Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional saat itu, Ferry Mursyidan Baldan, menyerahkan langsung sertifikat tanah kepada perwakilan warga. Acara yang diadakan di lapangan desa tersebut dihadiri juga oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Bupati Batang Yoyok Rio Sudibyo.
Tanah yang didistribusikan kepada petani Tumbrep adalah bagian dari program refroma agraria pemerintah. Lahan di Desa Tumbrep sebelumnya adalah lahan yang dikuasai PT Perusahaan Perkebunan Tratak yang  berdiri dan menguasai lahan sejak tahun 1957.
Sebelum izinnya dicabut, PT Tratak menguasai lahan seluas 89,841 Ha dengan status Hak Guna Usaha (HGU). Izin terakhir penguasaan lahan mengacu pada Sertifikat HGU nomor 1/Batang Tahun 1988 atas nama PT Perusahaan Perkebunan Tratak yang berakhir tanggal 1 Desember 2013.
Namun, Berdasarkan informasi dan pemantauan di lapangan, PT Tratak terindikasi menelantarkan sebagian besar lahan HGU yang dikuasainya. Hanya sebagian kecil lahan saja yang dimanfaatkan untuk ditanami Kopi dan Cengkeh.
Puncaknya adalah ketika perusahaan membongkar gudang tahun 1990 yang disusul dengan penutupan kantor beserta pabrik pada tahun 1995. Lahan perkebunanpun terbengkalai dan terlantar hingga ditumbuhi tumbuhan liar.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), penelantaran tanah yang dilakukan PT. Tratak adalah salah satu bentuk pelanggaran izin. Negara dapat menghapus dan menarik kembali izin HGU yang telah diberikan.
Petani Menggarap Tanah Terlantar
Setelah bangkrut dan menelantarkan tanahnya, warga yang umumnya petani memanfaatkan tanah tersebut secara swadaya, baik tenaga maupun biaya. Dari lahan itulah mereka menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya.
Merasa masih memiliki lahan, PT. Tratak melalui mandornya meminta petani menyerahkan 1/3 hasil pertaniannya. Meski menyanggupi, petani menganggap hal tersebut sebagai bentuk pemerasan.
Konflik antara petani dan PT. Tratak semakin memanas ketika terjadi penyekapan seorang petani oleh mandor (1999) dan juga pengerahan orang bayaran yang menyebut diri mereka Pemuda Roban Bersatu untuk mengusir petani (2007). Untungnya bentrokan fisik bisa dihindari.
Atas persoalan yang dihadapinya, Petani Tumbrep menyampaikan aspirasi ke Kanwil BPN, Bupati, DPRD, Gubernur, dan DPR Pusat. Mereka meminta pemerintah mencabut HGU PT. Tratak dan mendistribusikan tanah HGU kepada petani.