Tetapi kenyataannya tidak sebagaimana kita pikirkan, justru pimpinan dari GAM sendiri sepertinya tidak berdaya dalam upaya pemberdayaan warganya yang kembali ketengah masyarakat biasa. Pertanyaannya apakah karena kurang uang, atau ketidakmampuan sumber daya manusia pimpinannya?
Lalu, kita bicara tiga opsi pembangunan sosial yang lain, yaitu :
Pertama, warga maupun bangsa Aceh baik diluar negeri maupun di Aceh yang mempersepsikan pembangunan Aceh dengan penguatan nasional Aceh sebagai issu politik untuk penguatan peran kelompok ini dalam mempengaruhi rakyat.
Kedua, Berikutnya ada juga opsi yang lebih ekstrim justru masih berjuang untuk pemerdekaan Aceh sebagai negara merdeka secara terbuka namun mereka justru hanya membangun Sentimen Politik, menciptakan gap antara Aceh dan pemerintah pusat. Bahkan mereka beranggapan bahwa kebersamaan Aceh dengan Indonesia adalah bentuk penjajahan terhadap bangsa Aceh. Karena itu masyarakat harus berjuang agar Aceh lepas dari NKRI.
Ketiga, Ada juga persepsi yang dikembangkan bahwa para ulamalah yang akan memerdekakan Aceh maka Aceh harus diwarnai oleh syariat Islam dalam berbagai sisi kehidupannya. Mereka percaya bahwa ulama dapat berjuang pada Allah untuk memerdekan Aceh. Sehingga kebanyakan faksi ini memperkuat ritual mensucikan kelompoknya untuk membangun kepercayaan yang masif dimata masyarakat Aceh. Karena kepercayaan inilah sebahagian besar masyarakat Aceh dominan membicarakan syariat Islam sebagai alat pembangunan sosial yang berkompetensi dengan masyarakatnya dan di aminkan oleh pemerintah pusat.Â
Padahal jika kita analisa secara mendalam maka pembangunan Aceh yang berkarakter akan ambigu dengan pembangunannya sendiri dan Aceh berpekuang menjadi peti mati bagi Syariat Islam yang beerorientasi pada ilmu pengetahuan tetapi hanya Islam yang fanatis.
Dari begitu banyak opsi yang berkembang dalam masyarakat Aceh maka kita bisa mendeteksi tingkat kecerdasan daya pikir masyarakat Aceh dalam konsepsi untuk langkah menuju pembangunan sebagaimana harapannya masyarakat lainnya.Â
Secara realita gerakan masyarakat Aceh dalam pembangunannya yang kita lihat dalam perspektif politik justru membuat haluan yang bertentangan dengan harapannya sendiri.
Secara umum bertolak belakang dengan tujuan yang ingin dicapai, misalnya dalam opsi pengibaran bendera Aceh yang ingin diinklutkan sebagai bendera pemerintah Aceh. Jika hal ini dapat diterima maka masyarakat menganggap Aceh sudah dipintu gerbang merdeka. Tetapi mereka lupa bahwa mereka mengharapkan kemerdekaan Aceh atas kebijakan pemerintah Indonesia.
Jika bendera dimaksud diterima maka tidak lebih dari tiga bulan masyarakat akan sibuk dan lalai mengurus bendera. Secara substansi harapan masyarakat hanya berada pada tataran egosentris daerah bukan pada pembangunan kebangsaan sebagaimana keinginannya.
Secara umum dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pembangunan Aceh dengan muara masing-masing justru bertolak belakang dengan tujuan pembangunannya.Â