Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dana Otsus Aceh Dibagi Kepada Rakyat Lebih Bermanfaat Daripada Pembangunan Infrastruktur

30 April 2021   05:18 Diperbarui: 7 Mei 2021   02:35 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin saja sebahagian menganggap ide pembagian uang ini sebagai ide gila dalam suatu pembangunan masyarakat. Tetapi ada juga sebahagian lagi menganggap ini salah satu ide yang brilian dalam membangun masyarakat daerah khusus sebagaimana Aceh.

Kalau kita memantau dan merasakan hidup sebagai warga masyarakat Aceh maka kita akan menemukan suatu masalah yang kontroversial ditengah status dan kondisi hidup warga masyarakatnya.

Mengapa demikian? Karena dengan status daerah khusus Aceh mendapat tambahan anggaran yang besar dibanding provinsi lain di Indonesia, hal ini mungkin hanya berlaku bagi provinsi lain yang terbatas seperti Papua dan Papua Barat. Namun diprovinsi lain tersebut dana negara untuk rakyat itu terang-terangan dibagi kepada rakyat ketika rakyat menghadapi krisis. Sebenarnya ada esensi lain yang ingin dicapai dengan kebijakan itu yakni pemimpin dan rakyatnya bersatu meskipun banyak yang menilainya bodoh.

Uniknya Aceh tidak pernah kita temukan sekalipun ada pemimpinnya yang berlaku demikian, ironisnya daerah bergelar terbalik dimana kaya dengan kompetensinya justru menjadi provinsi termiskin di Sumatera padahal uang yang diperoleh dari pemerintah pusat berjumlah lebih banyak dengan statusnya yang khusus. Penggunaan uang daerah di Aceh sepenuhnya bisa dikatagorikan mutlak secara politis karena uang daerah juga dipergunakan oleh pimpinan dan wakil rakyatnya yang dinamakan uang aspirasi.

Anehnya lagi pemimpin Aceh tidak pernah membagi uangnya kepada rakyat dimana seharusnya antara pemimpin dan rakyatnya dalam satu bahasa dan rasa yang sama. Tapi yang kita lihat bahkan para pimpinan Aceh memperlihatkan kesombongan intelektual dalam membangun daerah, realitanya pembangunan justru tidak bermanfaat untuk mengangkat ekonomi rakyatnya. Justru kesenjangan yang lebar antara masyarakat yang berjabatabatan dipemerintahan dengan masyarakat biasa dapat kita saksikan sebagai model kehidupan sosial di Aceh. Yang menurut teori manajemen sosial daerah seperti ini sebagai daerah tergolong statis dalam perspektif pembangunannya atau boleh disebut tertinggal.

Ilustrasi pembangunan infrastruktur tidak lebih sekedar kantor pemerintahan, kantor partai politik, fasilitas untuk bekerja aparatur pemerintahan dan pembangunan tempat ibadah yang bermewahan, selebihnya mobil-mobil pejabat yang mewah dan semua fasilitas nomor wahid para petingginya. Sementara bangunan yang mengisyaratkan perkembangan swasta dan masyarakat biasa tidak terilustrakan disana, maksudnya apa? Pemerintah daerah hanya bekerja untuk menghabiskan uang negara atas nama kepentingan rakyat daerah dan mereka menggunakannya sebagaimana distribusi bantuan atau uang yang dihabiskan untuk konsumsi biasa yang tidak membawa misi pembangunan sosial sebagaimana arah perencanaan dan pembangunan sosial di daerah dan negara yang rakyatnya sudah maju.

Karena orientasi pembangunan yang salah kaprah dan bukan pembangunan yang mendasar bagi rakyat maka Aceh terpuruk miskin dengan uang yang banyak, dengan kata lain para pemimpin Aceh eksekutif dan legislatif  bisa disebut bodoh turun temurun dalam kepemimpinan atau terlalu pintar dalam mensiasati rakyatnya. Maka image pemimpin di Aceh yang kental itu adalah berkhianat dimata rakyatnya, maka belum satupun pasangan kepemimpinan daerah bertahan hingga dua periode yang menunjukkan kualitas baik dan diterima secara baik dalam melaksanakan pemerintahannya.

Sepintas lalu image ini sangat mengganggu kita sebagai warga karena seharusnya Aceh justru menjadi provinsi yang hebat dalam kepemimpinan dan daerah yang kaya dengan status daerahnya yang khusus sejak dulu, meskipun terminologynya berganti secara simbolik, dintaranya adalah sebagai berikut :

(Daerah Istimewa) Aceh
Nanggroe Aceh Darussalam
(Daerah Khusus) Aceh

Pada intinya semua status simbolik diatas tersebut tidak berbeda, bahkan lebih indah justru nama Daerah Istimewa Aceh, karena kata istimewanya lho...

Lalu, keistimewaan atau kekhususan-kekhususan Aceh itu berkisar pada orientasi penyelenggaraan syariat Islam, dimana sesungguhnya dari masa awal penggabungan Aceh menjadi bahagian dari provinsi dalam negara Indonesia juga diperbolehkan meletakkan dasar-dasar pembangunan masyarakatnya dengan budayanya sendiri (local wisdem).

Lihat saja Bali yang bisa mengatur waktu libur di daerahnya dengan hari-hari penting dalam agamanya Hindu meskipun provinsi itu tidak diberi status khusus atau Istimewa. Tetapi karena budaya di Bali yang tunggal maka pemerintah pusat harus memberi ruang untuk menghormati budaya lokal (local wisdem) disana meski tidak mereka rebut dengan perang dan konflik.

Aceh yang juga berbudaya tunggal yaitu agama dan budayanya Islam maka pemerintah pusat sesungguhnya tidak bisa menghambat penyelenggaraan kehidupan budaya masyarakat Aceh meski pemerintah pusat mengatur pemerintah dalam sistem sentralisme karena bentuk negara kesatuan atau negara yang pada dasarnya adalah negara yang berorientasi pada penggabungan kekuasaan dengan pendekatan militeristik. Menurut hemat penulis negara sentralistik adalah negara klasik yang menjurus pada sistem penjajahan dimasa lalu atau negara yang berorientasi pada kediktatoran meskipun sekarang diubah ke sistem negara demokratis tetapi budaya rakyat tetap saja akan kembali ke sistem negara diktator karena sebelum merdeka terlalu lama terjajah oleh bangsa lain bahkan berabad lamanya.

Dalam perspektif pembangunan daerah yang berkarakter bedanya penanganannya, misalnya Aceh provinsi Bali. Aceh menganut budaya Islam secara fanatis melebihi substansi penegasan beragama Islam di negeri asal agama itu sendiri sehingga pemerintah dengan referensi sumber daya manusia dalam kepemimpinan dipusat justru memandang ada ruang yang masih bisa dikoreksi dalam kebudayaan masyarakat dengan orientasi pada penyelenggaraan ibadah dan keimanan. Sementara Bali lebih terbuka pada dunia dalam budaya yang kemudian menjadi salah satu pasar wisata terbesar di dunia namun tanpa meninggalkan kehidupan tradisional mereka.


(Alinea diatas dapat dijadikan sebagai materi diskusi untuk mengurai sumber masalah dalam masyarakat Aceh yang selalu menjadi masalah sejak lama).

Atau silakan saja digunakan kalimat-kalimat diatas untuk ditanamkan dalam hati setiap warga Aceh sebagai suatu masalah ketika berhadapan antara budaya dan orientasi beragama. Hal ini pasti menjadi awal benturan dan salah paham yang sangat sensitif kala kita ingin mencari jalan keluarnya.

Untuk memudahkan mari kita munculkan tiga pertanyaannya, kira-kira, begini :

Pertama, Siapa yang mampu menjamin bahwa keimanan seseorang lebih baik daripada orang lain? Jawabannya tidak ada, karena status semua manusia sama sebagai makhluk Tuhan.

Kedua, Siapa yang bisa mengukur bahwa komunikasi dengan Allah (ibadah) seseorang lebih baik daripada orang lainnya? Jawabannya juga tidak ada karena yang tahu hanya Allah dan manusia sebagai makhluk tidak tahu.

Ketiga, Warga masyarakat manakah di Indonesia yang anda minta pemikirannya dalam  penyelenggaraan "budaya Islam" dalam kehidupan bermasyarakat? Jawaban salah satu yang utama adalah warga Aceh.

Menurut saya kuncinya ada pada kemampuan pengelolaan pemerintahan di Aceh dan kemampuan pemerintah dalam mendinamisir ilmu pengetahuan pada masyarakat oleh pemimpinnya sendiri. Oleh karena itu mari kita lihat ketika Aceh dipimpin oleh Pejabat Gubernur yang berasal dari luar Aceh. Meski ada berbagai masalah yang terganggu tetapi masyarakat Aceh cenderung diam dan tidak memperkeruh suasana dalam hal substansi keagamaan. Tetapi bila dalam substansi budaya Islam sudah pasti bergemuruh meski di media sosial.

Dalam sistem kehidupan rakyat Aceh yang dasarnya paternalistik, kehadiran gubernur sebagai kepala pemerintah Aceh yang dimaknai dengan kepemimpinan rakyat atau ummat. Namun karena sistem kepemimpinan Indonesia yang multi agama namun bukan agama Islam secara tunggal maka menimbulkan masalah pada masyarakat menengah bawah di Aceh. Oleh karena itu meskipun gubernur orang yang santun berwibawa dan alim, pastilah menjadi masalah dalam kehidupan sosial di Aceh.

Bagaimana kalau gubernur Aceh ulama?

Pertama, Karena sistem negara yang multi agama tentu akan menambah masalah yang lebih parah karena pengharapan penegakan budaya Islam padanya,  sementara gubernur juga tidak total bisa melakukannya meski dia paham tujuan masyarakatnya. Lalu ulama yang gubernur akan menjadi sasaran dan sumber perpecahan ditengah pandangan masyarakat. Image dan kepercayaan terhadap ulama yang menjadi gubernur atau pejabat akan luntur dan rakyat Aceh semakin kehilangan penunjuk arahnya tentu saja akan semakin liar.

Kedua, Sesungguhnya pemeliharaan budaya dan peradaban adanya pada masyarakat yang sejahtera. Dengan kondisi ekonomi yang semakin terpuruk maka budaya juga ikut mengalami pelemahan dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam kebudayaan tunggal yang dianut oleh rakyat Aceh maka apapun yang dilakukan dalam budayanya akan menjadi ibadah atau sebahagian dari ibadah dalam agama.

Ketiga, Kecenderungan masyarakat Aceh memilih pemimpin daerah yang bukan dari kalangan ulama adalah bentuk kecerdasan dalam menjaga kesucian agamanya. Karena di provinsi manapun meski yang menjadi kepala daerah itu ulama namun kondisi kehidupan rakyatnya tidak menunjukkan adanya perbaikan, akhirnya pimpinan rakyat tersebut hanya menjadi bahan kemakluman yang menjadi alat ukur kredibilitas seseorang dangan profesinya sebatas citra baik dan buruk.

Keempat. Karena tidak akan sinkron sistem kepemimpinan dalam konstitusi negara Indonesia dengan sistem budaya Islam dan  sistem kepemimpinan rakyat Aceh ketika Aceh masih menjadi negara  kerajaan dimasa lalu, maka terjadi berbagai silang singkarut dalam masyarakat kemudian masyarakat Aceh terkesan sebagai masyarakat non paternalistik bahkan menjadi liar dalam konstitusi negara Indonesia.

Kelima, Dalam kepemimpinan tradisional dimasa lalu soliditas sosial sangat erat, sehingga dalam masyarakat dikenal dengan pepatah Aceh yang dikaitkan sebagai hadih maja yakni "udeep saree matee syahid". Karena itulah ketika masyarakat mengalami kemunduran dalam ekonominya, terjadi masalah sosial seperti menghadapi pandemi, terjadi ancaman gagal panen dan ancaman kemelaratan maka harta kerjaan dibagi secara merata kepada rakyat terlepas mereka miskin atau kaya, mereka yang kaya juga akan mengutamakan yang miskin karena semua budaya hidupnya adalah bahagian dari ibadah kepada Allah SWT.

Keenam, Apabila terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh ulama yang menjadi gubernur maka dapat dipastikan kepercayaan terhadap ulama akan hancur total dan sulit memulihkan kepercayaan itu membutuhkan waktu yang lama. Bahkan agama Islam ikut terdiskreditkan apabila benar-benar terjadi terhadap ulama yang sebenarnya dalam status sosialnya lebih setingkat derajatnya dalam kehidupan sosial di Aceh, karena agama dan budaya dalam masyarakat Aceh hanya satu yakni Islam.

Sejarah kehidupan masyarakat Aceh dalam berbagai perspektif terminology kekompakan dan pembangunannya menuntut adanya kesamaan dalam rasa sosial. Oleh karena itulah yang disebut adil dalam kehidupan rakyat Aceh adalah kehidupan bersama yang juga diartikan sejahtera dalam bahasa Aceh "Udeep Saree" jika miskinpun mereka menerimanya asalkan semua miskin.

Kondisi hari ini yang kita lihat sesungguhnya kehidupan rakyat Aceh sangat jauh berbeda dari budayanya. Karena Aceh dalam statistik masuk sebagai daerah miskin sementara para pimpinannya justru orang kaya. Kesenjangan sosial yang parah  inilah yang berbenturan dengan adat dan budaya masyarakat Aceh dimasa lalu ketika mereka berada dalam suatu bangsa dan negara Aceh.

Kondisi ini memang terlanjur menjerumuskan masyarakat yang tidak percaya terhadap pimpinannya sendiri dan pemerintah pusat. Hanya saja rakyat Aceh tidak mampu melihat secara transparant, apakah yang salah dan melakukan pembodohannya itu adalah pemerintah pusat atau para pumpinannya yang dipilih pada saat pemilu dan pilkada. Ketika kejelasan itu terlihat secara nyata dan pemahaman normal maka rakyat sudah pasti memiliki sikap dan kesimpulan masing-masing terhadap siapa yang sesungguhnya menjadi lawannya.

Karena itulah maka sudah seharusnyalah gubernur (eksekutif), DPRA (legislatif) dan Yudikatif membuat kesepakatan agar "Dana Otsus Aceh dibagi secara merata kepada rakyat" sehingga sikap partisipasi mereka dalam bernegara dapat ditumbuhkan secara normal. Apalagi keberadaan masyarakat  di daerah bekas konflik yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah induknya.

Padahal jika para pemimpin negara dan bangsa ini melihat warga negaranya dalam perspektif  pembangunan manusianya, bukan kekuasaan atas luasan tanahnya. Jika pandangan para pimpinan negara normal maka seharusnya jika terjadi stagnasi pembangunannya yang rutin bahkan menjadi tradisi dan budaya baru dalam negara tentu pilihan terbaik justru melepaskan mereka kepada negara lain atau merdeka secara total (freedom).

Sistem kepemimpinan dalam budaya rakyat Aceh dimasa lalu memang tidak memprioritaskan pembangunan infrastruktur sebagaimana sekarang, untuk kemudahan kekuasaan sistem kapitalis dalam mengeruk hasil bumi supaya mudah dalam transportasinya, tetapi kehidupan rakyat Aceh dimasa lalu dan peradabannya lebih mengutamakan kemanusiaan atau jiwa manusianya.

Karena itu sistem budaya Islam pada masyarakat Aceh terpelihara secara sempurna. Masyarakat Aceh tidak hidup nafsi-nafsi sebagaimana kehidupan manusia jaman ini yang di kembangkan dengan ajaran individualisme. Padahal jika kita belajar pada bangsa Cina mereka hidup bertalian lintas keluarganya tidak ada yang liar meskipun mereka berdomisili di negara lain.

Hal ini menjadi salah satu alat pelemahan dan penghancuran sistem budaya hidup rakyat Aceh yang sebelumnya dikenal budaya hidup bersama (Udeep Saree). Semangat inilah yang seharusnya bisa dimiliki pemimpin di Aceh sebagaimana di Papua, sebagai dasar kebijakan Dana Otsus yang dibagi ketika rakyat menghadapi krisis ekonominya. Apakah ini kebijakan bodoh? Tergantung darikacamana anda melihatnya, dalam kacamata soliditas pemimpin dan rakyat yang terbuka bagi uang itu sesuatu yang smart dan luar biasa. Bahkan kebijakan tersebut adalah kebutuhan rakyat yang terkenal dalam pemberontakannya.

Kenapa? Tentu saja karena Dana Otsus diperoleh atas tahapan pencapaian yang diperoleh atas partisispasi perjuangan rakyat Aceh secara keseluruhan secara bersama sehingga semua warganya berhak mendapatkannya sebagai wujud keadilan dalam budaya kepemimpinan masyarakat Aceh masa lalu, dimana pemimpinnya hanya berfungsi kordinatif dalam mengawal kehidupan warganya.

Dengan opini Aceh yang Otsus Aceh yang termiskin maka jika dana otsus ini tidak dibagi maka tidak berbeda dengan mempertontonkan sikap arogansi pemimpin dalam sistem keIndonesiaan yang berlebihan. Tontonan ini menjadi tidak berguna bagi rakyat Aceh tetapi hanya berguna bagi kepentingan individualisme, menunjukkan kemampuan merancang bangunan  dan memperoleh fee proyek gedung yang sama sekali tidak bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat. Apalagi pembangunan tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat sama sekali namun pemerintah hanya sebatas membuat program menghabiskan dana itu tanpa feedback kepada masyarakat.

Untuk itu melalui artikel ini penulis menyampaikan pesan rakyat.kepada para eksekutif, lagislatif Aceh untuk membagi Dana Otsus untuk membangun soliditas rakyat yang telah lama terbiarkan dalam kehidupan yang tidak sesuai dengan budayanya "Udeep Saree Matee Syahid"

Jika tidak dilakukan maka sungguh terkutuk para pemimpin Aceh yang mengutamakan hidup pribadi dan keluarganya dengan Dana perjuangan mempertaruhkan nyawa rakyat Aceh kemudian dibangun ini dan itu untuk tujuan bisa memperoleh fee dari pembangunan tersebut. Bahkan ada yang fee tersebut telah duluan diterima di depan atau sebelum pekerjaan tersebut dilaksanakan.

Perlu diketahui mereka inilah Eksekutif dan Legislatif yang murni dapat dikatagorikan sebagai pengkhianat rakyat Aceh dan merekalah yang memakan uang perjuangan rakyat untuk menjadi kapitalis yang mengutamakan kehidupan pribadi dan keluarganya serta menyengsarakan rakyat Aceh dalam sistem kepemimpinan negara Republik Indonesia.

Salam

Penulis adalah pemerhati politik dan sosial berdomisili di Aceh


Dok. Pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun