Mohon tunggu...
Hasiati Kimia
Hasiati Kimia Mohon Tunggu... Penulis - Bukan seorang penulis profesional, tetapi menulis dapat membuka wawasanku

Banyak bermimpi dan mencoba langkah baru kadang selangkah mendekatkanmu dengan mimpumu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Alam Tak Lagi Bersahabat

26 Desember 2015   14:17 Diperbarui: 26 Desember 2015   14:42 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sahabat adalah orang yang selalu bersama kita suka maupun duka, dan selalu mengkhawatirkan kita.

Ketika bencana datang pernahkah terlintas pikiran “Sudahkah aku bersahabat dengan alam?”.

***

“makan bareng yuk teman-teman, aku yang traktir deh” ajak Taty kepada hampir semua teman-teman satu kelasnya.

Kala itu hujan sedang turun dengan derasnya berlomba dengan kencangnya angin dan deru sang Guntur yang memekakan telinga serta petir yang memaksa mata harus terpejam sementara. Tampak langit yang mulai gelap padahal baru pukul dua siang menggambarkan sedikit kengerian bagi yang memperhatikan.

Dengan suara agak ragu dan wajah sedikit pucat Vivid salah satu sahabat Taty menolak ajakannya, “maaf Ta, aku baru dapat kabar kalau hujan ini sudah membuat kompleks perumahanku kebanjiran jadi aku harus pulang”. Seusai mengatakan itu Vivid meninggalkan sahabatnya itu yang tengah berdiri sedikit kecewa membiarkan jilbab yang ia kenakan dimainkan angin.

“berarti aku harus pulang juga” sela Agus cepat sambil berlari mengejar Vivid sebelum yang lain angkat suara, dia sendiri memang tinggal hanya berbeda beberapa blok dengan Vivid.

***

Di dalam rumah makan yang letaknya di ujung jalan dan bersebelahan dengan sebuah bukit bekas gusuran tanah, tampak Taty, Zhu, Isni, Tini dan Jamal saja yang ada. Hampir semua teman-teman yang diajaknya keberatan datang dan hanya menitipkan salam dan ucapan selamat, ya… karena hari itu ulang tahunnya Taty. Kelima orang sahabat itu terlihat kurang menikmati makannya memikirkan nasib sahabatnya yang terkena banjir.

“bagaimana nasib banjir di rumah Vivid ya? Aku dengar ketinggiannya sudah mencapai tinggi mobil” Taty membuka percakapan di tengah kebisuan.

“ah, paling beritanya di kasih lebai deh” jawab Jamal cuek sambil tetap melahap tiap santapan di depan matanya, beraneka jenis kue dan bakso serta aneka jenis minuman terhampar di atas meja mereka.

Haning kembali acara makan-makan itu. Serasa seperti lima orang yang tak saling mengenal duduk pada satu meja makan, salah satu ingin mengangkat suara namun terpaksa bungkam karena kurang enak hati pada yang lainnya. Hanya suara pertemuan sendok dan piring yang menandakan mereka sedang makan, itupun wujud menghargai sahabatnya yang sedang berulang tahun sehingga makanan itu benar-benat tertelan di kerongkongan mereka.

Selesai makan mereka berlima berpisah di depan rumah makan itu. Taty menjadi orang terakhir yang meninggalkan rumah makan ketika akhirnya langkah kakinya terhenti akibat kejadian yang mengerikan. Pohon besar yang letaknya berada pada puncak bukit rubuh menutupi jalan serta ujungnya menyentuh rumah makan tempat Taty berdiri.

Lemas tubuhnya, badan menggigil gemetar ketakutan. Dzikir tiada henti Taty panjatkan, “sebenarnya ada apa dengan kota ini? Kenapa hujan dan angin bisa sampai segininya?” batin Taty ditengah derunya jantung berpacu.

***

Pagi menjelang, namun gerimis belum bosan untuk berkunjung. Dengan sedikit penasaran Taty menyalakan TV mencari siaran yang menayangkan berita banjir kota ini. Hatinya masih saja merasa khawatir dengan nasib sahabatnya itu yang kini tak bisa ia hubungi.

Taty hanya terpaku mendengar berita yang didengarnya, wajahnya pucat mulutnya sedikit menganga namun kemudian ditutup dengan kedua tangannya hinggga tanpa disadari remot yang digenggamnya tadi sudah jatuh. Batinnya menangis namun hanya ekspresi sedih yang bisa ia tampakkan, kakinya lemas dan bergetar hingga membuatnya tak mampu berdiri dan akhirnya jatuh terduduk di atas lantai keramik bermotif. Sementara itu, suara TV masih menyiarkan berita memilukan yang melanda kota ini.

***

Dikelas tampak tak seperti biasanya, bising dan gaduh yang selalu menjadi ciri khas kelas ini mendadak hilang dan berganti dengan ketenangan. Semua teman-teman sekelas Taty yang hadir duduk manis di bangku masing-masing dan menundukan wajah menyimpan kesedihan mereka. Si ratu gosip dalam kelas tak terkecuali, dia hanya kadang-kadang menengok samping kana dan kirinya untuk menyalin peer yang sempat ia lupakan.

Taty juga tak berbeda dari mereka, berita yang ia dengar tadi pagi mengabarkan jebolnya bendungan yang mengakibatkan banjir yang sebelunnya sudah lumayan tinggi semakin menjadi-jadi hingga akhirnya meratakan beberapa rumah yang berada disekitar kali, tampak digambar menunjukan batas tinggi air yang mencapai dua meter  hampir semua daerah diterjang banjir, terlihat beberapa daerah masyarakatnya terpaksa menggunakan perahu karet dan tali untuk menyeberang masih saja terngiang dikepalanya. Balum dijelaskan dalam berita tersebut rumah siapa saja yang menjadi korban, namun Taty yakin Vivid salah satu korbannya walau batinnya terus menolak alasannya karena sampai sekarang Vivid belum bisa dihubungi.

Zhu berinisiatif menyarankan teman-teman sekelas untuk menymbangkan beberapa pakaian, uang, serta makanan secukupnya dan seikhlasnya kepada para korban banjir seusai sekolah. Alhasil siang itu juga terkumpul uang sebesar Rp 2.500.000,- dan pakaian bekas layak pakai dua karung dua puluh lima kilo serta satu dus mie instan. Mereka berjanji membawakan langsung ke lokasi kejadian sore itu.

***

Pukul 5 tepat sore itu Taty, Zhu, dan Thia sudah berada tepat didepan kompleks perumahan Vivid yang menjadi salah satu korban banjir yang melanda hampir seluruh kota. Mereka bertiga sedang menunggu Agus sang ketua kelas yang kebetulan rumahnya selamat dari incaran sang banjir.

Mamasuki kompleks perumahannya, Agus menyarankan mereka bertiga melepaskan alas kaki yang dikenakan karena lumpur bekas bawaan banjir yang cukup tebal.

Langkah demi langkah kaki manapak, kepiluan tersirat jelas di wajah dan batin mereka. Bangunan-bangunan yang masih kokoh namun penuh dengan lumpur dengan batas garis air yang kekuningan ditembok menunjukan ketinggian air saat banjir mencapai dua meter lebih, beberapa bangunan tampak kokoh didepan namun hancur dibelakang, ada juga yang roboh dan hanya menyisahkan beberapa puing-puing, sebuah rumah terlihat utuh namun cukup lenggang karena seluruh isinya telah terbawa banjir.

Semakin kedalam langkah mereka mulai berat, bukan karena melalui tanjakan namun karena ketinggian lumpur yang mencapai lutut mereka. Terlihat beberpa rumah mulai dibersihkan penghuninya menggunakan sumbangan air dari pemerintah setempat. Dibeberapa titik juga terlihat beberapa stasiun TV swata yang sedang merekam untuk dijadikan berita pasca banjir. Dibeberapa sudut dekat kali juga tampak sekelompok masyarakat yang tengah makan roti serta air mineral kemasan lokal dari sukarelawan yang tiba lebih dulu mereka juga tengah sibuk memasak mie instan dan nasi hasil sumbangan sukarelawan untuk mempersiapkan makan malam.

Langkah Taty CS sedikit terhenti, mata mereka terpana akibat menyaksikan jembatan yang biasa digunakan penduduk setempat hancur lebur tak bersisah, ada beberapa puing besar bekas jembatan yang terlihat di kali sekitar lima meter dari jarak jembatan semula. Agus memandu jalan menapaki pekarangan rumah orang yang terlihat dapat dipijak menghindari lumpur tebal, hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah masjid bertingkat yang menurut warga setempat dipakai warga untuk  mengungsi saat banjir datang kemarin. Dari sukarelawanlah mereka mengetahui bahwa Vivid beserta keluarga berlindung dari di sana.

Kedatangan mereka disambut dengan senyum getir oleh Vivid didepan masjid. Dengan wajah senyumnya dia menyampaikan kondisinya, “rumah aku habis Ta, tak bersisa sepuingpun, tak ada barang yang sempat aku selamatkan entah itu ijazah, uang, atau perhiasan, hanya aku dan baju yang aku kenakan yang sempat aku selamatkan”

Miris mendengar kalimat itu dari wajah penuh senyuman yang hanya mengenakan seragam sekolah yang kini warnanya telah tampak lusuh dan kumal membuat Taty dan Zhu tak kuasa, sambil memeluk Vivid mereka menangis sejadi-jadinya. Tia dan Agus tampak sesekali mengusap bulir air disudut mata mereka, sapu tangan Agus menjadi tameng tuk menyembunyikan kesedihannya.

Setelah tenang, Vivid mulai menceritakan kejadian yang menimpanya. Dimulai dari ketika ia memasuki kompleks perumahannya, banjir telah mencapai lututnya. Selangkah demi selangkah air mulai naik hingga mencapai area pinggangnya, untuk menghindari genangan air yang lebih dalam ia memilih melewati jalan yang berada lebih tinggi walau sedikit memutar dari arah rumahnya. Belum sampai rumah ketika dia berada tepat di depan masjid tiba-tiba suara gemuruh laksana raksasa menerobos rumah-rumah dengan hentakan kakinya, gelombang air bah akibat jebolnya tanggul menyapu bersih apapun yang dilaluinya.

“hanya sekejab Ta, tanpa ku sadari air yang tingginya melewatiku tepat berada di depanku, hanya sepersekian detik entah dengan kekuatan apa aku bisa berada di dalam masjid lantai dua saat air itu datang. Ketika itu aku baru menyadari Allah akan selalu melindungi hambanya yang memang ingin Dia lindungi, baik sikapnya baik maupun buruk” Jelas Vivid. “ aku sadar sudah sering melupakanNya Ta, bahkan tak sedikitpun aku bersyukur akan nikmatnya. Tapi saat itu dzikir tak pernah putus dari aktivitas lidahku, hanya namaNya yang bisa kuingat” tambahnya.

Kajadian yang berlangsung tepat pada pukul lima sore itu berangsur-angsur surut hingga pukul setengah tujuh malam tepat azan Magrib. Banjir memang masih melanda, namun aktivitas air bah akibat jebolnya tanggul sudah tidak ada lagi. Warga yang selamat masih belum memberanikan diri keluar memeriksa keadaan hingga tim SAR dan sukarelawan menghampiri mereka di tempat perlindungan.

Azan magrib berkumandang ketika Taty CS mengunjungi rumah Vivid yang tinggal tanah, tanpa tersisah dasarnya sekalipun. Istigfar tak henti-hentinya mereka haturkan dalam hati. Rumah yang berada disampingnya ikut hanyut terbawa arus namun menyisahkan bekas lantai yang menandakan bangunan pernah berdiri di atas tanah itu.

Dari ketua RT setempat mereka mengetahui banjir diakibatkan kurangnya kesadaran masyarakat akan bahayanya membuang sampah dikali. Banyaknya bebatuan menyebabkan sampah-sampah tersangkut tak terus ke laut, hingga saat hujan lebat melanda kali akan meluap dan menyebabkan banjir. Ditambah jebolnya tanggul lebih memperburuk keadaan.

Setelah sholat Isya, Taty CS memohon diri untuk pulang, pelajaran berharga kini yang mereka dapatkan tentang kehidupan nyata. Ketika alam yang selama ini kau abaikan tak lagi bersahabat denganmu.

Penyesalan akibat kecerobohan yang selama ini dilakukan memang selalu datang terlambat, ketika semua telah hilang, ketika semua hancur, dan ketika semua telah pergi. Alam selalu berpihak padamu, namun katika ia meninggalkanmu apa yang terjadi?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun