Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Aceh yang Otsus Larut dalam Opini dan Sentimen Syariat Islam, Pembangunan Kesejahteraan Hidup Rakyat Justru Terabaikan

15 Mei 2021   14:12 Diperbarui: 15 Mei 2021   14:31 505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi yang harus diendors oleh pemerintah Republik Indonesia secara khusus. Berawal dari provinsi Daerah Istimewa Aceh kemudian Nanggroe Aceh Darussalam, berikutnya dikembalikan nama provinsi tersebut ke nama dasarnya yakni Aceh. 

Namun dalam statusnya sebagai daerah khusus sedianya dengan perlakuan yang khusus pula, tidak perlu terjadi debatable terutama dalam intervensi keuangan berkaitan dengan penambahan jumlah anggaran negara dalam formasi dana otonomi khusus.

Tulisan ini sebagai otokritik terhadap arah kebijakan kelompok masyarakat dan kondisi sosial Aceh yang terpuruk dengan lebel termiskin dan status otonomi khusus yang outputnya berbanding terbalik. Namun kajian selayang pandang ini bertujuan antara agar para pelaku politik meluruskan tujuan demi hidup rakyat yang normal. 

Begitupun harapan utamanya para ulama harusnya berpolitik untuk kebaikan dan kedamaian hidup tetapi bukan berpartai politik yang menjerumuskan status sosial dalam profesinya.

Secara umum negara hanya berkewajiban menggelontorkan uang negara dengan angka-angka dalam jumlah trilyunan setiap tahunnya. Hal ini merupakan wujud nyata dari beban anggaran negara bagi rakyat Aceh yang selama belakangan ini telah dinikmati oleh pemerintah daerah dengan sistem pengelolaan uang negara yang berorientasi pada "sistem pengelolaan keuangan negara" Republik Indonesia yang tidak berbeda dengan provinsi lain.

Secara umum juga seluruh rakyat Indonesia seyogyanya mengetahui hal ini sebagai bentuk perhatian khusus kepada masyarakat Aceh berkaitan dengan keputusan negara dalam rangka penyelesaian permasalahan dan dampak yang ditimbulkannya.

Lalu, dalam konteks kehidupan masyarakat Aceh dalam negara kesatuan Republik Indonesia, kemanakah arah orientasi pembangunan masyarakat yang dikhususkan tersebut?

Pertanyaan ini dapat diinterprestasi jawabannya dalam tiga arah persepsi masyarakat Aceh sendiri ketika melihat, memantau dan merasakan manfaat keuangan terutama khusus bagi Aceh yang dapat mengilustrasikan negara Indonesia dalam wujud keseriusannya menangani warga masyarakat Aceh sebagai warga negaranya. 

Persepsi publik terbagi dalam tiga katagori dalam perspektif muara pembagunan yang telah disaksikan sejak Aceh menyandang status khusus sebagai berikut :

Pertama, Pembangunan kekhususan Aceh dimana pemerintah Aceh dapat mengusulkan perencanaan anggaran negara tersebut untuk memperkuat otonomi khusus terutama penguatan kemandirian masyarakat Aceh yang damai terlepas dari konflik. 

Pemerintah Aceh dapat merencanakan pembangunan secara mandiri tanpa intervensi pemerintah pusat kecuali hal-hal yang mengarah pada pelewatan batas otonomi khusus dimaksud. 

Dalam hal ini pemerintah pusat idealnya tidak perlu mendikte anggaran tersebut kecuali dalam hal penyalahgunaan anggarannya. 

Kelemahan dalam pembangunan yang berorientasi ke arah tersebut, yakni hambatannya hanya pada sumber daya manusia yang lemah dan berdampak pada korupsi dan hasil yang tidak seimbang, yakni besar modal dengan manfaat sosial.

Kedua, Pembangunan Syariat Islam yang berorientasi opini internasioanal tentang Aceh sebagai bahagian dari penganut peradaban budaya Arabian di Asia dan justru menghasilkan opini yang tidak disadari justru menjadi pelemahan Islam, misalnya berlakunya kebijakan yang mengatasnamakan Islam hanya dalam batas simbolik. Sebagai contoh sebagaimana di gembar-gembor tentang lembaga keuangan bank syariah yang hanya bisa beroperasi di Aceh. 

Bank syariah dalam sistem operasi yang tidak jauh berbeda dengan bank konvensional biasa bahkan jika kita pelajari lebih mendalam boleh disebut bank syariah yang simbolik. Jika sistem bank ini tidak bisa memberi manfaat lebih baik kepada rakyat maka Aceh akan menjadi kubur yang strategis bank syariah itu sendiri.  

Berikutnya dalam perspektif kebangsaan justru lebih terpuruk dimata dunia karena Aceh sulit mendapat dukungan bernegara yang berciri agama tunggal. Karena itu arah dan tujuan pembangunan bangsa Aceh justru disumbat oleh mereka sendiri, lalu yang dibangun sesungguhnya apa? Justru Sentimen Politik yang membuat kesenjangan dengan pola kehidupan global.

Ketiga, Pembangunan rakyat Aceh yang tidak terorientasi pada pembangunan kekhususan maupun pengembangan syariah, tetapi pembangunan normatif dimana asalkan ada uang meski tidak berkait dengan arah pembangunan otonomi khusus tetapi warga masyarakat Aceh dapat membuka akses terhadap perbaikan kondisi hidup seperti penyediaan lapangan pekerjaan bagi warganya yang berdomisili di Aceh.

Dari ketiga pilihan diatas, tentu kita bisa memilih opsi tersebut yang dianggap terbaik bagi warga masyarakat Aceh. Lalu ketika ada pimpinan Aceh yang mengatakan pilihan tersebut yang terbaik bagi masyarakat Aceh tentu warga masyarakat yang tidak memahami ilmu politik menganggap hal ini sebagai pegangan karena sudah dinyatakan oleh pimpinan eksekutif maupun legislatif di Aceh.

Padahal pilihan terbaik ini masih mengundang berbagai pertanyaan yang begitu luas, dan relatifitasnya masih menganga terbuka yang masih mengundang korupsi besar dan penyelewengan keuangan daerah oleh mereka yang berjabatan yang dipilih oleh rakyat.

Karena dalam labirin yang begitu luas maka konsentrasi pada program konsolidasi sosial masyarakat Aceh tidak terurus secara baik. Sehingga problema sosial dan kesenjangan sosial terjadi lintas elemen masyarakat bahkan pada kelompok GAM sendiri terjadi kesenjangan yang sulit kita pahami kenapa hal itu bisa terjadi.

Kenapa saya menyebut kesenjangan yang sulit kita pahami? Penyerahan kekuasaan di Aceh terjadi secara spontan pada kelompok GAM dari kelompok politik yang morderat sebagaimana partai nasional. Bahkan jabatan gubernur Aceh disandang selama tiga periode, sehingga ada kesimpulan bahwa uang negara berada ditangan mereka dan dapat membantu anggotanya bahkan secara sporadis setiap tahun anggaran tanpa mengakaji tujuan dan dampak yang timbul dimasa depan terhadap nasib mereka.

Tetapi kenyataannya tidak sebagaimana kita pikirkan, justru pimpinan dari GAM sendiri sepertinya tidak berdaya dalam upaya pemberdayaan warganya yang kembali ketengah masyarakat biasa. Pertanyaannya apakah karena kurang uang, atau ketidakmampuan sumber daya manusia pimpinannya?

Lalu, kita bicara tiga opsi pembangunan sosial yang lain, yaitu :

Pertama, warga maupun bangsa Aceh baik diluar negeri maupun di Aceh yang mempersepsikan pembangunan Aceh dengan penguatan nasional Aceh sebagai issu politik untuk penguatan peran kelompok ini dalam mempengaruhi rakyat.

Kedua, Berikutnya ada juga opsi yang lebih ekstrim justru masih berjuang untuk pemerdekaan Aceh sebagai negara merdeka secara terbuka namun mereka justru hanya membangun Sentimen Politik, menciptakan gap antara Aceh dan pemerintah pusat. Bahkan mereka beranggapan bahwa kebersamaan Aceh dengan Indonesia adalah bentuk penjajahan terhadap bangsa Aceh. Karena itu masyarakat harus berjuang agar Aceh lepas dari NKRI.

Ketiga, Ada juga persepsi yang dikembangkan bahwa para ulamalah yang akan memerdekakan Aceh maka Aceh harus diwarnai oleh syariat Islam dalam berbagai sisi kehidupannya. Mereka percaya bahwa ulama dapat berjuang pada Allah untuk memerdekan Aceh. Sehingga kebanyakan faksi ini memperkuat ritual mensucikan kelompoknya untuk membangun kepercayaan yang masif dimata masyarakat Aceh. Karena kepercayaan inilah sebahagian besar masyarakat Aceh dominan membicarakan syariat Islam sebagai alat pembangunan sosial yang berkompetensi dengan masyarakatnya dan di aminkan oleh pemerintah pusat. 

Padahal jika kita analisa secara mendalam maka pembangunan Aceh yang berkarakter akan ambigu dengan pembangunannya sendiri dan Aceh berpekuang menjadi peti mati bagi Syariat Islam yang beerorientasi pada ilmu pengetahuan tetapi hanya Islam yang fanatis.

Dari begitu banyak opsi yang berkembang dalam masyarakat Aceh maka kita bisa mendeteksi tingkat kecerdasan daya pikir masyarakat Aceh dalam konsepsi untuk langkah menuju pembangunan sebagaimana harapannya masyarakat lainnya. 

Secara realita gerakan masyarakat Aceh dalam pembangunannya yang kita lihat dalam perspektif politik justru membuat haluan yang bertentangan dengan harapannya sendiri.

Secara umum bertolak belakang dengan tujuan yang ingin dicapai, misalnya dalam opsi pengibaran bendera Aceh yang ingin diinklutkan sebagai bendera pemerintah Aceh. Jika hal ini dapat diterima maka masyarakat menganggap Aceh sudah dipintu gerbang merdeka. Tetapi mereka lupa bahwa mereka mengharapkan kemerdekaan Aceh atas kebijakan pemerintah Indonesia.

Jika bendera dimaksud diterima maka tidak lebih dari tiga bulan masyarakat akan sibuk dan lalai mengurus bendera. Secara substansi harapan masyarakat hanya berada pada tataran egosentris daerah bukan pada pembangunan kebangsaan sebagaimana keinginannya.

Secara umum dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pembangunan Aceh dengan muara masing-masing justru bertolak belakang dengan tujuan pembangunannya. 

Jika ingin rakyatnya kuat maka seharusnyalah pemimpin Aceh harus memperkuat akar perjuangannya, misalnya memperkuat basis ekonomi yang tidak bergantung pada pemerintah Indonesia. 

Tetapi keliru bila mereka berpikir bahwa harapan besar itu dapat dicapai dengan penguatan simbolik dalam Islam dengan peranan Syariat Islam, apalagi dengan mengusir bank konvensional di Aceh dan menggantikannya dengan bank syariah secara absolut dalam kekuasaannya. Kenapa?

Karena perubahan bank konvensional kepada bank syariah tidak akan berdampak pada penguatan ekonomi rakyat, kecuali tokoh masyarakat dan pimpinan di Aceh berpikir tentang sistem perekonomian yang otonom dan berbeda dengan negara Indonesia, bukan dalam batasan sistem keuangan yang sempit apalagi sistem pengelolaannya antara konvensional dan syariah.

Salam
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun