Dalam acara Media Gathering Bank Tanah di Bandung, 17 Januari 2025, Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmadja mengungkapkan bahwa 59 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh konglomerat. Dengan kata lain, hanya sekitar 1 persen orang Indonesia menguasai hampir 59 persen tanah di Republik ini, di luar kawasan hutan.
Menurut Parman, fenomena ini menjadi salah satu yang melatarbelakangi dibentuknya Badan Bank Tanah, sebuah badan khusus yang bertugas mengelola tanah negara.
"Oleh karena itu jangan sampai anak cucu kita tinggal nanti di lahan-lahan konglomerat, tinggal tentunya di lahan-lahan mereka sendiri, yaitu melalui reforma agraria," lanjut Parman sebagaimana diwartakan Kompas.
Apa itu Bank Tanah dan bagaimana masyarakat kecil bisa memiliki tana melalui reforma agraria?
Badan Bank Tanah
Badan Bank Tanah atau disebut juga Bank Tanah adalah kepingan puzzle yang selama ini dibutuhkan dalam tata kelola pertanahan di Indonesia. Negara Indonesia yang memiliki tanah yang luas membutuhkan satu badan khusus yang bertugas sebagai land manager.Â
Selama ini dikenal istilah tanah negara, tapi dalam prakteknya negara tidak dapat mengendalikan tanah tersebut. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), selama ini hanya bertindak sebagai regulator dan administrator pertanahan.Â
Melalui UU Cipta Kerja dan PP 64/2021, Pemerintah membentuk Badan Bank Tanah sebagai badan khusus (sui geneis) yang memiliki kewenangan khusus untuk mengelola tanah. Dengan kewenangan khusus ini Bank Tanah bisa menguasai tanah dan mengelolanya.
Sebagai land manger, Bank Tanah menjalankan fungsi manajerial pertanahan yang meliputi perencanaan, perolehan tanah, pengadaan tanah, pengelolaan tanah, pemanfaatan tanah, dan pendistribusian tanah.
Terkait aset tanah, Bank Tanah mendapatkannya dari penetapan pemerintah atau dari pihak lain. Tanah bekas hak, kawasan dan tanah terlantar, tanah pelepasan kawasan hutan, tanah hasil reklamasi adalah contoh tanah yang bisa dikuasai Bank Tanah melalui penetapan pemerintah.
Mengutip Kompas, sampai dengan akhir 2024, Bank tanah menguasai 33.115 Ha tanah yang tersebar di 45 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Bank Tanah menggunakan aset tanah tersebut untuk menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi tanah, dan reforma agraria.
Reforma Agraria
Merujuk Perpres 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, reforma agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan penataan akses untuk kemakmuran rakyat.
Terkait reforma agraria, sesuai amanat PP 64/2021, Bank Tanah mengalokasikan paling sedikit 30 persen tanah negara yang dikuasainya untuk diserahkan kepada masyarakat atau redistribusi tanah.Â
Tidak sendiri, Bank Tanah berbagi tugas dan wewenang dengan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang diketuai oleh Bupati/Wali Kota, dan Menteri yang mengurusi bidang agraria/pertanahan dan tata ruang.
Bank Tanah menyediakan lahan sedangkan Kantor pertanahan melakukan sosialisasi, identifikasi subjek dan objek redistribusi tanah, pengukuran dan pemetaan, penetapan objek redistribusi tanah, pemberian hak, dan penerbitan sertifikat. Sebelum pemberian hak atas tanah, bupati/walikota terlebih dahulu menetapkan subjek tanah sesuai rekomendasi GTRA.Â
Masyarakat yang menjadi subjek reforma agraria akan mendapatkan Hak Pakai di atas HPL Badan Bank Tanah selama 10 tahun dan akan diberikan Sertifikat Hak Milik (SHM) apabila telah dimanfaatkan dengan baik .
Berbicara mengenai reforma agraria, perisitiwa yang terjadi di Desa Tumbrep Kabupaten Batang Jateng bisa dijadikan referensi. Petani Tumbrep benar-benar merasakan kehadiran negara dalam memberikan perlakuan yang adil terhadap petani kecil.
Reforma Agraria Di Desa Tumbrep
Kamis, 11 Februari 2016, menjadi hari yang bersejarah bagi warga Desa Tumbrep, Batang, Jawa Tengah. Hari itu, sebanyak 425 warga Tumbrep menerima sertifikat tanah yang telah diperjuangkan selama belasan tahun.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu, Ferry Mursyidan Baldan, menyerahkan langsung sertifikat tanah kepada perwakilan warga. Acara yang diadakan di lapangan desa tersebut dihadiri juga oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Bupati Batang Yoyok Rio Sudibyo.
Tanah yang didistribusikan kepada petani Tumbrep adalah bagian dari program refroma agraria pemerintah. Lahan di Desa Tumbrep sebelumnya adalah lahan yang dikuasai PT Perusahaan Perkebunan Tratak yang  berdiri dan menguasai lahan sejak tahun 1957.
Sebelum izinnya dicabut, PT Tratak menguasai lahan seluas 89,841 Ha dengan status Hak Guna Usaha (HGU). Izin terakhir penguasaan lahan mengacu pada Sertifikat HGU nomor 1/Batang Tahun 1988 atas nama PT Perusahaan Perkebunan Tratak yang berakhir tanggal 1 Desember 2013.
Namun, Berdasarkan informasi dan pemantauan di lapangan, PT Tratak terindikasi menelantarkan sebagian besar lahan HGU yang dikuasainya. Hanya sebagian kecil lahan saja yang dimanfaatkan untuk ditanami Kopi dan Cengkeh.
Puncaknya adalah ketika perusahaan membongkar gudang tahun 1990 yang disusul dengan penutupan kantor beserta pabrik pada tahun 1995. Lahan perkebunanpun terbengkalai dan terlantar hingga ditumbuhi tumbuhan liar.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), penelantaran tanah yang dilakukan PT. Tratak adalah salah satu bentuk pelanggaran izin. Negara dapat menghapus dan menarik kembali izin HGU yang telah diberikan.
Petani Menggarap Tanah Terlantar
Setelah bangkrut dan menelantarkan tanahnya, warga yang umumnya petani memanfaatkan tanah tersebut secara swadaya, baik tenaga maupun biaya. Dari lahan itulah mereka menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya.
Merasa masih memiliki lahan, PT. Tratak melalui mandornya meminta petani menyerahkan 1/3 hasil pertaniannya. Meski menyanggupi, petani menganggap hal tersebut sebagai bentuk pemerasan.
Konflik antara petani dan PT. Tratak semakin memanas ketika terjadi penyekapan seorang petani oleh mandor (1999) dan juga pengerahan orang bayaran yang menyebut diri mereka Pemuda Roban Bersatu untuk mengusir petani (2007). Untungnya bentrokan fisik bisa dihindari.
Atas persoalan yang dihadapinya, Petani Tumbrep menyampaikan aspirasi ke Kanwil BPN, Bupati, DPRD, Gubernur, dan DPR Pusat. Mereka meminta pemerintah mencabut HGU PT. Tratak dan mendistribusikan tanah HGU kepada petani.
Berdasarkan identifikasi dan penilaian kantor pertanahan, PT. Tratak terbukti hanya memanfaatkan sebagian kecil lahan atau hanya 7,40 Ha yang dimanfaatkan. Sisanya ditelantarkan.
Karena dianggap mengabaikan Surat Peringatan, Kantor Pertanahan akhirnya mengeluarkan SK Nomor 7/PTT-HGU/BPN RI/2013 tentang Penetapan Tanah Terlantar Yang Berasal Dari Hak Guna Usaha Nomor 1/Batang Atas Nama PT. Perusahaan Perkebunan Tratak. SK diteken tanggal 16 Januari 2013.
Meski PT. Tratak menggugat SK Nomor 7/PTT-HGU/BPN RI/2013 di PTUN Jakarta, namun Majlis hakim yang mengadili gugatan dengan register perkara nomor 25/G/2013/PTUN.JKT tersebut, menolak gugatan mereka.
Warga Desa Tumbrep yang menjadi turut tergugat intervensi dalam gugatan itu senang bukan kepalang. Terlebih lagi ketika mereka menerima sertifikat yang diserahkan langsung oleh Menteri ATR/BPN pada Kamis, 11 Februari 2016.
Di Desa Tumbrep, Negara benar-benar hadir membela hak-hak petani kecil.
***
Drama reforma agraria di Desa Tumbrep memang terjadi jauh sebelum Badan Bank Tanah Lahir. Namun semangatnya selaras dengan apa yang menjadi cita-cita Kepala Badan Bank Tanah Parman Nataatmadja - bahwa anak cucu kita kealak akan berdiri diatas tanahnya sendiri berkat reforma agraria. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H