Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aceh Termiskin di Sumatera karena Pemimpin Pantengong

5 Februari 2022   11:25 Diperbarui: 5 Februari 2022   14:54 2069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Aceh adalah provinsi bekas konflik yang kini berstatus khusus,  dimana sebelumnya provinsi ini pernah berstatus, sebagai daerah istimewa. Silih berganti nama dengan kata berkonotasi sama ini juga suatu indikator bahwa tidak ada lagi status yang lebih tinggi dibanding kata khusus dan istimewa. Namun sesungguhnya nama dan status tidak berarti apapun ketika fungsinya tidak berjalan sebagaimana namanya tersebut.

Sebagai provinsi khusus, apakah uang pembangunan dari pemerintah pusat juga khusus (di istimewakan) untuk provinsi ini, misalnya jumlahnya yang lebih besar dari provinsi lain. Tentu saja begitu yang dipahamai oleh rakyat Indonesia di provinsi-provinsi lain. Sehingga image orang Aceh kaya juga pernah teropinikan diprovinsi tersebut hampir sepanjang masa sebagaimana masa lalu ketika Aceh bergelimang image Dollar sebagai penghasil condensat,  minyak dan gas di wilayah nusantara.

Lalu, apakah hal ini benar? Ya uangnya benar,  tetapi penerima uangnya tetap saja orang lain,  namun beberapa orang warga Aceh yang tidak tahu diri yang berjabatan besar diperusahaan eksplorasi milik asing tersebut adalah sebagai tumbal untuk menghisap habis isi kandungan alam di Aceh. Berikutnya para pemimpin di Aceh kala itu yang bermental inlander (terjajah) sebagaimana sebahagian besar rakyat juga tidak berbeda karena negara apolitis yang sebahagian besar hanya hidup bagaimana untuk memperoleh pekerjaan untuk memperoleh pendapatan yang standar untuk bertahan hidup. Sementara yang bekerja di perusahaan tersebut miskin kreatifitas sosial apalagi pengabdiannya hampir sama sekali tidak terlihat.

Lantas kenapa rakyat Aceh terus miskin padahal pernah semua mata warga Indonesia tertuju kesana dan melihat uang dan fasilitas di wilayah tersebut dimasa lalu. Padahal siapapun yang pernah mengambil manfaat di Aceh, sudah seharusnya memberi perhatian terhadap kondisi sosial masyarakat daerah itu.

Kemudian kenapa semua faktor yang kita harapkan tidak pernah ada, mungkin saja karena terjadi konflik beberapa tahun terakhir yang menyebabkan Aceh menjadi asing dimata investor lokal dan juga dimata asing. Yang kita sayangkan setelah konflik dan penyerahan trust kekuasaan kepada pihak yang bertikai kondisi keamanan sudah normal namun kondisi kesejahteraan justru merosot drastis. Sementara para pemimpin korup dan masyarakat mengikuti kecenderungan prilaku pemimpinnya dalam pemilihan rakyat atau mengambil keputusan juga korup.

---------------------------------
Pemimpin sebagaimana penulis sebutkan "pantengong" dalam ilmu kepemimpinan sosial karena masih memimpin menggunakan alat-alat feodalisme, primordialisme, dalam ekonominya masih terbenam dalam kapitalisme primordializem mengatur dengan kekuatan uang, bahasa awam kepemimpinan toke tradisional, mereka mencari uang pribadi dan kelompok politik juga menguras uang daerah dengan menguasai sumber-sumber ekonomi daerah, beli tanah,  rumah, dan buka warung kopi dan usaha yang bisa dikerjakan oleh rakyatnya bahkan usahanya berkompetisi dengan usaha rakyat biasa. Mereka tidak belajar untuk mencari pendapatan dengan cara-cara yang lebih modern dan morderat. Jika hal ini terus terpelihara maka selamanya Aceh masuk dalam peringkat daerah miskin di Indonesia.
---------------------------------

Timbul tanda tanya besar, sebagai pemimpin dan masyarakat religius, bukankah lebih efektif bagi masyarakat Aceh dalam penanggulangan korupsi? Hal ini yang justru menjadi tanda tanya besar dalam sistem kehidupan rakyat dan pemimpin pemerintahan di Aceh. Ternyata kondisi sosial yang agamis tidak menjamin prilaku pemimpin dan masyarakatnya untuk patuh dan menjadi penghambat prilaku buruk dalam kepemimpinan daerah.

Bahkan ada kesimpulan bahwa kredibilitas agama tergantung bahkan sangat bergantung pada bagaimana sistem yang kita bangun ditengah masyarakat, jika berangkat dari sistem yang feodalizem bukan dengan kesadaran maka sudah pasti agama juga rapuh dalam keyakinannya karena sebahagian besar masyarakat beragama hanya karena budaya turun temurun bukan pada esensi komunikasi atau apalagi mencari tuhan sebagaimana sejarah-sejarah pemuka agama dilahirkan.

Kondisi sosial yang centang perenang dalam kehidupan masyarakat Aceh, tentunya menimbulkan beberapa hipotesa sosial yang bertentangan dengan logikanya, misalnya sebagai berikut :

Pertama, ketaatan beragama yang seharusnya mampu menekan rakyat untuk tidak berprilaku negatif justru terbalik.

Kedua, masyarakat beragama dan berbudaya hidupnya lebih teratur,  tertib dan aman justru terbantahkan.

Ketiga, status daerah yang oronomi khusus seharusnya membawa masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan yang optimal justru sebaliknya.

Keempat, dana pembangunan yang optimal tidak menjamin aktivitas pembangunan menjadi lancar dan bergairah.

Kelima, keberadaan partai lokal yang seharusnya meningkatkan kualitas wakil rakyat dalam pembangunan semakin lama justru semakin terbantahkan.

Keenam,  pasca perdamaian (MOU Heksinki) seharusnya konsolidasi sosial menjadi perhatian penuh bagi siapapun pemimpin Aceh, apalagi dari komunitas GAM sendiri karena telah terjadi perpecahan dan pemisahan dengan masyarakat umum dimasa konflik. Realitanya damai justru hanya menjadi momentum mengambil kesempatan menjadi pejabat dan kaya beberapa orang saja yang lainnya justru bertambah miskin bahkan melarat dalam kehidupan normal.

Ketujuh, tidak pernah soliditas (kekompakan) dalam mencapai tujuan pembangunan dimana gubernur dengan masyarakat Aceh bagaikan air dan minyak, pola hubungan bukan sebagai kepemimpinan pemerintahan atau kepemimpinan sosial tetapi bagaikan manajemen pembajak dengan rakyat biasa. Gubernur dan manajemennya sebagai kelompok orang kaya sementara rakyat sebagai peminta yang membutuhkan bantuan. Pembangunan dalam pandangan masyarakat hanya sebagai kepentingan atau alat menghabiskan uang negara untuk memperoleh fee mereka yang menjabat dan bahkan tidak berkorelasi dengan mereka rakyat pada umumnya.

Dari masalah yang timbul tersebut  sesungguhnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Bahwa terjadi konflik dan perlawanan terhadap pemerintah bukan berarti mereka dipersatukan oleh kesamaan visi dalam memandang kesejahteraan masyarakat bahkan misi meningkatkan kesejahteraan anggota pengikut dalam perang yang siap korban nyawa (mempertaruhkan hidup) terlihat sangat tipis, tetapi lebih sebagai jalan atau peluang perubahan nasib pribadi mereka masing-masing.

Sebelum konflik mereka pengangguran dengan adanya perang mereka ada pekerjaan, sebelumnya mereka bagaikan sampah dengan ada perang mereka dihormati atau sebelum perang mereka buronan ketika perang dengan sendirinya berubah status musuh atau lawan yang mengatasnamakan masyarakat dan mereka pejuang.

Setelah damai justru mereka menjadi pejabat dan pemimpin rakyat, meski tanpa pendidikan yang normal karena mereka di hutan. Lalu kondisi sosial berbalik arah, dimana mereka yang sebelumnya dihutan dan memegang senjata menjadi pejabat sementara mereka yang berpendidikan dan pintar istirahat atau harus ikut irama kepemimpinan sosial yang tidak normal bahkan bobrok.

Manajemen pemerintahan dimana mereka yang pintar juga pasti terjadi takanan mental (mentality pressure) karena ukuran jabatan si bodoh atasan sipintar bawahan. Hal ini justru melunturkan tanggung jawab pembangunan karena sipintar bekerja sekedar untuk melepaskan diri baik dalam politik maupun dalam birokrasi karena dominasi yang lemah.

Dimana-mana dalam hukum pemberontak yang berkuasa akan terjadi manajemen pemerintahan yang menempatkan orang bermental otoriter sebagai pemimpin. Mereka hanya mencari orang yang pintar dan pandai mengambil hati sebagai pembantunya. Ditengah jalan jika terjadi pertentangan atau masukan, fitnah, tentu mereka yang pintar diganti, karena ego atasan yang tidak paham, selanjutnya mereka digantikan dan sudah pasti berkontra dengan yang sebelumnya dalam membuat perubahan dan mencari nama dan ego lebih pintar. Berikutnya kejadian yang sama berulang, dan mereka yang ikut untuk mempertahankan posisinya sebahagian besar berkasus dalam pemerintahan dan berakhir dipenjara.

Dalam politik juga akan berkecenderungan tidak jauh berbeda, politisi terpaksa mengikuti arus dan mereka yang melawan arus akan terpental atau mereka yang memiliki nurani akan beristirahat karena tidak ingin memaksakan kehendaknya ditengah kehidupan sosial yang abnormal. Justru karena itu masyarakat semakin terpuruk dalam berbagai sisi kehidupannya.

Oleh karena itulah daerah juga akan ikut terpuruk dalam kemiskinan yang sulit untuk bangkit. Jika ingin bangkit maka harus dilakukan perubahan fundamental dalam sistem kehidupan sosialnya dan masyarakat harus berkesadaran mencari pemimpin yang memiliki ilmu dalam kepemimpinan politik dan sosial bukan sekedar vokal dan bersuara lantang yang emosi tanpa paham substansi, bukan juga masyarakat mencari Tuan yang banyak uang sebagaimana Bandar.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun