Dakwah Nawawi di Banten terutama ceramah keagamaan yang dilakukannya menjadi sebab pemerintah kolonial mencurigai adanya suatu pergerakan. Akibatnya kegiatan dakwah Nawawi dikontrol dan dipantau sehingga menganggu kenyamanannya dalam membimbing umat. Akhirnya Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekah di mana dia berdakwah dengan lebih leluasa. Dengan demikian, dakwah Nawawi di Banten hanya berlangsung kurang lebih tiga tahun saja. Sisa hidupnya berada di Mekah yang dia habiskan hingga wafat di sana.
Berdakwah dan Mengajar di Mekah     Â
Setelah kembali ke Mekah, Nawawi belajar agama Islam dengan lebih intensif. Nawawi kemudian membuka sebuah halaqah di halaman Masjidil Haram. Di sana terdapat sekitar 200 orang yang berguru kepadanya. Berbeda dengan ulama lainnya yang menggunakan bahasa Arab dalam proses belajar mengajar, Nawawi justru menggunakan bahasa Jawa dan Sunda kepada murid-muridnya. Mereka mayoritas berasal dari Jawa, Minangkabau, Ternate, Madura dan beberapa dari daerah Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Di antara murid-muridnya tersebut, muncul beberapa tokoh penting yang  kelak menjadi orang-orang yang turut andil membebaskan negerinya masing-masing dari penjajahan bangsa asing. Di Indonesia muncul nama Hasyim Asyari (pendiri NU), Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Cholil Bangkalan, Haji Wasit, dan Haji Dawud dari Negeri Perak Malaysia sebagai tokoh Islam nasionalis. Meskipun Nawawi tidak turut andil secara langsung dalam pergerakan kemerdakaan tanah airnya, namun dia menjadi sumber inspirasi bagi tokoh-tokoh Islam nasionalis tersebut terutama pemikiran dan keilmuannya.
Sumbangan Pemikiran Syekh Nawawi Al Bantani di Nusantara
Nawawi dikenal sebagai ulama multidisiplin yang produktif. Karyanya sangat banyak seperti kitab tafsir, fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah nabi, dan bahasa.Â
Dalam buku karangan Martin van Bruinesen, Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat) kurang lebih ada 115 buah kitab dari berbagai disiplin ilmu yang telah dihasilkannya. Kitab-kitabnya ini dijadikan sebagai rujukan oleh ulama-ulama di Nusantara, khususnya fatwa dalam bidang hukum.
Dalam bidang Fiqih, Nawawi dipengaruhi oleh mazhab Syafi'i. Nawawi mengajarkan kepada murid-muridnya untuk memilih salah satu dari 4 mazhab yang disepakati oleh mayoritas ulama. Hal demikian merupakan anjuran Nawawi kepada para muridnya agar menjaga otensitas sumber  ajaran Islam sampai kepada generasi selanjutnya.
Tradisi bermazhab adalah salah satu ciri khas Islam Nusantara, yang dianggap  bisa merangkul umat Islam dari berbagai latar belakang. Ulama-ulama Islam Nusantara bermazhab secara qauli (mencari hukum ) dan manhaji (memecahkan hukum) dalam ber-istinbath (mempertegas hukum) tentang Islam dari dalil-dalilnya yang di sesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam, dan cara pengamalannya sesuai dengan penduduk asli Nusantara.Â
Kekayaan di Nusantara ini menjadi sumber inspirasi bagi para ulama untuk memberikan warna, suara, dan subtansi terhadap Islam itu sendiri. Baik alamnya, airnya, lautnya, tanahnya, maupun kultur dan peradabannya, menjadi rujukan para ulama dalam berijtihad. Ijtihad ini diperlukan karena terdapat beberapa perbedaan antara Nusantara dan Arab.Â
Salah satu contohnya terdapat dalam perintah zakat fitrah, ayat Al-Quran, Hadits, dan teks-teks Arab lainnya menyatakan zakat fitrah menggunakan gandum. Namun oleh ijtihad para ulama Nusantara, perintah tersebut diterjemahkan menjadi beras.