Pak Menteri Pendidikan Yth,
Saya beberapa kali berkunjung ke sekolah di pedalaman Papua. Salah satunya berada di Kampung Towe Hitam, Distrik Towe, Kabupaten Keerom Provinsi Papua. Distrik Towe merupakan perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Jaraknya kurang lebih 300 km dari Bandara Sentani Jayapura. Jarak tersebut kami tempuh dengan mobil 4WD, mobil standar tak mampu melintasi jalan berlumpur dan menyeberangi sungai dengan derasnya arus.
Perjalanan berangkat kami agak beruntung, hanya kami tempuh satu hari satu malam. Namun perjalanan pulang kami di guyur hujan dan terpaksa menginap di hutan selama tiga malam.
Pak menteri, jika anda melihat kondisi sekolah di Papua anda mungkin bisa menangis. Banyak yang tak layak disebut sekolah. Sekolah ini masih mendingan agak bagus, yang lain tak tega saya melihatnya.
Puluhan sekolah di pedalaman papua pernah saya kunjungi walaupun saya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, bukan pula kepala dinas apalagi menteri. Dan kondisi seperti itu tidak hanya terdapat di Papua saja, di pedalaman daerah lain juga masih banyak. Seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTT, dll.
Jangan bicara masalah sekolah daring di sini Pak, karena untuk sekolah tatap muka saja gurunya sudah kuwalahan agar kelasnya terisi anak didik, disamping memang belum ada jaringan internet. Kebetulan saat saya datang ke sekolah ada 3 guru yang standby di rumah dinas , rumah kecil nampak terbuat dari papan dengan dinding bolong-bolong. Saya disambut hangat oleh Pak Erik di rumah dinas beliau, guru muda yang asli Purwodadi Jawa Tengah. Saya bermalam di rumah dinas beliau, hingga larut malam kami berbincang "ngalor-ngidul" masalah pendidikan dimana beliau mengabdikan diri. Kebetulan beliau baru saja terkena malaria tropika stadium 3, wajahnya masih terlihat pucat letih namun tetap semangat berceritaa. Pak Erik setahun sekali pulang ke Purwodadi, karena istri dan anaknya berada di kampung halaman. Sudah 3 tahun beliau berada di sekolah yang letaknya berbatasan dengan negara Papua Nugini.
Untuk turun ke Ibu Kota Kabupaten, beliau harus carter mobil. Ongkosnya sekitar 5jt sekali jalan, jika pergi-pulang berarti 10jt untuk sekedar belanja bahan makanan dan bahan ajar. Pak Erik bercerita bahwa sering sekali makan singkong saja atau singkong dengan sayuran seadanya jika beras habis dan belum ada kiriman bahan makanan dari dinas pendidikan setempat.
Pak Menteri,
Bukan kah lebih baik anggaran kegiatan POP itu diperuntukkan bagi tenaga kependidikan di daerah2 terpencil-terluar-terdepan seperti ini? Atau untuk sarana dan prasarana pendidikan di sekolah2 yang masih sangat minim.
Memang peningkatan kapasitas guru itu penting, tetapi pendidikan itu tidak sekedar mentransfer ilmu lho pak. Tapi membentuk moral dan karakter anak didik itu juga tidak kalah penting. Bagi saya guru-guru yang ada sudah cukup kompeten, karena profesi guru adalah pengabdian dan panggilan jiwa. Jika bukan karena panggilan jiwa dan pengabdian, orang-orang seperti Pak Erik tidak mungkin mau berada di pedalaman Papua sementara anak dan istrinya tinggal di jawa.
Mendidik agar anak-anak paham sejarah, agar kelak anak-anak tidak lupa akan sejarah masa lampau, agar anak bisa "ngajeni" menghormati sejarah itu juga penting.