Penulis tidak akan memaparkan pada tulisan ini, karena sebenarnya keberadaan DPD RI ini kekuatan lembaganya super untuk penguatan daerah, sehingga Prof. Amien Rais, MA diawal reformasi dan ketika pertama kali mendirikan partai mewacanakan perubahan bentuk negara Federasi. Namun masyarakat daerah di negeri ini masih buta dalam memahaminya, sehingga wacana ini harus disimpan dalam peti. Namun penulis hanya bisa memberi analisa ringkas dalam tulisan ini sebagai gambaran selayang pandang, kenapa lembaga ini tidak berfungsi secara baik dan tugas mereka hanya dalam urusan kecil-kecil dalam memantau penyelenggaraan negara. Padahal lembaga ini jika sudah maksimal powernya melebihi DPR bahkan dapat membentuk pemerintah baru jika presiden membangun pemerintahan yang sentralistik, karena senator berperan sebagai pemegang mandataris daerahnya.
Jika kita memantau saat reformasi terjadi penguatan masyarakat daerah dalam politik yang dasyat, bahkan partaipun ada yang dinamakan partai daerah. Tetapi hal itu hanya berlangsung dalam dua periode pemilu setelah reformasi, setelah itu semua mati suri. Lantas kenapa demikian? Berikut ini beberapa hal yang mempengaruhi kaburnya peran dan fungsi lembaga tersebut disamping keterbatasan pemahaman para senator sendiri terhadap lembaga tempat mereka dipilih rakyat dan bertugas.
Pertama, bahwa anggota DPD yang sebelumnya tidak diizinkan dari anggota partai politik kemudian diberi hak yang sama atau diboleh anggota partai politik adalah bentuk pengkaburan awal dari kemurnian lembaga ini. Karena setelah diizinkan anggota partai politik maka senator tersebut lebih dominan dari partai politik dan dikendalikan oleh pimpinan partai politik secara mudah bukan lagi tunduk kepada masyarakat daerah yang memilihnya.
Kedua, ada sinyalemen pengendalian DPD RI oleh DPR sehingga gerakan senator tersebut dalam kendali pimpinan DPR yang  bermuara kepada presiden atau pimpinan partai politik yang pada akhirnya juga akan dikendalikan oleh presiden sebagaimana posisi tawar dan mentalitas pimpinan partai politik itu sendiri.
Kemudian yang paling penting adalah hubungan dan komunikasi politik Gubernur dan Presiden dengan lembaga ini dapat menentukan sistem kekuasaan dan kepemimpinan nasional yang demokratis terhadap rakyat daerah. Tergantung pemikiran dan mentalitas anggota DPD dimaksud. Jika anggota DPD dengan pemikiran sistem kepemimpinan otoriter maka fungsi DPD sama sekali nihil karena mereka hanya bekerja pada pemerintah sebagaimana pegawai negeri atau aparatur birokrasi.
Ketiga, kualitas sumber daya manusia sebagai anggota DPD yang dipilih oleh masyarakat daerah berbau materialistik atau sogokan sehingga anggota DPD yang terpilih bukan atas orientasi pada kapasitas seseorang yang memiliki ilmu penemgetahuan dan berwawasan kenegaraan. Bisa jadi mereka sebatas tengkulak atau kontraktor atau tokoh masyarakat populer dibidang yang lemah kaitannya dengan politik kenegaraan.
Keempat, karena kelemahan dalam "memahami" kepemimpinan politik negara yang demokratis, berikut sistem dan bentuk negara beserta perangkat yang menunjang untuk itu, maka DPD hanya menjadi lembaga yang dianggap lapisan kedua setelah DPR bahkan anggota DPD sendiri hanya berperan sebagaimana anggota DPR yang sebatas menjaga konstituennya. Padahal untuk memperkuat peran masyarakat daerah dan status serta fungsi daerah maka anggota DPD inilah yang harus bertanggung jawab secara total terhadapnya.
Karena itu kelemahan daerah mutlak menjadi tanggung jawab DPD, sebenarnya kewenangan mereka terhadap provinsi secara mutlak diparlemen maka mereka dipilih tanpa daerah pemilihan sebagaimana DPR tetapi oleh seluruh masyarakat dalam suatu provinsi.
Empat perkara ini menentukan keberadaan lembaga DPD sebagai lembaga yang berorientasi pada penguatan politik dan pembangunan rakyat daerah dan fungsi beserta implementasi status daerah dalam manajemen kepemimpinan negara.
Melihat keberadaan masyarakat daerah sekarang dengan sistem kepemimpinannya sama sekali tidak memiliki posisi tawar yang baik dimana mentalitas gubernur hanya sebagai anak buahnya presiden bahkan mereka tidak berfungsi sebagaimana kepala daerah di negara yang masyarakatnya sudah memperjuangkan dan menerapkan desentralisasi.
Tetapi mereka masih terposisikan sebagai kepala daerah dalam sistem kepemiminan negara yang sentralistik sebagaimana dimasa Orde Baru dan Orde Lama bahkan mereka lupa bahwa negeri ini sudah melalui reformasi pada tahun 1998.