Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Keberadaan suatu partai politik yang membawa sistem kepemimpinan demokrasi sebagaimana konstitusi Republik Indonesia tentang Bhineka Tunggal Ika. Ditambah dengan UUD 1945 yang mengatur keadilan dan permusyawaratan rakyat. Hal ini adalah vital dalam berbangsa dan bernegara. Bagaimana mungkin rakyat negara ini mencapai tahapan "rakyat berdaulat, Â otonomi daerah, otonomi khusus".Â
Partai politik yang idealnya terlebih dahulu  menerapkan demokrasi daripada status dan masyarakat daerah tapi realitanya justru partai politiklah yang bertentangan dengan kata lain partai politik hingga sekarang masih dalam kepemimpinan yang sentralistik bahkan otoritarian (otokrasi).
Perkembangan rakyat daerah dengan status daerah sudah modern sementara partai politik justru kuno dan ketinggalan jaman. Padahal seluruh kebijakan negara ini bersumber dari partai politik bahkan keputusan-keputusan paling urgen negara ini ditangan pimpinan partai politik. Sementara keberadaan pemerintah adalah kaki tangan partai politik, dan pimpinan pemerintah tidak mungkin bertentangan dengan partai politiknya. Meskipun ketika kita memantau situasi sosial sepertinya pemerintah berkuasa penuh dalam kekuasaan negara. Padahal tidak demikian adanya apalagi presiden atau gubernur ketua partai politik maka mereka akan berkuasa secara absolut.
Kenapa mereka berkuasa absolut? Pertama, tentu saja karena partai politiknya bergantung penuh kepadanya, kenapa?
Karena sistem kepemimpinan partai politik itu tidak demokratis tetapi otoriter, Â jadi segala keputusan ada ditangan pemimpinnya, sementara pengurus lain adalah pengikut. Kemudian mentalitas masyarakat indonesia yang masih belum bebas dari nuansa penjajahan karena terlalu lama terjajah. Sehingga kalau kita pantau partai politik maka kita akan temukan istilah "atas izin bapak"
Kedua, anggota partai politik cenderung korup dalam demokrasi sehingga mereka enggan berbagi kekuasaan. Dalam sistem kekuasaan raja yang absolut tidak mengenal pembagian kekuasaan sebagaimana dalam politik modern dan kerjasama dalam kekuasaan cenderung dianggap lemah, maka sistem feodalisme berkembang secara masif dalam masyarakat, apalagi masyarakat bekas jajahan bangsa lain.
Oleh karena itu perubahan karakter yang otoriter kepada sistem demokrasi sangat jauh dalam sikap maka mereka yang tidak memiliki kesabaran sulit menerima demokrasi dalam sistem kepemimpinannya. Kunci kekuasaan dalam politik demokrasi atau politik modern adalah kerjasama, hampir bisa dipastikan bagi mereka yang berada dalam ranah politik demokrasi tidak mungkin bisa memimpin tanpa keahliannya dalam bekerjasama.
Kalau demikian batasan pemahamannya maka bisa dipastikan bahwa partai politik yang menganut sistem kepemimpinan otoriter adalah nyata musuh rakyat Indonesia. Kenapa? Karena konstitusi Republik Indonesia sudah demokratis sementara partai politik sebaliknya.
Pertanyaannya, Â siapakah yang menghambat pembangunan rakyat negeri ini?
Siapakah yang melakukan pembodohan rakyat di negeri ini?
Siapakah yang menjajah rakyat negeri ini?
Jawabannya adalah tidak lain selain partai politik yang dipimpin secara otoritarian, feodal, primordialisme, sektarian dan segudang kekuasaan yang bersifat individu termasuk one man show dalam kepemimpinan organisasi apapun jenisnya terutama organisasi politik baik dipusat maupun di daerah.
Ketika rakyat memahami bahwa musuhnya yang utama adalah partai politik yang menganut sistem kepemimpinan sentralistik, termasuk menunjuk ketua daerahnya serta mempertahankan ketua daerahnya yang menerapkan sistem tersebut maka sungguh rakyat tidak layak mendukung partai politik tersebut. Jika rakyat tetap mendukung partai itu maka tidak berbeda dengan rakyat sedang menikmati hidup dalam dinamika penjajahan modern.
Inilah bentuk penjajahan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri yang tanpa sadar rakyat hidup terbelenggu selamanya dan jauh dari perubahan nasibnya.
Lalu mengapa hal ini bisa terjadi dan terjadi perawatan dalam sistem penjajahan tersebut?
Pertama, disebabkan kesengajaan oleh pimpinan partai politik yang bermental penjajah dan ingin menguasai sehingga menjalankan berbagai kup (kudeta) terhadap hak politik rakyat. Kemudian mereka hidup dalam sistem penjajahan dimana mereka sebagai penjajahnya.
Kedua, tidak disengaja tetapi akibat kelemahan dalam memahami demokrasi dan keterbukaan, karena demokrasi ini sebagai produk yang lumayan baru di negara ini yang dimulai sejak reformasi 1998.
Ketiga, pimpinan partai politik yang licik ingin menguasai suara rakyat maka mereka menutupi pada rakyat tentang demokrasi itu sendiri. Lebih tepatnya pimpinan partai politik seperti ini digolongkan sebagai demagog dalam politik.
Keempat, pimpinan partai politik kagetan atau pimpinan dini bisa saja karena karbitan atau kebetulan mereka punya kesempatan karena kondisi sosial yang lemah yang hanya berharap pada standar hidup dalam kebutuhan primerinya. Kemudian karena masyarakat tidak membutuhkan kebebasan apalagi demokrasi maka pimpinan tersebut di dukung oleh rakyat yang mereka sekedar penuhi kebutuhan pokoknya.
Kelima, pimpinan partai politik yang sebenarnya bodoh tetapi karena rakyat juga dominan bodoh maka partai politik inilah yang bahkan memenangkan pemilu maka negara dan rakyat di negara tersebut sesungguhnya sedang dalam penjajahan. Hanya saja karena penjajahan modern tidak menggunakan senjata dalam wujud yang bisa dilihat oleh rakyat maka rakyat menganggap tidak ada penjajahan dan mereka aman saja hanya melarat tetapi mereka beranggapan bahwa negaranya merdeka.
Nah, Â dari uraian diatas maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa penjajahan modern itu bisa juga dilakukan oleh warga bangsa kita sendiri baik dengan kekejaman pimpinan pelaku politik atau karena kebodohan pimpinan partai politik dan rakyatnya.
Lalu, hak rakyat dimana? Pada pemilu ketika mereka memilih presiden dan pemilu memilih wakil rakyat. Rakyat bisa memilih presiden dan rakyat bisa juga memecat presiden atau menghentikan kekuasaannya ketika rakyat memahami hak politiknya dan memahami demokrasi yang sangat penting untuk memberi kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Tanpa pemahaman demokrasi yang benar maka mustahil rakyat paham tentang haknya dalam berbangsa dan bernegara, bahkan rakyat mustahil paham tentang partai politik yang sesungguhnya.
Maka pendidikan rakyat dalam politik sangat mutlak dibutuhkan bahkan partai politik di beri fungsi dan tugas oleh negara untuk mendidik rakyat sehingga rakyat melek dalam politik.
Lalu, Â jika partai politik tidak menjalankan pengkaderan dan pendidikan politik maka pimpinan partai politik tersebut sedang membohongi negara dan membodohi rakyat. Prilaku ini adalah prilaku pengkhianatan terhadap konstitusi negara bahkan tidak berbeda dengan teroris karena mengancam pembodohan rakyat.
Lantas bagaimana dengan partai politik yang mengabaikan suara cabangnya di daerah?
Tentu saja kredibilitas pimpinan partai politik di pusat tidak becus dalam pengelolaan partai politiknya. Karena suara cabang pimpinan partai politiknya tidak digubris apalagi suara rakyat, sudah pasti mereka mengabaikannya. Hal ini adalah indikator berlakunya sistem kepemimpinan demokratis atau tidak dalam partai tersebut. Tentu partai politik yang benar akan memelihara dan merawat kepercayaan pimpinan cabang dan rakyat melalui cabangnya tersebut, Â karena rakyat tidak mengetahui kondisi perlakuan pimpinan diatas maka rakyat pendukung menyerahkan kepada pimpinan cabang partai.
Karena pemeliharan kepercayaan maka dikenal dengan Mosi Tidak Percaya dalam organisasi politik. Â Kalau pimpinan mendapat mosi tidak percaya dari cabang-cabangnya apalagi melebihi 50 persen maka kepercayaan pimpinan tersebut dinyatakan sudah hilang. Artinya pimpinan tersebut dalam prilaku dan tindak-tanduknya tidak dipercaya bawahannya dalam organisasi.
Jika kondisi ini terjadi pada suatu partai politik maka berhentilah membuat hubungan dengan ketua yang di mosi tersebut. Â Jikapun pimpinan partainya di pusat bersikeras mempertahankannya maka sama dengan pimpinan pusat tersebut telah melecehkan pimpinan cabangnya. Pemahaman ini sebagai indikator bahwa partai politik bersangkutan tidak becus mengurus rakyat dan menampung aspirasi cabang dan kadernya apalagi aspirasi rakyat. Â Tentu saja mereka lebih mengutamakan kekuasaan kelompoknya dan anggotanya walaupun tidak mampu menjalankan tugas dalam hal pemenuhan aspirasi rakyat.
Oleh karena itu partai yang mengabaikan aspirasi cabang partainya juga salah satu partai yang tidak pantas dipilih dan di dukung rakyat pada pemilu. Bukankah mereka ramai? Bisa saja mereka ramai karena sistem pimpinan kamu plase atau lips servise. Ketika ada pemantauan mareka diramaikan dengan kehadiran orang-orang yang sebenarnya tidak paham tentang politik tetapi karena kehadiran pejabat dari pusat dengan sendirinya akan menjadi ramai karena rakyat biasapun beranimo yang sama dalam kecenderungan sosial.
Apalagi di negara ketiga di negara majupun masih juga kita menyaksikan fenomena kehadiran pejabat pemerintah atau pejabat tinggi partai di pusat masih di ramaikan disambut dan disanjung setinggi langit.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI