Lihat saja Bali yang bisa mengatur waktu libur di daerahnya dengan hari-hari penting dalam agamanya Hindu meskipun provinsi itu tidak diberi status khusus atau Istimewa. Tetapi karena budaya di Bali yang tunggal maka pemerintah pusat harus memberi ruang untuk menghormati budaya lokal (local wisdem) disana meski tidak mereka rebut dengan perang dan konflik.
Aceh yang juga berbudaya tunggal yaitu agama dan budayanya Islam maka pemerintah pusat sesungguhnya tidak bisa menghambat penyelenggaraan kehidupan budaya masyarakat Aceh meski pemerintah pusat mengatur pemerintah dalam sistem sentralisme karena bentuk negara kesatuan atau negara yang pada dasarnya adalah negara yang berorientasi pada penggabungan kekuasaan dengan pendekatan militeristik. Menurut hemat penulis negara sentralistik adalah negara klasik yang menjurus pada sistem penjajahan dimasa lalu atau negara yang berorientasi pada kediktatoran meskipun sekarang diubah ke sistem negara demokratis tetapi budaya rakyat tetap saja akan kembali ke sistem negara diktator karena sebelum merdeka terlalu lama terjajah oleh bangsa lain bahkan berabad lamanya.
Dalam perspektif pembangunan daerah yang berkarakter bedanya penanganannya, misalnya Aceh provinsi Bali. Aceh menganut budaya Islam secara fanatis melebihi substansi penegasan beragama Islam di negeri asal agama itu sendiri sehingga pemerintah dengan referensi sumber daya manusia dalam kepemimpinan dipusat justru memandang ada ruang yang masih bisa dikoreksi dalam kebudayaan masyarakat dengan orientasi pada penyelenggaraan ibadah dan keimanan. Sementara Bali lebih terbuka pada dunia dalam budaya yang kemudian menjadi salah satu pasar wisata terbesar di dunia namun tanpa meninggalkan kehidupan tradisional mereka.
(Alinea diatas dapat dijadikan sebagai materi diskusi untuk mengurai sumber masalah dalam masyarakat Aceh yang selalu menjadi masalah sejak lama).
Atau silakan saja digunakan kalimat-kalimat diatas untuk ditanamkan dalam hati setiap warga Aceh sebagai suatu masalah ketika berhadapan antara budaya dan orientasi beragama. Hal ini pasti menjadi awal benturan dan salah paham yang sangat sensitif kala kita ingin mencari jalan keluarnya.
Untuk memudahkan mari kita munculkan tiga pertanyaannya, kira-kira, begini :
Pertama, Siapa yang mampu menjamin bahwa keimanan seseorang lebih baik daripada orang lain? Jawabannya tidak ada, karena status semua manusia sama sebagai makhluk Tuhan.
Kedua, Siapa yang bisa mengukur bahwa komunikasi dengan Allah (ibadah) seseorang lebih baik daripada orang lainnya? Jawabannya juga tidak ada karena yang tahu hanya Allah dan manusia sebagai makhluk tidak tahu.
Ketiga, Warga masyarakat manakah di Indonesia yang anda minta pemikirannya dalam  penyelenggaraan "budaya Islam" dalam kehidupan bermasyarakat? Jawaban salah satu yang utama adalah warga Aceh.
Menurut saya kuncinya ada pada kemampuan pengelolaan pemerintahan di Aceh dan kemampuan pemerintah dalam mendinamisir ilmu pengetahuan pada masyarakat oleh pemimpinnya sendiri. Oleh karena itu mari kita lihat ketika Aceh dipimpin oleh Pejabat Gubernur yang berasal dari luar Aceh. Meski ada berbagai masalah yang terganggu tetapi masyarakat Aceh cenderung diam dan tidak memperkeruh suasana dalam hal substansi keagamaan. Tetapi bila dalam substansi budaya Islam sudah pasti bergemuruh meski di media sosial.
Dalam sistem kehidupan rakyat Aceh yang dasarnya paternalistik, kehadiran gubernur sebagai kepala pemerintah Aceh yang dimaknai dengan kepemimpinan rakyat atau ummat. Namun karena sistem kepemimpinan Indonesia yang multi agama namun bukan agama Islam secara tunggal maka menimbulkan masalah pada masyarakat menengah bawah di Aceh. Oleh karena itu meskipun gubernur orang yang santun berwibawa dan alim, pastilah menjadi masalah dalam kehidupan sosial di Aceh.