Mohon tunggu...
Hasiati Kimia
Hasiati Kimia Mohon Tunggu... Penulis - Bukan seorang penulis profesional, tetapi menulis dapat membuka wawasanku

Banyak bermimpi dan mencoba langkah baru kadang selangkah mendekatkanmu dengan mimpumu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Alam Tak Lagi Bersahabat

26 Desember 2015   14:17 Diperbarui: 26 Desember 2015   14:42 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

***

Pukul 5 tepat sore itu Taty, Zhu, dan Thia sudah berada tepat didepan kompleks perumahan Vivid yang menjadi salah satu korban banjir yang melanda hampir seluruh kota. Mereka bertiga sedang menunggu Agus sang ketua kelas yang kebetulan rumahnya selamat dari incaran sang banjir.

Mamasuki kompleks perumahannya, Agus menyarankan mereka bertiga melepaskan alas kaki yang dikenakan karena lumpur bekas bawaan banjir yang cukup tebal.

Langkah demi langkah kaki manapak, kepiluan tersirat jelas di wajah dan batin mereka. Bangunan-bangunan yang masih kokoh namun penuh dengan lumpur dengan batas garis air yang kekuningan ditembok menunjukan ketinggian air saat banjir mencapai dua meter lebih, beberapa bangunan tampak kokoh didepan namun hancur dibelakang, ada juga yang roboh dan hanya menyisahkan beberapa puing-puing, sebuah rumah terlihat utuh namun cukup lenggang karena seluruh isinya telah terbawa banjir.

Semakin kedalam langkah mereka mulai berat, bukan karena melalui tanjakan namun karena ketinggian lumpur yang mencapai lutut mereka. Terlihat beberpa rumah mulai dibersihkan penghuninya menggunakan sumbangan air dari pemerintah setempat. Dibeberapa titik juga terlihat beberapa stasiun TV swata yang sedang merekam untuk dijadikan berita pasca banjir. Dibeberapa sudut dekat kali juga tampak sekelompok masyarakat yang tengah makan roti serta air mineral kemasan lokal dari sukarelawan yang tiba lebih dulu mereka juga tengah sibuk memasak mie instan dan nasi hasil sumbangan sukarelawan untuk mempersiapkan makan malam.

Langkah Taty CS sedikit terhenti, mata mereka terpana akibat menyaksikan jembatan yang biasa digunakan penduduk setempat hancur lebur tak bersisah, ada beberapa puing besar bekas jembatan yang terlihat di kali sekitar lima meter dari jarak jembatan semula. Agus memandu jalan menapaki pekarangan rumah orang yang terlihat dapat dipijak menghindari lumpur tebal, hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah masjid bertingkat yang menurut warga setempat dipakai warga untuk  mengungsi saat banjir datang kemarin. Dari sukarelawanlah mereka mengetahui bahwa Vivid beserta keluarga berlindung dari di sana.

Kedatangan mereka disambut dengan senyum getir oleh Vivid didepan masjid. Dengan wajah senyumnya dia menyampaikan kondisinya, “rumah aku habis Ta, tak bersisa sepuingpun, tak ada barang yang sempat aku selamatkan entah itu ijazah, uang, atau perhiasan, hanya aku dan baju yang aku kenakan yang sempat aku selamatkan”

Miris mendengar kalimat itu dari wajah penuh senyuman yang hanya mengenakan seragam sekolah yang kini warnanya telah tampak lusuh dan kumal membuat Taty dan Zhu tak kuasa, sambil memeluk Vivid mereka menangis sejadi-jadinya. Tia dan Agus tampak sesekali mengusap bulir air disudut mata mereka, sapu tangan Agus menjadi tameng tuk menyembunyikan kesedihannya.

Setelah tenang, Vivid mulai menceritakan kejadian yang menimpanya. Dimulai dari ketika ia memasuki kompleks perumahannya, banjir telah mencapai lututnya. Selangkah demi selangkah air mulai naik hingga mencapai area pinggangnya, untuk menghindari genangan air yang lebih dalam ia memilih melewati jalan yang berada lebih tinggi walau sedikit memutar dari arah rumahnya. Belum sampai rumah ketika dia berada tepat di depan masjid tiba-tiba suara gemuruh laksana raksasa menerobos rumah-rumah dengan hentakan kakinya, gelombang air bah akibat jebolnya tanggul menyapu bersih apapun yang dilaluinya.

“hanya sekejab Ta, tanpa ku sadari air yang tingginya melewatiku tepat berada di depanku, hanya sepersekian detik entah dengan kekuatan apa aku bisa berada di dalam masjid lantai dua saat air itu datang. Ketika itu aku baru menyadari Allah akan selalu melindungi hambanya yang memang ingin Dia lindungi, baik sikapnya baik maupun buruk” Jelas Vivid. “ aku sadar sudah sering melupakanNya Ta, bahkan tak sedikitpun aku bersyukur akan nikmatnya. Tapi saat itu dzikir tak pernah putus dari aktivitas lidahku, hanya namaNya yang bisa kuingat” tambahnya.

Kajadian yang berlangsung tepat pada pukul lima sore itu berangsur-angsur surut hingga pukul setengah tujuh malam tepat azan Magrib. Banjir memang masih melanda, namun aktivitas air bah akibat jebolnya tanggul sudah tidak ada lagi. Warga yang selamat masih belum memberanikan diri keluar memeriksa keadaan hingga tim SAR dan sukarelawan menghampiri mereka di tempat perlindungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun