Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, suku bangsa dan bahkan masih ada daerah-daerah yang berasal dari bangsa. Bhineka Tunggal Ika adalah semboyan negara yang harus dipahami secara mendalam oleh pengelola negara ini disamping konstitusinya.
Demikian pula anggota parlemen sebagai wakil-wakil masyarakat Indonesia (DPR), apalagi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI (Regional Representative Council) sebagai lembaga yang dilahirkan dimasa reformasi dalam rangka penguatan aspirasi politik lokal atau daerah.
Jika daerah hari ini mengalami degradasi atau pelemahan fungsi politiknya maka yang pertama harus disalahkan adalah mereka anggota DPD RI.
Anggota DPD RI yang seharusnya berfungsi meningkatkan aspirasi politik daerah semestinya menjadi bamper untuk kordinasi masyarakat daerah dalam upaya membebankan pemerintah pusat dalam membangun kebangsaan melalui daerah-daerah, baik dari fungsi dan keberadaan daerah maupun nilai dari suara masyarakat daerah.
Bukan soal sebatas pembangunan infrastruktur, sebagaimana pembangunan jalan tol dan perkantoran di daerah-daerah. Karena membangun bangsa dan negara adalah soal bangunan mentalitas bangsa, kemandirian, produktifitas masyarakat, pembangunan keadilan, pemerataan dan bermuara pada sumber daya manusia yang sesuai dengan harapan bangsa yang unggul mampu hidup yang lebih baik dan memberi kontribusi karyanya kepada kehidupan sesama masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia sebagaimana bangsa yang maju.
Meski peran dan fungsinya ompong, secara kuantitas jumlah anggota DPD RI berjumlah empat orang disetiap provinsi. Jumlah ini sudah melebihi kapasitas anggota Perwakilan Daerah sebagaimana di negara lain. Bahkan di Amerika Serikat yang menganut sistem demokrasi yang telah melalui ratusan tahunpun jumlah anggota DPDnya hanya dua orang disetiap provinsi.
Pembentukan DPD RI ini awalnya adalah sebagai sistem yang mengacu pada perubahan bentuk negara yang lebih adil dan merata kepada masyarakat daerah. Sistem  perwakilan dua kamar ini (be kameral) biasanya kita temui di negara demokrasi dan bentuk negara federasi atau persemakmuran sebagaimana Amerika Serikat.
Namun yang perlu dipahami oleh anggota DPD itu sendiri dan masyarakat Indonesia, bahwa UU tentang lembaga tersebut dalam peran dan fungsinya masih sebatas partisipatif. Maka masyarakat menganggap "pekerjaan" senator atau anggota DPD sebagaimana dalam penciteraannya ketika menjelang kampanye misalnya giat mengunjungi, silaturrahmi, perhatian kepada orang sakit, orang gila, mengeksploitasi orang miskin, dan lain-lain. Itulah manifestasi sebagai peran, fungsi dan tugas anggota DPD RI saat ini. Padahal keberadaan mereka justru mutlak perpanjangan rakyat daerah di parlemen tanpa tunduk kepada partai politik, dan mereka bisa menekan gubernur dalam membangun daerah yang mengarah pada sentralisme. Tapi karena sama-sama paham dan tak paham maka lembaga ini melompong.
Padahal mereka bisa mempengaruhi hingga pemerintah stagnan bahkan terjadi shutdown sebagaimana terjadi dalam pemerintah AS masa pemerintah presiden Barack Obama, yang perlu menjadi catatan begitulah keutamaan pemikiran, ide, gagasan dan pendapat rakyat daerah yang diwakili senator. Aneh jika anda berjuang untuk daerah hingga menuntut kemerdekaan dengan berperang tapi senator anda hanya menggunakan jabatan itu untuk latihan akting drama sinetron di Jakarta sebagai pusat Ibukota negara.
Lalu, kenapa anggota DPD (senator) tidak meningkatkan peran lembaga ini untuk memperkuat peran, fungsi daerah dalam manajemen kepemimpinan nasional?
Penulis tidak akan memaparkan pada tulisan ini, karena sebenarnya keberadaan DPD RI ini kekuatan lembaganya super untuk penguatan daerah, sehingga Prof. Amien Rais, MA diawal reformasi dan ketika pertama kali mendirikan partai mewacanakan perubahan bentuk negara Federasi. Namun masyarakat daerah di negeri ini masih buta dalam memahaminya, sehingga wacana ini harus disimpan dalam peti. Namun penulis hanya bisa memberi analisa ringkas dalam tulisan ini sebagai gambaran selayang pandang, kenapa lembaga ini tidak berfungsi secara baik dan tugas mereka hanya dalam urusan kecil-kecil dalam memantau penyelenggaraan negara. Padahal lembaga ini jika sudah maksimal powernya melebihi DPR bahkan dapat membentuk pemerintah baru jika presiden membangun pemerintahan yang sentralistik, karena senator berperan sebagai pemegang mandataris daerahnya.
Jika kita memantau saat reformasi terjadi penguatan masyarakat daerah dalam politik yang dasyat, bahkan partaipun ada yang dinamakan partai daerah. Tetapi hal itu hanya berlangsung dalam dua periode pemilu setelah reformasi, setelah itu semua mati suri. Lantas kenapa demikian? Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi kaburnya peran dan fungsi lembaga tersebut disamping keterbatasan pemahaman para senator sendiri terhadap lembaga tempat mereka dipilih rakyat dan bertugas.
Pertama, bahwa anggota DPD yang sebelumnya tidak diizinkan dari anggota partai politik kemudian diberi hak yang sama atau diboleh anggota partai politik adalah bentuk pengkaburan awal dari kemurnian lembaga ini. Karena setelah diizinkan anggota partai politik maka senator tersebut lebih dominan dari partai politik dan dikendalikan oleh pimpinan partai politik secara mudah bukan lagi tunduk kepada masyarakat daerah yang memilihnya.
Kedua, ada sinyalemen pengendalian DPD RI oleh DPR sehingga gerakan senator tersebut dalam kendali pimpinan DPR yang  bermuara kepada presiden atau pimpinan partai politik yang pada akhirnya juga akan dikendalikan oleh presiden sebagaimana posisi tawar dan mentalitas pimpinan partai politik itu sendiri.
Kemudian yang paling penting adalah hubungan dan komunikasi politik Gubernur dan Presiden dengan lembaga ini dapat menentukan sistem kekuasaan dan kepemimpinan nasional yang demokratis terhadap rakyat daerah. Tergantung pemikiran dan mentalitas anggota DPD dimaksud. Jika anggota DPD dengan pemikiran sistem kepemimpinan otoriter maka fungsi DPD sama sekali nihil karena mereka hanya bekerja pada pemerintah sebagaimana pegawai negeri atau aparatur birokrasi.
Ketiga, kualitas sumber daya manusia sebagai anggota DPD yang dipilih oleh masyarakat daerah berbau materialistik atau sogokan sehingga anggota DPD yang terpilih bukan atas orientasi pada kapasitas seseorang yang memiliki ilmu penemgetahuan dan berwawasan kenegaraan. Bisa jadi mereka sebatas tengkulak atau kontraktor atau tokoh masyarakat populer dibidang yang lemah kaitannya dengan politik kenegaraan.
Keempat, karena kelemahan dalam "memahami" kepemimpinan politik negara yang demokratis, berikut sistem dan bentuk negara beserta perangkat yang menunjang untuk itu, maka DPD hanya menjadi lembaga yang dianggap lapisan kedua setelah DPR bahkan anggota DPD sendiri hanya berperan sebagaimana anggota DPR yang sebatas menjaga konstituennya. Padahal untuk memperkuat peran masyarakat daerah dan status serta fungsi daerah maka anggota DPD inilah yang harus bertanggung jawab secara total terhadapnya.
Karena itu kelemahan daerah mutlak menjadi tanggung jawab DPD, sebenarnya kewenangan mereka terhadap provinsi secara mutlak diparlemen maka mereka dipilih tanpa daerah pemilihan sebagaimana DPR tetapi oleh seluruh masyarakat dalam suatu provinsi.
Empat perkara ini menentukan keberadaan lembaga DPD sebagai lembaga yang berorientasi pada penguatan politik dan pembangunan rakyat daerah dan fungsi beserta implementasi status daerah dalam manajemen kepemimpinan negara.
Melihat keberadaan masyarakat daerah sekarang dengan sistem kepemimpinannya sama sekali tidak memiliki posisi tawar yang baik dimana mentalitas gubernur hanya sebagai anak buahnya presiden bahkan mereka tidak berfungsi sebagaimana kepala daerah di negara yang masyarakatnya sudah memperjuangkan dan menerapkan desentralisasi.
Tetapi mereka masih terposisikan sebagai kepala daerah dalam sistem kepemiminan negara yang sentralistik sebagaimana dimasa Orde Baru dan Orde Lama bahkan mereka lupa bahwa negeri ini sudah melalui reformasi pada tahun 1998.
Demikian juga halnya sistem politik lokal yang disfungsi politik, karena orientasi kekuasaan diatur melalui keputusan menteri dalam negeri dan akibat kelemahan sumber daya manusia anggota parlemen daerah sendiri sehingga peran dan fungsi politik masyarakat daerah dimasukkan ke dalam peti mati. Mereka selalu di kalahkan dalam diplomasi politik daerah dan pusat yang seharusnya sudah dalam sistem yang desentralistik tetapi sekarang justru sentralistik.
Peran dan fungsi politik masyarakat lokal begitu kaku dan lemah, bahkan mereka ibarat aparatur Pegawai Negeri Sipil Kontrakan lima tahunan untuk sekedar kelancaran sistem administrasi negara jauh dari nilai-nilai politik di negara yang sudah menganut sistem desentralisasi.
Semoga ada pemahaman yang lebih baik bagi angota DPD terhadap keberadaan politik masyarakat lokal dimasa yang akan datang. Namun jika kondisi sebagaimana sekarang tetap bertahan dan tanpa perubahan maka menurut analisa penulis tidak ada seorangpun anggota DPD yang layak dipertahankan pada pemilu tahun 2024 meskipun mereka membagi fasilitas dan uang kepada masyarakat pemilihnya diseluruh daerah.
Karena apa? Ya karena peran DPD justru telah melenyapkan desentralisasi politik. Mestinya mereka terbangun dari tidur panjangnya agar menyadari bahwa sentralisme kini telah menghantui sistem kepemimpinan Indonesia kembali sebagaimana masa lalu, bedanya hanya lembaganya saja yang demokratis atau bungkusannya tapi isinya otoritarian bahkan kekuasaan absolut pada pengelola pemerintah dipusat. Sementara anggota parlemen lain apalagi para senator atau DPD RI fungsinya bagaikan celebriti ompong kebanyakan alkohol dan shabu-shabu.
Salam
![gambar : reddit.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/03/22/screenshot-20210322-083412-2-6057f9b3d541df299a270a52.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI