Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Amien Rais Vs Jokowi, yang Jadi Presiden Tetap Saja Bunglon

23 Maret 2021   21:09 Diperbarui: 24 Maret 2021   03:01 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Bagaimana sesungguhnya politik Indonesia?
Bagaimana sesungguhnya partai politik dalam menentukan calon pemimpin bangsa?
Bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat Indonesia memilih?
Bagaimana sebenarnya pimpinan partai politik di Indonesia memahami demokrasi?
Bagaimana sebenarnya rakyat Indonesia memahami demokrasi?
Kenapa pemimpin dalam sistem politik selalu muncul alternatif?
Kenapa orang yang mampu dan punya kapasitas tidak dipilih rakyat?

Segudang pertanyaan akan muncul ketika kita mendalami politik di Indonesia.

Tetapi saya tidak perlu membedah habis karena kuatir dijadikan tersangka dengan delik aduan masyarakat banyak tahu. He he he....

Jadi, begini perkaranya tuan-tuan yang saya hormati diseluruh tanah air baik dalam negeri, luar negeri, yang taat dan patuh dan setia kepada negara, yang berontak kepada negara baik di luar maupun di dalam negeri. Karena keberadaan rakyat Indonesia sama pentingnya dalam membangun bangsa. Bahkan mereka yang memberontak jauh lebih utama dibandingkan yang menjilat. Karena pemberontak itu adalah warga negara yang paling mencintai tanah airnya.

Lalu siapa yang mereka berontak? Jelas bukan negara tetapi pemimpin negara. Titik.

Warga masyarakat Aceh dan Papua banyak yang memberontak. Tapi mereka memerontak kepada pemerintah supaya negara dikelola secara benar dan jujur. Jika tidak kami akan keluar dari NKRI. Begitu substansi gugatan pemberontak.

Kalau demikian substansi gugatannya maka bila mereka dihukum tergolong pemimpin buta dalam membangun bangsanya. Kalau mereka di tembak mati maka pemimpin negara ini jelas tidak waras.

Karena apa? Karena tugas presiden dalam negara demokrasi adalah membangun kesadaran berbangsa dan bernegara. Pemberontak adalah para pecinta negara bukan para pengikut atau pendukung presiden. Tetapi mereka melihat negara dan pengelolaannya tidak benar oleh pemerintah.

Kalau pemberontak sudah mendukung presiden maknanya dia telah menganggap presiden itu memenuhi syarat sebagai presiden maka mereka ikut mendukung calon presiden.

Misalnya, GAM di Aceh yang mendukung calon presiden kemudian calonnya kalah maka mareka sudah mengakui bahwa negara ini baik hanya saja presiden yang dipilih rakyat yang salah kaprah dalam membangun bangsa.

Jika mereka memberontak tentu mereka pasti anti dengan pemerintah yang diberontak sebelum gugatan mereka dipenuhi atau penataan negara sebagaimana harapan mereka.

Lalu, kembali pada substansi prof. Amien Rais yang dianggap oleh sebahagian petinggi negara sebsgai pengkritik bahkan pemberontak, meski tidak intensif kita mendengar isunya. Tetapi lebih banyak yang mengiyakan ketika diyakini oleh lawan politiknya. Maka perlu segera kita memahami dalam semangat hidup berbangsa agar posisi Prof. Amien Rais dalam bernegara nomal dan tidak ada persepsi yang tidak seharusnya, misalnya memandangnya sebagai pengganggu negara. Hal ini adalah salah kaprah dalam nilai-nilai kebangsaan yang fluralis.

Lalu, apa yang aneh lainnya dalam politik Indonesia ketika melihat fenomena politik seperti ini antara pelaksana dan pengkritik dan pemegang oposisi murni sebagaimana Prof. Amien Rais saat ini.

Pertama, Jarang sekali rakyat Indonesia melihat pengkritik secara positif, persepsi terhadap pengkritik selalu negatif. Padahal pengkritik menanggung beban yang luar biasa terhadap berbagai resiko yang timbul atas dirinya dalam membela hak-hak rakyat dan menyelamatkan negara minimal membawanya ke jalan tengah.

Kedua, Sikap rakyat terhadap pengkritik lebih kepada semangat memanasi, sehingga terjadi pertempuran politik yang dasyat. Misalnya kondisi politik saat ini yang hanya tersisa antara pemerintah atau sering di identikkan antara Jokowi dan Amien Rais. Tetapi manfaat politik rakyat tidak sebagaimana kita pikirkan bahwa Prof. Amien Rais akan mendapatkan peluang dan berpotensi mendapatkan dukungan rakyat untuk menduduki presiden Indonesia. Tetapi partai politik dan masyarakat akan mengambil jalan tengah mencari calon pemimpin alternatif.

Hal inilah yang menyebabkan politik Indonesia selalu mengambang dan pemimpin yang dipilih tidak terbebani dengan beban dan sikap untuk tidak melakukan hal yang sama oleh presiden sebelumnya yang pernah dikritik atau dilawan oleh rakyat. Presiden yang dipilih akan kembali pada prilaku yang sama karena dia tidak pernah menentang kesalahan penguasa sebelumnya. Akhirnya yang terjadi adalah rakyat kembali menghadapi permasahan yang sama sepanjang umurnya dan yang melakukan kritik tetap saja Prof. Amien Rais bahkan kala ia tinggal sendiri. Jadi sesungguhnya sikap negarawan hanya pada seorang Prof. Amien Rais dan rakyat menerima manfaat dan pekerjaan-pekerjaan politiknya. Sedangkan manfaat yang diperoleh tidak sebanding dengan sikap dan resiko dalam politik.

Ketiga, pihak ketiga yang tidak menjadi penerima resiko secara mutlak selalu menang tanpa berjuang. Sehingga posisi politik mencari aman (safety player) selalu diuntungkan, padahal merekalah yang akan menjadi calon penguasa yang berpotensi membohongi rakyat kembali. Hal ini berbeda dengan demokrasi di negeri sebagaimana di negeri yang  demokrasinya lebih maju. Misalnya di Amerika yang hanya terdiri dari dua partai politik, dimana partai pemenang yang memerintah dan partai yang kalah  yang mengkritik dan membuka kelemahan-kelemahan kebijakan publik yang dibuat oleh kontestan pemenang dengan keilmuan kontestan oposisi.

Tetapi ketika mereka sanggup membuktikannya mereka akan mendapat manfaat dukungan rakyat yang dominan. Tentu saja apa yang mereka kritik terdapat sebuah komitmen politik bahwa ketika mereka berkuasa tidak akan melakukannya atau mengulang kesalahan yang dilakukan penguasa atau pemenang pemilu sebelumnya. Hal inilah yang menguntungkan dalam perbaikan kualitas pemerintah dan bangsanya.

Keempat, memposisikan politik oposisi hanya sebatas pendobrak dan untuk bahan hiburan sebagaimana sabung ayam karena mereka menganggap pendobrak bukan pekerjaan politik, apalagi masyarakat yang memahami pekerjaan politik sebatas membagi uang dan fasilitas bantuan negara, maka para oposisi tidak memiliki fasilitas politik tersebut. Sehingga dianggap tidak sebanding dengan pemerintah karena mereka tidak mempersiapkan kekuatan politik dalam hal dimaksud.

Masyarakat sebahagian besar kurang paham dengan pekerjaan politik yang sesungguhnya karena mereka yang kuat dalam politik diyakini yang memiliki akses dalam menggunakan fasilitas negara dan menyediakan uang kepada rakyat. Percaya atau tidak realita ini masih menjadi fenomena politik di negeri ini karena masyarakat akar rumput sesungguhnya belum melek politik bahkan mereka lebih memilih orang yang tenang dan banyak diam dan tak paham politik daripada mereka yang melakukan aktivitas politik yang sebenar-benarnya.

Jadi, karena para politisi atau pemimpin masih besar ruang berkelit dan melepaskan diri dari komitmen politik maka politik Indonesia berpotensi melahirkan pecundang daripada pahlawan dalam politiknya.

Pahlawan politik hanya bisa menjadi pendukung karena lemah dukungan rakyat kepada partainya, sementara pemerintah berpotensi jatuh. Sementara yang beruntung dalam politik Indonesia adalah mereka yang memposisikan diri sebagai bunglon politik karena dianggap orang baik oleh rakyat. Semantara para penjajah dan kapitalis mendukung calon pemimpin yang bisa dikendalikannya dan bisa mengobok-ngobok konstitusi pemimpin tersebut. Golongan ini termasuk juga sikap tokoh politik dan pemimpin partai politik.

Karena itulah pemimpin di Indonesia tidak pernah memuaskan rakyat sebagaimana kepemimpinan yang berhasil sesungguhnya. Sementara Prof. Amien Rais justru tidak ingin Jokowi berhenti ditengah jalan sementara posisi politiknya justru versus Jokowi. Itulah sikap dalam berdemokrasi dan sikap kenegarwanannya untuk pertimbangan kepentingan bangsa yang lebih besar meski sebahagian politisi dan masyarakat menganggap ini sandiwara. Padahal itulah sikap yang sesungguhnya seorang Profesor politik M. Amien Rais sebagai negarawan.

Semoga dimasa yang akan datang hal ini akan berubah dan mereka yang sungguh-sungguh bersikap membela rakyat dan kebenaran merekalah yang mendapat manfaat dukungan politik rakyat sehingga yang menjadi pemimpin di negeri ini adalah mereka yang bersikap anti terhadap apa yang dilawan dan dikritiknya.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun