Mohon tunggu...
Taslim Buldani
Taslim Buldani Mohon Tunggu... Administrasi - Pustakawan di Hiswara Bunjamin Tandjung

Riang Gembira Penuh Suka Cita

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memutus Tradisi Mewariskan Dosa Ekologis

29 Januari 2024   09:51 Diperbarui: 29 Januari 2024   09:53 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bumi yang kita tinggali saat ini, dengan segala macam kondisi alam yang kita jumpai, adalah warisan generasi terdahulu. Demikian halnya dengan jejak relasi kita dengan alam yang kita lakukan saat ini, juga akan membekas dan dirasakan generasi nanti. Saling waris-mewariskan, turun temurun.

Beruntunglah mereka yang masih bisa menikmati relasi harmoni manusia dengan alam. Udara bersih tanpa polusi, musim masih bergilir teratur - hujan datang sesuai bulannya dan pergi saat bulan kemarau kembali.

Keteraturan musim menciptakan keteraturan pola hidup masyarakat. Saat angin muson barat datang membawa bibit hujan di bulan Oktober, petani mulai menggarap lahannya dan nelayan mulai mewaspadai gelombang laut. Begitu juga ketika musim hujan berganti kemarau. Giliran nelayan mengarungi lautan mencari ikan dengan tenang.

Musim yang teratur juga berperan dalam kelangsungan hidup ekosistem. Ikan, belut, burung kuntul, bangau, ayam-ayaman, kodok, dan ular sawah, sering dijumpai di sawah.

Masih terbayang masa-masa dulu ketika masih bermain di sawah di belakang rumah. Kami biasa cecorok (bahasa Cilegon = mancing belut), neger (menebar alat pancing dan ditinggal semalaman), tetawu (menguras kubangan air) atau mancing di kali.

Aktivitas semacam itu sudah lama tak dijumpai. Ikan dan belut sudah tak ada lagi. Sawah dan kali benar-benar kering di musim kemarau. 

Perubahan iklim telah memicu perubahan pola cuaca. Hujan tak lagi datang di bulan Oktober dan musim kering masih menyapa di bulan November. Akibatnya pola tanam padi berubah, ekosistem sawah pun berubah.

Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang memicu anomali cuaca pada hakikatnya adalah ganjaran atas dosa ekologis manusia. Tak hanya di kampungku, perubahan iklim memicu banjir bandang, badai besar, kebakaran hutan, kekeringan ekstrem, dan krisis air besih, terjadi di berbagai penjuru dunia.

Pemanfaatan energi fosil sebagai sumber energi utama penunjang aktivitas manusia adalah salah satu pemicu utama perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca dalam bentuk karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4) dari pembangkit listrik, pabrik, kendaraan bermotor, dan aktivitas rumah tangga memicu terjadinya pemanasan global.

Deforestasi dan alih fungsi kawasan hutan termasuk dosa ekologis yang memicu perubahan iklim. Penggundulan hutan membuat kemampuan alam menyerap CO2 jadi berkurang.

Pemanasan global juga dipicu oleh perilaku manusia yang tidak bijak dalam memperlakukan sampah. Sampah yang menggunung di TPA dapat menghasilkan metana, gas yang 28 kali lebih merusak dibanding karbon dioksida.

Bencana alam yang terjadi akibat perubahan iklim tak hanya sekedar merusak bangunan dan infrastruktur atau hilangnya nyawa manusia, tapi juga mengancam kelangsungan hidup manusia secara keseluruhan.

Hijrah Ekologis

Hijrah ekologis dimaknai sebagai perubahan mindset atau pola pikir seseorang dalam menyikapi lingkungan sekitar dan diwujudkan dalam perilaku yang mendukung terwujudnya lingkungan sustainable atau lingkungan berkelanjutan.

Hijrah ekologis adalah bentuk pertaubatan atas dosa ekologis yang pernah dilakukan sekaligus sebagai momentum memutus tradisi mewariskan dosa ekologis.

Dalam keseharian, tanpa kita sadari mungkin kita melakukan dosa ekologis. Membiarkan lampu dan AC menyala di ruangan yang kosong,  menunggu di dalam mobil sambil menyalakan mesin dan AC, membuang sampah sembarangan atau memilih menggunakan motor untuk ke minimarket yang jaraknya tidak jauh dan tidak sedang diburu waktu.

Perilaku boros energi dan tidak ramah lingkungan pada dasarnya didorong oleh perilaku yang belum mengadopsi sustainability mindset atau pola pikir berkelanjutan. 

Sustainability mindset merupakan cara berpikir dan keberadaan tertentu, di mana seseorang atau kelompok secara sadar merefleksikan nilai-nilai pribadi mereka, dengan maksud untuk merespons melalui cara terbaik dan terhubung dengan kompleksitas sosial dan lingkungan (watyutink.com).   

Pertaubatan atas dosa ekologis tak berhenti pada tataran mindset. Program zero waste dan zero emission dapat dipedomani sebagai rujukan dalam melaksanakan aksi.

Sederet amalan zero waste dan zero emission diantaranya sebagai berikut. Pertama, menghindari penggunaan plastik sekali pakai dan memilah sampah kertas atau plastik. 

Sampah kertas dan plastik yang masih memiliki nilai jual dapat di sedekahkan kepada pemulung secara berkala. Selain menjaga lingkungan, dengan konsep sedekah mengolah sampah juga bernilai ekonomi dan ibadah.

Kedua, memilah sampah organik seperti kulit pisang, potongan sayur, kulit telur dan disimpan dalam tong khusus. Kegiatan ini menghasilkan pupuk cair yang bisa dimanfaatkan untuk perawatan tanaman.

Ketiga, masih terkait sampah, mendaur ulang sisa makan dengan memasukannya dalam lubang biopori dan membuat eco-enzym. Beruntung bagi yang dilingkungannya ada peternak magot, sampah sisa makanan bisa dimanfaatkan sebagai bahan makanan magot.

Tempat penampungan sampah adalah salah satu sumber gas metana (CH4) yang merusak ozon. Mengutip Kompas.id, gas metana yang dihasilkan oleh 12 juta ton sampah makanan di Indonesia setara dengan emisi gas karbondioksida CO2 yang dihasilkan 5,45 juta mobil dalam setahun.

Keempat, beralih menggunakan angkutan umum. Saat ini pilihan angkutan umum bagi warga Jabodetabek semakin berfariasi.


Mempertimbangkan akses dan biaya terbaik, sekitar 6 bulan ini kami beralih menggunakan Commuter Line yang berbasis listrik. Sebelumnya kami setiap hari mengendarai mobil ke kantor yang jaraknya 56 Km pulang-pergi.

Jika rata-rata konsumsi BBM 15 Km/ liter, dalam 1 hari berarti dihabiskan 3.7 liter BBM. Jika ditotal selama satu bulan BBM yang dikonsumsi sebanyak 75 liter.

Sebagai gambaran, emisi karbon 1 liter BBM adalah 2.4 kg, berarti sudah 6 bulan ini kami mengurangi emisi karbon sebanyak 1.080 kilogram.

Kelima, beralih ke kendaraan zero emision atau kendaraan listrik. Apalagi saat ini pemerintah masih menggulirkan program subsidi untuk kendaraan listrik.

Berdasarkan pengalaman selama 6 bulan menggunakan motor listrik dengan sistem swap baterai, biaya yang dikeluarkan untuk top up sebesar Rp70.000 untuk total jarak 400km.

Jika dibandingkan dengan motor konvensional dengan asumsi konsumsi BBM-nya 60 km/ liter, maka untuk menempuh jarak 400 km dibutuhkan BBM sebanyak +7 liter. Karena kami biasa menggunakan BBM RON 92 dengan harga rata-rata Rp14.000, potensi pengeluaran sebesar Rp98.000.

Jika saat ini odometer menunjukan angka 1.500 km, berarti selama 6 bulan memakai motor listrik, total BBM yang dihemat sebanyak 25 liter.

Penggunaan kendaraan listrik jelas lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan BBM. Dari perhitungan 1 liter BBM sama dengan 1,2 kWh listrik. Emisi karbon 1 liter BBM itu 2,4 kilogram. Sedangkan 1 kWh listrik pada sistem kelistrikan di Indonesia yang masih ditopang oleh PLTU, emisinya sekitar 0,85 kg CO2e. Artinya kalau 1,2 kWh, emisinya sekitar 1,1 kg CO2e.(PLN.co.id)

***

Bumi yang kita tinggali ini hakikatnya bukan semata milik genarasi saat ini. Generasi yang akan datang juga berhak atas alam yang harmoni dan lestari.

Tradisi mewariskan dosa ekologis kepada generasi yang akan datang mendesak untuk disikapi. Perilaku boros energi dan memperlakukan sampah secara sembarangan perlu diakhiri.

Hijrah ekologis perlu dilakukan sebagai bentuk pertaubatan atas perilaku dosa ekologis. Bijak mengolah sampah dan beralih ke pemanfaatan energi berkelanjutan demi mewujudkan zero waste dan zero emission adalah pilihannya.

Jika ingin berbuat sebuah perubahan yang maslahat bagi orang banyak, mari ingat nasehat Aa Gym "Mulai dari diri sendiri, Mulai dari yang terkecil, Mulai dari sekarang.

Mari putus tradisi mewariskan dosa ekologis. Selamat datang di era lingkungan berkelanjutan (tasbul).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun