Karena posisi jabatan kepala daerah mempengaruhi hidup rakyat secara signifikan, apalagi sistem pengelolaan negara yang otokrasi dan mengarah pada sentralistik.
Hal ini tentu adalah pekerjaan politik yang cukup terbuka dan partai politik lain akan tertipu dalam terang jika hal ini terbiarkan dan menganggap peristiwa ini sebagai agenda politik normatif.
Kecuali pemerintah dapat menjelaskan dalih-dalih logis terhadap penundaan. Misalnya merubah sistem pemilihan presiden, kepala daerah dalam satu paket pemilihan dengan anggota parlemen yang secara subtansi memberi manfaat yang besar untuk perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat.
Namun dalam hal ini Aceh sebagai daerah khusus masih bisa mendapat pembahasan, terhadap mengapa dan apakah terlalu penting terkait pemilihan serempak tersebut.
Jika tidak ada ruang untuk itu rakyat Aceh dapat saja menuntut keseriusan pemerintah pusat dalam penerapan otonomi khusus melalui DPRnya, jika mereka masih mewakili rakyatnya.
Sistem kepemimpinan dan agenda-agenda politik yang seharusnya secara prinsip sebagai milik daerah karena pintu untuk melahirkan pimpinan daerah oleh masyarakat daerah sendiri akhirnya menjadi kebijakan mutlak nasional dan diwarnai dinamika politik nasional.
Karena pola-pola politik inilah dinamika politik lokal menjadi lemah dan masyarakat beranggapan tidak terlalu penting pengaruh dan kuasa politik lokal. Secara psikologis, hegemony penguatan politik lokal menjadi lemah dengan sendirinya.
Tokoh-tokoh politik lokal dan tokoh-tokoh masyarakat, agama dan budaya akan bungkam karena kepentingan yang nasional yang lebih besar, apalagi keuangan daerah bergantung secara total pada alokasi keuangan negara.
Apalagi kepemimpinan lokal dalam masa kekuasaannya tidak mampu membangun ekonomi lokal yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Aceh, dan para pimpinannya hanya larut dalam hingar bingar politik kekuasaan kelompok yang tidak berorientasi pada konsolidasi sosial dan tahapan kesejahteraan rakyat Aceh yang terabaikan.
Sebenarnya faktor ini disebabkan oleh kebijakan politik nasional yang menyebabkan kelembagaan politik lokal lemah dan senantiasa harus saling berhadapan.
Sementara pimpinan lokal memiliki bapak angkat dalam politik nasional sehingga politik lokal menjadi tidak terarah untuk penguatan otonomi khusus apalagi terhadap self government.