Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Aceh yang Otonomi Khusus, Aceh yang Miskin, Faktor Politik Berandil Besar Bukan karena Warga Merokok

2 Maret 2021   13:12 Diperbarui: 4 Maret 2021   15:56 1266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jokowi saat memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia | Sumber: Biro Kepresidenan

Aceh dikenal sebagai daerah modal bagi Republik Indonesia, maka provinsi ini sejak awal digelar dengan Daerah Istimewa sebagaimana Yogyakarta di Pulau Jawa.

Saat ini pun Aceh berstatus sebagai daerah khusus dengan penerapan kekuhususannya dalam berbagai bidang yang pada prinsipnya untuk melancarkan tahapan penerapan otonomi bahkan bermuara pada self goverment.

Namun harapan tersebut semakin hari semakin terasa tawar karena sistem kepemimpinan nasional yang otokrasi dan kemampuan sumber daya manusia lokal yang tidak memberi andil dalam tahapan pencapaian harapan daerah dimaksud.

Sistem otokrasi ini dengan sendirinya berdampak pada gangguan terhadap otonomi khusus terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan pusat yang sistemik terhadap wilayah hukum negara.

Misalnya dalam agenda pemilihan kepala daerah, dimana ketika agenda ini digeneralisasi maka Aceh yang jadwalnya berbeda menjadi suatu masalah yang menyebabkan aspirasi daerah harus mengikuti kebijakan nasional.

Pada prinsipnya memang yang terganggu adalah agenda-agenda politik daerah yang disamakan dengan agenda nasional. Sebenarnya mensiasati masalah ini tidak berat bila alternatif-alternatif itu disiapkan dan ditawarkan kepada pimpinan pemerintah pusat.

Pilkada yang sedianya diselenggarakan pada tahun 2022 di Aceh, kemudian karena agenda nasional menyebabkan debatable dan mengusik otonomi dan self goverment bagi Aceh. Pemerintah pusat sesungguhnya tidak perlu memaksakan kehendaknya bila tidak ada muatan politis dalam agenda politik tersebut.

Dua tahun masa domisioner pemerintah definitif dan diganti oleh pejabat sebagai masa yang tidak singkat. Berbagai hal kebijakan politik bisa dilakukan untuk merubah daerah dalam masa kepemimpinan pejabat yang ditunjuk bukan dipilih oleh rakyat daerah itu sendiri.

Jika perkara sistem pemilihan rakyat di Indonesia dan agenda pilkada yang ditunda selama dua tahun tidak memiliki muatan agenda politik yang vital, maka tidak mungkin dipaksakan oleh pemerintah pusat apalagi hal ini dapat mencoret keseriusan pemerintah pusat dalam mendukung otonomi khusus.

Maksudnya bagaimana?

Masa jabatan presiden berakhir pada tahun 2024, sementara kepala daerah banyak yang berakhir antara tahun 2022, 2023 dan 2024. Presiden dan partai pemenang atau penguasa sangat leluasa menguasai suara masyarakat dengan menempatkan pejabatnya sebagai kepala daerah di seluruh Indonesia.

Karena posisi jabatan kepala daerah mempengaruhi hidup rakyat secara signifikan, apalagi sistem pengelolaan negara yang otokrasi dan mengarah pada sentralistik.

Hal ini tentu adalah pekerjaan politik yang cukup terbuka dan partai politik lain akan tertipu dalam terang jika hal ini terbiarkan dan menganggap peristiwa ini sebagai agenda politik normatif.

Kecuali pemerintah dapat menjelaskan dalih-dalih logis terhadap penundaan. Misalnya merubah sistem pemilihan presiden, kepala daerah dalam satu paket pemilihan dengan anggota parlemen yang secara subtansi memberi manfaat yang besar untuk perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat.

Namun dalam hal ini Aceh sebagai daerah khusus masih bisa mendapat pembahasan, terhadap mengapa dan apakah terlalu penting terkait pemilihan serempak tersebut.

Jika tidak ada ruang untuk itu rakyat Aceh dapat saja menuntut keseriusan pemerintah pusat dalam penerapan otonomi khusus melalui DPRnya, jika mereka masih mewakili rakyatnya.

Sistem kepemimpinan dan agenda-agenda politik yang seharusnya secara prinsip sebagai milik daerah karena pintu untuk melahirkan pimpinan daerah oleh masyarakat daerah sendiri akhirnya menjadi kebijakan mutlak nasional dan diwarnai dinamika politik nasional.

Karena pola-pola politik inilah dinamika politik lokal menjadi lemah dan masyarakat beranggapan tidak terlalu penting pengaruh dan kuasa politik lokal. Secara psikologis, hegemony penguatan politik lokal menjadi lemah dengan sendirinya.

Tokoh-tokoh politik lokal dan tokoh-tokoh masyarakat, agama dan budaya akan bungkam karena kepentingan yang nasional yang lebih besar, apalagi keuangan daerah bergantung secara total pada alokasi keuangan negara.

Apalagi kepemimpinan lokal dalam masa kekuasaannya tidak mampu membangun ekonomi lokal yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Aceh, dan para pimpinannya hanya larut dalam hingar bingar politik kekuasaan kelompok yang tidak berorientasi pada konsolidasi sosial dan tahapan kesejahteraan rakyat Aceh yang terabaikan.

Sebenarnya faktor ini disebabkan oleh kebijakan politik nasional yang menyebabkan kelembagaan politik lokal lemah dan senantiasa harus saling berhadapan.

Sementara pimpinan lokal memiliki bapak angkat dalam politik nasional sehingga politik lokal menjadi tidak terarah untuk penguatan otonomi khusus apalagi terhadap self government.

Kebijakan-kebijakan politik yang tidak pernah menemukan titik temu ini berandil besar untuk pemborosan biaya politik, dan kompensasi politik ini yang harus dibayar mahal untuk mengalokasikan keuangan daerah untuk pengamanan kepentingan politik lokal. Pimpinan dan masyarakat pun tidak terorientasi pada pembangunan ekonomi yang menjadi daya dukung kenyamanan hidup warga masyarakat Aceh.

Kebijakan anggaran daerah yang boros dengan sistem pembangunan unit-unit usaha ekonomi rakyat yang dialokasikan sebagai usaha massa kala itu telah menyebabkan runtuhnya bangunan ekonomi rakyat Aceh.

Jikapun keihatannya banyak anggaran daerah yang terdistribusi kepada rakyat sama sekali tidak tepat untuk alat pembangunan ekonomi. Semua program yang bergulir lebih dapat digolongkan sebagai penanganan darurat dalam bentuk bantuan sporadis agar pimpinan daerah dapat mengamankan posisinya.

Berikutnya politik partai lokal, meski mendominasi parlemen di Aceh dalam proses dan tujuannya tidak mampu menjadi fondasi yang kuat sebagai dasar penguatan otonomi khusus apalagi dalam konteks kepercayaan rakyat dan nasional terhadap self government.

Meskipun yang terbaca adalah ketidakseriusan para pimpinan lokal, namun realitanya adalah kemampuan sumber daya manusianya yang lemah dan kebijakan politik nasional serta politik lokal itu sendiri.

Sehingga, menimbulkan keraguan semua pihak dan membuka celah politik yang lebar bagi kepentingan politik pihak lain untuk memanfaatkan politik lokal untuk kepentingan politik nasional.

Keraguan politik dalam otonomi dan self goverment ini kemudian berdampak pada disorientasi politik lokal dan membuat masyarakat lemah dalam pembangunan ekonomi masyarakat meskipun jumlah uang yang besar namun rakyat tidak berdaya.

Kemiskinan itu juga dipengaruhi secara signifikan oleh faktor politik konspiratif antara eksekutif dan legislatif sehingga rakyat menjadi pihak ketiga.

Politik anggaran daerah yang senantiasa sebagai bentuk equilibrium kekuasaan eksekutif dan legislatif dan terjadi saban tahun dalam masa status Aceh dalam otonomi khusus.

Apalagi saat ini hal ini masih berlaku efektif dan oknum pemain dilingkaran pemerintah pusat juga bisa memanfaatkan mentalitas pemimpin daerah yang sudah dapat dibaca secara sempurna.

Dengan ikustrasi kebijakan dan sistem politik yang belum lagi kita bahas proses tingginya biaya politik anggota parlemen sehingga menyebabkan anggota parlemen tersebut harus larut dalam perhitungan rugi laba dalam jabatan di parlemen dan juga jabatan kepala daerah karena politik daerah yang terdegradasi dalam ranah bisnis dan industri.

Pemborosan politik, kesenjangan hidup yang tidak berstandar dalam kepemimpinan daerah menjadi faktor yang menyebabkan rakyat jatuh dalam kemiskinan yang tidak seharusnya jika melihat dari status daerah dan alokasi keuangan negara.

Masih ada waktu untuk mengembalikan orientasi pembangunan daerah jika kepala daerah dan para tokoh lokal memiliki cita-cita yang benar, jadi masyarakat Aceh miskin bukan karena warganya merokok.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun