Seperti yang kita ketahui, corak keislaman di Indonesia pada umumnya beragam, ada yang fundamental, moderat, bahkan ada beberapa kelompok yang dipengaruhi sinkretisme yang menjadi tradisi.Â
Sinkretisme identik dengan praktik yang dianggap oleh mayoritas penganut Islam sebagai praktik Bid'ah, Takahyul, dan Khurafat. Sinkretisme yang dimaksud adalah mengaitkan segala sesuatu dengan hal-hal yang berbau mistik dalam praktik keagamaan.Â
Di Banten, praktik-praktik demikian merupakan hal yang umum dilakukan oleh penganut agama Islam sebelum zaman Walisongo menyebarkan Islam di Nusantara.
Salah satu dari Sembilan Wali yang diyakini menyebarkan Islam di Jawa adalah Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati aktif menyebarkan Islam di Banten pada abad ke-16 yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Raja Pajajaran bernama Prabu Siliwangi.Â
Banten berhasil direbut oleh aliansi pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono dan pasukan Kerajaan Cirebon di bawah pimpinan Sunan Gunung Jati dan anaknya, Maulana Hasanuddin.Â
Setelah itu, kehidupan masyarakat dalam bidang agama, pendidikan, dan pemerintahan mulai dibenahi oleh pemerintahan yang baru yaitu Kesultanan Banten.
Kesultanan Banten di bawah pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin mulai menghapuskan praktik-praktik sinkretisme. Tiga abad setelahnya, Kesultanan Banten dikuasai oleh kolonial Belanda.Â
Pemerintah kolonial Belanda, mengontrol hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Banten waktu itu, termasuk kehidupan beragama masyarakat Banten.
Di saat Banten sudah dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda, kehidupan beragama pada saat itu dikontrol dan dibatasi pergerakannya, sebab pemerintah menaruh kecurigaan terhadap ulama-ulama yang menyebarkan Islam yang dikhawatirkan nantinya bisa menimbulkan gerakan perlawanan anti-pemerintah.Â
Umat Islam di Banten saat itu juga terpolarisasi menjadi dua: pengikut Sunan Gunung Jati dan pengikut sinkretisme yang menolak kehadiran Islam. Golongan yang mengikuti dakwah Sunan Gunung Jati mayoritas terdapat di dekat pusat pemerintahan Kesultanan Banten dan golongan yang menolak kehadiran Islam berada lebih ke daerah pedalaman, tepatnya di bagian Selatan atau yang lebih dikenal dengan Suku Badui.
Gaya dakwah Sunan Gunung Jati yang terkenal lugas dan memahami kultur budaya setempat, membuat banyak rakyat Banten yang mengikutinya. Korelasi tersebut sejalan dengan ciri khas dakwah Islam Nusantara, yaitu tetap berpegang teguh dengan Syariat namun bisa beriringan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat di Nusantara.Â
Dari penggabungan dua konsep dakwah tersebut, kelak lahir seorang ulama besar asal Banten yaitu Syekh Nawawi Al Bantani, yang keluwesan serta pemahamannya tentang keislaman di akui oleh ulama-ulama dunia.Â
Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Agama Islam
Syeikh Nawawi Al-Bantani bernama asli Abu Abdullah Al Mu'thi Muhammad  Nawawi bin Umar. Dia dilahirkan pada tahun 1230 H atau tahun 1814 M di Tanara, sebuah desa di Banten.Â
Nawawi lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga muslim yang taat. Nawawi kecil belajar ilmu agama Islam dan ilmu lainnya langsung dari ayahnya, Syekh Umar yang merupakan seorang ulama lokal.Â
Setelah belajar langsung kepada ayahnya sendiri, Nawawi kemudian berguru kepada kyai Sahal dan Yusuf. Dari keduanya pengetahuan Nawawi mengenai ilmu agama Islam bertambah.
Pada usia remaja, Nawawi pergi haji ke Mekah bersama saudara-saudaranya. Pada kesempatan itu, Nawawi menimba ilmu-ilmu agama Islam yang lebih beragam. Di Masjidil Haram tempat Nawawi belajar, dia berguru kepada beberapa orang ulama besar di sana, di antaranya: Syeikh Khatib Sambas, Sayyid Ahmad Dimyathi, Ahmad Zaini, dan Syeikh Ahmad Khatib Al-Hambali.Â
Tidak puas dengan ilmu yang didapatnya di Mekah, Nawawi melanjutkan perjalanannya mencari ilmu ke tempat lain. Alasan itu pula yang nantinya akan membawa Nawawi mengunjungi beberapa negeri lain di luar Mekah, yaitu Madinah, Mesir dan Syam.
Berdakwah di Banten
Nawawi belajar ilmu agama Islam di Madinah, Mesir dan Syam selama kurang lebih tiga dasawarsa. Setelah itu, Nawawi pulang ke tanah kelahirannya di Tanara untuk menyebarluaskan ilmunya di pesantren peninggalan ayahnya serta di kalangan masyarakat Banten pada umumnya. Itu terjadi sekitar tahun 1860 M. Pada awal kepulangannya, pesantren itu dibanjiri oleh para santri dari berbagai daerah yang ingin menimba ilmu, selain juga dipengaruhi antusiasme santri terhadap kehadiran Nawawi waktu itu.
Selain mengurus pesantren, Nawawi juga sering berceramah ke berbagai desa lain di sekitar Tanara. Isi ceramah Nawawi biasanya mengajak umat Islam untuk semakin semangat dalam beribadah dan melawan kolonialisme Belanda. Konten dakwah Nawawi dipengaruhi oleh situasi zaman pada masa hidupnya, yaitu masa sedang bergejolaknya gerakan Pan-Islamisme (gerakan pembaharuan Islam) yang di bawa oleh Jamaluddin Al-Afghani dan masa penjajahan Belanda.
Kitab Marah Labid karangan Nawawi digunakan sebagai bahan ajar di banyak pesantren termasuk oleh muridnya, Hasyim Asyari yang kemudian hari menjadi ulama besar di Jawa. Kitab Marah Labid mengandung konten yang sama dengan kitab Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh, seorang reformis Islam. Dengan menggunakan Kitab Marah Labid itulah Hasyim Asyari berupaya menyebarkan semangat nasionalisme dan pembaharuan Islam di Nusantara.
Dakwah Nawawi di Banten terutama ceramah keagamaan yang dilakukannya menjadi sebab pemerintah kolonial mencurigai adanya suatu pergerakan. Akibatnya kegiatan dakwah Nawawi dikontrol dan dipantau sehingga menganggu kenyamanannya dalam membimbing umat. Akhirnya Nawawi memutuskan untuk kembali ke Mekah di mana dia berdakwah dengan lebih leluasa. Dengan demikian, dakwah Nawawi di Banten hanya berlangsung kurang lebih tiga tahun saja. Sisa hidupnya berada di Mekah yang dia habiskan hingga wafat di sana.
Berdakwah dan Mengajar di Mekah     Â
Setelah kembali ke Mekah, Nawawi belajar agama Islam dengan lebih intensif. Nawawi kemudian membuka sebuah halaqah di halaman Masjidil Haram. Di sana terdapat sekitar 200 orang yang berguru kepadanya. Berbeda dengan ulama lainnya yang menggunakan bahasa Arab dalam proses belajar mengajar, Nawawi justru menggunakan bahasa Jawa dan Sunda kepada murid-muridnya. Mereka mayoritas berasal dari Jawa, Minangkabau, Ternate, Madura dan beberapa dari daerah Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Di antara murid-muridnya tersebut, muncul beberapa tokoh penting yang  kelak menjadi orang-orang yang turut andil membebaskan negerinya masing-masing dari penjajahan bangsa asing. Di Indonesia muncul nama Hasyim Asyari (pendiri NU), Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Cholil Bangkalan, Haji Wasit, dan Haji Dawud dari Negeri Perak Malaysia sebagai tokoh Islam nasionalis. Meskipun Nawawi tidak turut andil secara langsung dalam pergerakan kemerdakaan tanah airnya, namun dia menjadi sumber inspirasi bagi tokoh-tokoh Islam nasionalis tersebut terutama pemikiran dan keilmuannya.
Sumbangan Pemikiran Syekh Nawawi Al Bantani di Nusantara
Nawawi dikenal sebagai ulama multidisiplin yang produktif. Karyanya sangat banyak seperti kitab tafsir, fiqih, tauhid, tasawuf, sejarah nabi, dan bahasa.Â
Dalam buku karangan Martin van Bruinesen, Kitab Kuning (Pesantren dan Tarekat) kurang lebih ada 115 buah kitab dari berbagai disiplin ilmu yang telah dihasilkannya. Kitab-kitabnya ini dijadikan sebagai rujukan oleh ulama-ulama di Nusantara, khususnya fatwa dalam bidang hukum.
Dalam bidang Fiqih, Nawawi dipengaruhi oleh mazhab Syafi'i. Nawawi mengajarkan kepada murid-muridnya untuk memilih salah satu dari 4 mazhab yang disepakati oleh mayoritas ulama. Hal demikian merupakan anjuran Nawawi kepada para muridnya agar menjaga otensitas sumber  ajaran Islam sampai kepada generasi selanjutnya.
Tradisi bermazhab adalah salah satu ciri khas Islam Nusantara, yang dianggap  bisa merangkul umat Islam dari berbagai latar belakang. Ulama-ulama Islam Nusantara bermazhab secara qauli (mencari hukum ) dan manhaji (memecahkan hukum) dalam ber-istinbath (mempertegas hukum) tentang Islam dari dalil-dalilnya yang di sesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam, dan cara pengamalannya sesuai dengan penduduk asli Nusantara.Â
Kekayaan di Nusantara ini menjadi sumber inspirasi bagi para ulama untuk memberikan warna, suara, dan subtansi terhadap Islam itu sendiri. Baik alamnya, airnya, lautnya, tanahnya, maupun kultur dan peradabannya, menjadi rujukan para ulama dalam berijtihad. Ijtihad ini diperlukan karena terdapat beberapa perbedaan antara Nusantara dan Arab.Â
Salah satu contohnya terdapat dalam perintah zakat fitrah, ayat Al-Quran, Hadits, dan teks-teks Arab lainnya menyatakan zakat fitrah menggunakan gandum. Namun oleh ijtihad para ulama Nusantara, perintah tersebut diterjemahkan menjadi beras.
Selain itu, Nawawi berpendapat  bahwa praktik tawasul (ziarah kubur) dibolehkan namun tetap sesuai Al-Quran dan Hadits. Semasa hidupnya Nawawi pernah menolak paham yang dianut oleh Kerajaan Arab Saudi ketika itu, yaitu paham Wahabisme. Paham ini melarang praktik-praktik ziarah kubur dan praktik lainnya yang mereka anggap Bid'ah.
Pemahaman Nawawi tentang ziarah kubur inilah yang terus dipertahankan oleh ulama Nusantara dan dilestarikan oleh umat Islam yang ada di Indonesia.Â
Sampai saat ini hampir di seluruh wilayah Indonesia praktik ziarah kubur masih terus dilakukan terutama ketika mendekati bulan Ramadhan. Menurut Nawawi, ziarah kubur berguna agar masyarakat mengingat kematian dan akhirat.
Pemikiran Nawawi inilah yang kemudian mengilhami para ulama Nusantara untuk membentuk sebuah komite yang dikenal dengan nama Komite Hijaz.Â
Wahab Hasbullah sebagai ketua komite tersebut menjumpai Raja Arab Saudi, Ibnu Saud untuk menyampaikan beberapa aspirasi terkait pemahaman dan tradisi keislaman yang dipedomani oleh umat Islam asal Nusantara. Komite Hijaz inilah yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya organisasi Islam terbesar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama.
Dalam hal lain, Pemikiran Nawawi mengenai nasionalisme dimodifikasi oleh Hasyim Asyari menjadi sebuah fatwa yang sangat terkenal sampai hari ini yaitu "Hubbul Wathon Minal Iman"Â (cinta tanah air sebagian dari iman).Â
Dengan keluarnya fatwa tersebut, bangsa Indonesia khusunya umat Islam dengan semangat jihad yang tinggi berhasil mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang ingin direbut kembali oleh Belanda.
Dalam ilmu kalam atau teologi, Syekh Nawawi Al Bantani dalam beberapa tulisannya mengakui  bahwa dirinya mengikuti Imam Abu Hasan Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah, Syekh Nawawi Al Bantani memperlkenalkan konsep sifat-sifat Allah, yaitu wajib, mustahil, dan Mumkin.
Gagasan Nawawi tersebut kemudian di terjemahkan oleh ulama nusantara dengan menghidupkan pemahaman Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja). Sebenarnya pemahaman ini sudah di ajarkan oleh para ulama salaf generasi sahabat dan tabi'in yang muncul untuk menghindari kekacauan sekaligus tetap menjaga Sunnah Rasulullah.
Dalam buku Islam Nusantara karangan Ahmad Baso, ulama Nusantara menterjemahkan Aswaja dalam dua pengertian: disiplin ketat mengikuti Sunnah Rasulullah dan dukungan mayoritas masyarakat.Â
Dengan demikian, pemahaman Aswaja dan Islam Nusantara tidak akan hidup tanpa ada dukungan masyarakat yang mengamalkannya. Pemahaman seperti inilah yang masih dipertahankan oleh ulama-ulama Islam Nusantara hingga saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H