilmu. Korelasi antara pemimpin dengan kesiapan rakyatnya, membuat eksistensi Baghdad sebagai pusat kemajuan ilmu pengetahuan semakin menyebar.

Khalifah al-Ma'mun mengundang para ilmuwan dari seluruh dunia, dengan berbagai bidang keilmuan untuk datang dan menyemarakkan panggung ilmu pengetahuan di Baghdad. Ia mengundang para fisikawan, matematikawan, astronom, penyair, ahli hukum, ahli hadits, mufassir, dan ahli-ahli lainnya. 

Mereka semua diberi fasilitas dan perlindungan negara, agar dapat mencurahkan seluruh perhatiannya pada pengembangan ilmu pengetahuan. Para ilmuwan yang datang, tak hanya yang beragama Islam saja. Namun, ilmuwan-ilmuwan Kristen, Yahudi, dan Buddha juga diundang untuk datang ke Baghdad.

Al-Ma'mun menggelontorkan dana yang cukup besar kepada Baitul Hikmah. Dana ini, sebagian besar diambil dari kas negara yang dikeluarkan oleh Baitulmal. Sebagai ilustrasi, dana riset yang dikeluarkan al-Ma'mun setara dua kali lipat dana Medical Research Centre (lembaga penelitian milik Inggris). Selain itu, perbandingan gaji para ilmuwan yang bekerja di Baitul Hikmah saat itu, setara dengan gaji atlet profesional saat ini, seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Tidak aneh kalau Baitul Hikmah menjadi pilar kemajuan peradaban Islam saat itu. Inilah institusionalisasi perintah Iqra' dalam al-Qur'an.

Perhatian luar biasa yang diberikan al-Ma'mun, membuat para ilmuwan banyak menghasilkan karya-karya yang luar biasa, diantaranya: Kitab Canun Fi'l Tib karya Ibnu Sina dalam bidang kedokteran, Kitab Al-Jabr Wa'l Maakala karya al-Khawarizmi dalam bidang matematika, Kitab al-Masalik karya Ibnu Khardazabah dalam bidang geografi, Jabir bin Hayyan dalam bidang kimia, Muhammad al-Biruni yang menemukan teori bumi berputar pada porosnya dalam bidang fisika. 

Yang paling membanggakan, seorang Kristiani bernama Hunain bin Ashaq, telah banyak menerjemahkan karya-karya dari Aristoteles, Plato, Hippocrates, dan Galen. Kemudian karyanya ini, menyebar sampai ke Eropa melalui Sisilia dan Spanyol, yang membuat banyak perubahan dalam ilmu pengetahuan di Eropa.

Al-Ma'mun berhasil merubah Baitul Hikmah menjadi sebuah pusat pengkajian dan penerjemahan yang sangat maju. Ia kemudian juga mendirikan sebuah lembaga penelitian bernama Majlis Munadharah. Penghargaan terhadap ilmu pengetahuan, pertukaran ilmu dan keterbukaan pola pikir, menjadi kunci utama kemajuan ilmu pengetahuan pada masa al-Ma'mun. Ketiga hal tersebut yang saat ini tidak dimiliki oleh umat Islam, yang membuat kita kalah jauh dibandingkan dengan Eropa. 

Terakhir sebagai perbandingan, dari 1,6 miliar umat Islam yang ada di seluruh dunia, kita hanya bisa menghasilkan dua orang Muslim sebagai pemenang nobel. Hal ini berbanding terbalik dengan umat Yahudi, yang jumlahnya hanya sepersepuluh umat Islam, namun telah mengahasilan 79 orang pemenang nobel dalam bidang sains.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun