Kedua, masyarakat beragama dan berbudaya hidupnya lebih teratur, Â tertib dan aman justru terbantahkan.
Ketiga, status daerah yang oronomi khusus seharusnya membawa masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan yang optimal justru sebaliknya.
Keempat, dana pembangunan yang optimal tidak menjamin aktivitas pembangunan menjadi lancar dan bergairah.
Kelima, keberadaan partai lokal yang seharusnya meningkatkan kualitas wakil rakyat dalam pembangunan semakin lama justru semakin terbantahkan.
Keenam, Â pasca perdamaian (MOU Heksinki) seharusnya konsolidasi sosial menjadi perhatian penuh bagi siapapun pemimpin Aceh, apalagi dari komunitas GAM sendiri karena telah terjadi perpecahan dan pemisahan dengan masyarakat umum dimasa konflik. Realitanya damai justru hanya menjadi momentum mengambil kesempatan menjadi pejabat dan kaya beberapa orang saja yang lainnya justru bertambah miskin bahkan melarat dalam kehidupan normal.
Ketujuh, tidak pernah soliditas (kekompakan) dalam mencapai tujuan pembangunan dimana gubernur dengan masyarakat Aceh bagaikan air dan minyak, pola hubungan bukan sebagai kepemimpinan pemerintahan atau kepemimpinan sosial tetapi bagaikan manajemen pembajak dengan rakyat biasa. Gubernur dan manajemennya sebagai kelompok orang kaya sementara rakyat sebagai peminta yang membutuhkan bantuan. Pembangunan dalam pandangan masyarakat hanya sebagai kepentingan atau alat menghabiskan uang negara untuk memperoleh fee mereka yang menjabat dan bahkan tidak berkorelasi dengan mereka rakyat pada umumnya.
Dari masalah yang timbul tersebut  sesungguhnya dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Bahwa terjadi konflik dan perlawanan terhadap pemerintah bukan berarti mereka dipersatukan oleh kesamaan visi dalam memandang kesejahteraan masyarakat bahkan misi meningkatkan kesejahteraan anggota pengikut dalam perang yang siap korban nyawa (mempertaruhkan hidup) terlihat sangat tipis, tetapi lebih sebagai jalan atau peluang perubahan nasib pribadi mereka masing-masing.
Sebelum konflik mereka pengangguran dengan adanya perang mereka ada pekerjaan, sebelumnya mereka bagaikan sampah dengan ada perang mereka dihormati atau sebelum perang mereka buronan ketika perang dengan sendirinya berubah status musuh atau lawan yang mengatasnamakan masyarakat dan mereka pejuang.
Setelah damai justru mereka menjadi pejabat dan pemimpin rakyat, meski tanpa pendidikan yang normal karena mereka di hutan. Lalu kondisi sosial berbalik arah, dimana mereka yang sebelumnya dihutan dan memegang senjata menjadi pejabat sementara mereka yang berpendidikan dan pintar istirahat atau harus ikut irama kepemimpinan sosial yang tidak normal bahkan bobrok.
Manajemen pemerintahan dimana mereka yang pintar juga pasti terjadi takanan mental (mentality pressure) karena ukuran jabatan si bodoh atasan sipintar bawahan. Hal ini justru melunturkan tanggung jawab pembangunan karena sipintar bekerja sekedar untuk melepaskan diri baik dalam politik maupun dalam birokrasi karena dominasi yang lemah.