Mohon tunggu...
Tareq Albana
Tareq Albana Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa

Nominee of Best Citizen Journalism Kompasiana Awards 2019. || Mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir. Jurusan Hadits dan Ilmu Hadits.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pegiat Literasi Juga Layak Disebut Pahlawan

10 November 2018   16:33 Diperbarui: 10 November 2018   18:03 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jika Dahulu ada Pahlawan Kemerdekaan dan Pahlawan Reformasi maka Sekarang ada Pahlawan Literasi"  Tareq Albana

Pada saat di bangku sekolah dulu, kita mungkin belajar bagaimana kisah para pejuang zaman dahulu memperjuangkan negara kita dari penjajahan kolonial. Setelah merdeka pun kita tetap harus melawan mereka yang tidak terima Indonesia mendapatkan kemerdekaannya.

Tak ayal, kita sebagai bangsa yang baru kembali dihadapkan dengan Battle Ground melawan penjajah yang gagal move on dari kekayaan dan keindahan negara ini. Kita bersyukur menang dan mengusir penjajah ini dari Ibu Pertiwi, tentunya dengan pengorbanan darah, harta, dan air mata.

Setelah kepergian penjajah, kita dihadapkan dengan persoalan baru. Masyarakat Indonesia kala itu hampir seluruhnya buta huruf karena penjajahan yang berkepanjangan. Tidaklah mudah mengedukasi penduduk negara baru yang kala itu berjumlah sekitar seratus juta jiwa.

Hal ini disebutkan oleh Mantan Presiden Indonesia, B.J Habibie di dalam bukunya "Detik-Detik yang Menentukan" bahwa mengobati penyakit buta huruf masyarakat Indonesia yang telah mendarah daging selama ratusan tahun penjajahan itu tidaklah mudah.

Apalagi dengan luas negara yang membentang ribuan kilometer dan berisikan 17 ribu pulau-pulau. Kalau Indonesia terletak di Eropa, niscaya luasnya akan sama dengan luas Inggris, Jerman, dan beberapa negara lainnya jika digabungkan.

Akan sangat berbahaya negara yang besar ini jika penduduknya tidak mengerti akan dunia baca tulis, sehingga bisa memancing konflik dan adu domba oleh pihak asing karena keluguan dan kebodohan masyarakatnya.

Pemerintah Indonesia kala itu barangkali juga bingung. Selain permasalahan ekonomi dan politik, negara ini harus mengedukasi ratusan juta penduduknya. Tentu ini bukan hal yang mudah, apalagi jumlah sekolah-sekolah Belanda jumlahnya hanya sedikit saja.

Buta Huruf adalah permasalahan yang begitu pelik, beruntung dengan banyaknya gerakan edukasi dan dakwah yang digencarkan oleh tokoh-tokoh agama di tanah air membuat rakyat Indonesia bisa terbebas dari bayang-bayang buta huruf.

Seperti KH Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah dan KH Hasyim Asy'ari dengan Nahdhatul Ulama-nya. Belum lagi gerakan di daerah yang juga sangat masif seperti Nadhatul Wathan di Lombok dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Sumatra Barat yang fokus dalam peningkatan kualitas pendidikan masyarakatnya.

Di tangan para ulama, ustaz, dan da'i inilah lahir para cendikia dan intelek bangsa yang kita kenal namanya hingga hari ini. Wajarlah jika KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, dan beberapa ulama lainnya diakui sebagai pahlawan oleh Republik Indonesia.

Penyakit Bangsa Kita Hari Ini
Lalu kita berbicara dalam konteks masa sekarang yaitu di zaman reformasi, kita tetap akan menemukan persoalan yang sama. Karena permasalahan sebuah negara, cenderung untuk kembali terulang walau dalam bentuk yang berbeda

Jika di zaman kemerdekaan kita berhadapan dengan buta huruf, maka di zaman sekarang kita berhadapan dengan sebuah penyakit yaitu "Rendahnya Minat Baca"

Secara sekilas, dua permasalahan di masa kemerdekaan dan reformasi ini terlihat berbeda. Namun jika kita tilik dari jauh dan dalam pandangan yang lebih luas, maka kita akan lihat dua hal ini berasal dari bidang yang sama yaitu permasalahan literasi.

Kalau dahulu kita mengeluh karena sedikitnya masyarakat kita yang bisa membaca dan menulis, di masa sekarang kita mengeluhkan karena sedikitnya rakyat Indonesia yang mau membaca dan menulis.

Saat zaman kemerdekaan, rakyat kita memiliki minat terhadap bacaan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya pondok pesantren dan banyak masyarakat dari segala kalangan usia ingin belajar di pondok pesantren ini. Wajar jika dahulu para santrinya sudah berumur bahkan banyak yang sudah berkeluarga.

Sekarang kita bandingkan dengan zaman sekarang, di mana minat dan kemauan untuk baca itu yang sudah hilang dalam kehidupan bermasyarakat kita. Dalam salah satu survey lemabaga internasional, negara kita berada di urutan dua terbawah dari enam puluh negara yang memiliki minat baca yang tinggi.

Kita berada di posisi 60 dari 61 negara yang disurvey. Sungguh ini adalah sebuah pukulan bagi kita sebagai bangsa yang besar. Sebagai bangsa yang memiliki banyak orang hebat dan diakui dunia.

Minim Baca sebagai Sebab Maraknya Hoaks
Setelah survey dari CSCC itu beredar, baru banyak orang yang menyadari betapa lemahnya bangsa kita dalam membaca buku. Tak heran jika dalam beberapa tahun terakhir ini, kita dihantui oleh banyak berita hoaks yang menganggu kenyaman kita di dalam republik ini.

Sebenarnya hoaks ini ada di setiap negara. Akan tetapi, yang berbeda adalah sikap dari penduduknya terhadap hoaks. Di negara-negara maju, masyarakatnya masih mengutamakan buku dan koran sebagai sumber informasi tepercaya, walaupun di tengah gempuran teknologi seperti saat ini.

Informasi di media sosial atau media online itu hanya dijadikan sebagai bahan pengantar informasi saja. Setelah itu mereka akan lansung melihat dan cross check kebenaranya melalui koran, radio, atau siaran televisi.

Wajar saja jika kita jarang mendengar berita hoaks menjadi trending topic di negara-negara maju tersebut.

Mesir sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah sarjana dan doktor terbanyak, hingga saat ini penduduknya masih menggunakan koran dan radio sebagai referensi berita harian mereka. Jarang saya mendengar masyarakat Mesir menggunakan berita yg beredar di medsos sebagai referensi berita mereka.

Baca Juga: Di Mesir, Siapa Saja Bisa Memiliki Perpustakaan Pribadi

Sekarang kita sebagai masyarakat Indonesia, sangat akrab dengan namanya hoaks. Setiap berita di media sosial dianggap sebagai kebenaran mutlak dan referensi dalam obrolan kita.

Rendahnya Minat Baca sebagai Sebab Timbulnya Perpecahan
Malas membaca sebenarnya bisa membawa bangsa kita kepada kemungkinan yang sangat buruk, di antaranya mudah diadu domba, mudah diprovokasi, minimnya toleransi, hingga potensi perpecahan antarmasyarakat.

Ini merupakan persoalan serius bagi Indonesia, karena masyarakat yang jarang membaca tidak terbiasa mengolah informasi yang didapat dari berbagai pihak, sehingga mereka cenderung menganggap sebuah kebenaran jika informasi itu disampaikan dari teman atau tokoh panutanya.

Seperti yang kita lihat bentrokan antar ormas yang marak terjadi belakangan ini, ini terjadi karena terprovokasi oleh sesama mereka dengan sebuah berita yang belum seutuhnya benar.

Atau munculnya hoaks dari salah satu tokoh nasional kita yang membuat masyarakat dengan mudah memercayainya. Tentu ini sebuah hal yang harus diselesaikan secara serius agar kita tidak menjadi mainan sebagian pihak atau bangsa lain

Setuju atau tidak, rendahnya minat baca memang berpotensi merusak ketentraman dan kenyamanan bangsa kita. Jika kita dahulu berperang melawan penjajah, lalu berperang melawan kebodohan dan buta huruf, maka sekarang kita berperang melawan rendahnya minat baca rakyat Indonesia!

Baca Juga: 3 Alasan Kenapa Orang Indonesia Malas Baca

Munculnya para Pegiat Literasi di Berbagai Daerah
Sebagaimana lazimnya jika suatu bangsa sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan, maka disana akan muncul banyak tokoh dan pejuang yang akan membereskan penyakit bangsa ini.

Pegiat literasi yang berada di seluruh Indonesia sangat menyadari permasalahan ini. Oleh karena itu mereka mulai bergerak baik secara individual maupun berkelompok dengan organisasi pegiat literasi yang ada diseluruh Indonesia.

Tujuan mereka hanya satu. Membebaskan masyarakat negara ini dari "Penyakit Minat Baca" yang menghinggapi hampir sebagian besar rakyat kita.

Jasa mereka sangatlah luar biasa untuk kemajuan literasi negara kita, mulai dari mendirikan komunitas baca di perkampungan, kampus, maupun sekolah. Sebagian mereka membangun pustaka umum atau rumah bacaan.

Pegiat literasi ini berusaha memperkenalkan dunia bacaan kepada anak-anak maupun masyarakat, dengan tujuan agar masyarakat mulai melek terhadap dunia baca dan tulis.

Pegiat literasi era modern juga menggunakan teknologi sebagai basis utama pergerakannya. Mereka mendorong pemuda-pemuda Indonesia untuk mengahasilkan karya dalam bentuk buku atau antalogi yang dikerjakan secara bersama-sama.

Baca juga: Meningkatkan Minat Baca dengan Teknologi, Mungkinkah?

Mereka ada di setiap tempat, selalu menularkan semangat literasi kepada lingkungannya. Pegiat literasi ini berasal dari berbagai macam latar belakang, ada yang memang seorang penulis dan ada juga mahasiswa, wiraswasta, bahkan pelajar SMP dan SMA.

Alhamdulillah usaha pegiat literasi ini tidak sia-sia, di tahun 2018 akhirnya pemerintah Indonesia menunjuk Najwa Shihab, seorang presenter kenamaan Indonesia sebagai duta baca Indonesia, sebagai bukti bahwa Literasi sudah menjadi isu nasional yang dikeluarkan oleh pemerintah kita.

Sekarang ini hampir semua organisasi kepemudaan dan mahasiswa mengangkat isu literasi sebagai salah satu target dan lahan garapan perjuangan mereka. Bahkan tahun lalu ada kongres komunitas literasi se-Indonesia. Ini adalah sebuah kemajuan besar dalam dunia literasi kita.

Hal ini bisa dibuktikan dengan maraknya buku-buku dengan harga yang sangat miring di Jogjakarta. Lalu di Jakarta juga mulai sering diadakan Book Fair, di Sumatra Barat juga sering diadakan Lomba Menulis dan Bedah Buku.

Baca Juga: 24 Jam Mengelilingi CIBF, Bazar Buku Terbesar di Dunia.

Ditambah lagi dengan hidupnya komunitas literasi di daerah-daerah. Jika dulu kita hanya mendengar nama Komunitas Forum Lingkar Pena (FLP), sekarang sudah ada Pecandu Buku yang digagas oleh Penulis Fiersa Besari. Ada juga komunitas literasi berbasis teknologi yang bernama Beranibaca.id, dan masih ada ribuan komunitas lainnya di Indonesia.

Ini adalah pertanda, bahwa pegiat literasi sudah berhasil menumbuhkan minat baca dan tulis masyarakat Indonesia. Walaupun belum begitu berarti, tapi percayalah mereka akan selalu bertambah banyak dan kelak akan benar-benar membawa bangsa ini kepada perubahan yang lebih baik.

Selamat Hari Pahlawan, Wahai Pegiat Literasi! Kalian adalah pahlawan literasi yang abadi sepanjang masa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun