Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Berbicara tentang calon presiden Indonesia dimasa yang akan datang maka kita sebagai warga bisa memberi ide dan gagasan baik melalui media maupun menyampaikan kepada pemilih dengan berbagai cara, atau mencuci otak pemilih untuk lahir pemimpin sebagaimana formasi yang memberi harapan baru bagi bangsa dan negara.
Melihat perkembangan calon presiden Indonesia sejak masa reformasi yang dimulai dengan pilpres pada tahun 1999. Sejak itu telah membuka jalan bagi warga Indonesia untuk menuju sebagai bakal calon presiden.
Kenapa kita sebut jalan warga? Karena sebelumnya memang tidak ada jalan menuju kesana, kursi presiden milik diktator-diktator dunia.
Indonesia dengan sejumlah partai politiknya yang dikelola secara instan,.maksudnya tanpa belajar tentang ilmu mamajemen partai politik, tentu saja sebagaimana pengelolaan pabrik kelapa sawit, sebatas operator.
Kenapa penulis menyebut sebagaimana pengelolaan pabrik? Karena yang dipikir oleh pengelola  berapa besaran produksi, berapa besar jumlah omset dan berapa besar uang yang dihasilkan dari partai itu sebagai alat produksinya.
Apakah sebutan pabrik itu terlalu berlebihan kritis dan nyinyir?
Sekarang mari kita memberi penilaian obyektif kepada semua partai politik yang ada, apakah partai-partai tersebut assetnya rakyat Indonesia?
Kita ingin tau yang mana partainya rakyat, yang mana assetnya rakyat, yang mana partai yang dikelola secara demokratis, partai mana yang tidak dikuasai dengan sistem kapitalis, partai mana yang tidak diwariskan, dan segudang pertanyaan lain.
Namun apapun buruknya sistem pengelolaan partai politik yang kita bicarakan, tetapi kita calon presiden dan wakil presiden tetap saja mereka yang menentukannya.
Indonesia ini memang aneh, rakyat sebenarnya sebahagian besar tidak berpolitik tetapi hanya saja larut dalam sentimen politik, tetapi militansi dengan tuannya luar biasa, bahkan mereka rela mati dan berkorban untuk itu. Hingga sekarang saya cari tahu dengan akal sehat belum juga ketemu. Tapi justru saya mendapatkan jawaban bahwa kebuntuan dalam berpikir dalam politik.
Saya memakluminya, karena saya beberapa kali mencoba berbeda cara bermain dalam pemilu, tapi hasilnya nihil, barangkali jika mengikuti cara-cara yang biasa berlaku dalam pemilu kita bisa jadi kita terpilih, meski konsekuensinya kita tidak bisa melakukan perubahan karena kebanyakan hutang dan janji, jadi sudah pasti fokus pada curi uang negara daripada berjuang untuk rakyat.
Lalu bagaimana pula, kita memilih  pasangan presiden? Cari yang tegas dong? Tegas gimana sih? Gak jelas juga pada masyarakat umum. Sesuatu yang salah, asalkan orangnya strong, perintah itu konsisten dianggap tegas, pakai kata siap, siap, rada begitu kelihatannya, he he he...
Bayangkan kalau presiden dan wakil keduanya demikian, bakal berapi istana, belum lagi timsesnya, jadi nerakalah,,,ha ha ha...
Apalagi kalangan orang muda jadi presiden dan wapres, peluang itu sangat terbuka, hancuuur....
Nah,,,,bagaimana formulasi capres dan pasangan dimasa depan? Mending cari aja yang tua-tua agar semangat pamer dan ego kekuasaan lebih terminimalisir, kalau mereka yang sudah tua masih juga sama, artinya bangsa ini tak akan berubah lagi selamanya. Kalau rakyatnya mau maju bubarkan aja negara dan dibuat organisasi negara online dengan rakyatnya. He he he....
Menterinya, pake fit and propertes secara tertulis dan harus menjawab seribu pertanyaan tentang memimpin dalam berbagai perspektif, sehingga wawasan kebangsaannya teruji, jawabannya menjadi komitmen dan sikapnya sebagai janji kepada rakyat dan negara. Daripada masih ada menteri dan p7ejabat tinggi yang mentalitasnya maling, he he he....
Lalu kenapa kalangan tua? Mari kita kaji keuntungan bagi rakyat Indonesia.
Pertama, Tokoh tua itu sudah pasti mampu menekan emosional dan egoismenya. Secara psikologis prilaku mereka lebih lebih terjamin karena mereka hidupnya di dunia merasa sudah singkat. Tentu mereka ingin berbuat baik, mempersiapkan bekal hidup di alam berikutnya.
Kedua, Kalangan tua sudah pasti menghindari penyalahgunaan kewenangan (abuse power) karena mereka kuatir namanya rusak dapat berdampak buruk bagi anak cucunya, sudah pasti mereka lebih matang secara alamiah daripada kalangan muda dalam pertimbangan kehidupan generasinya.
Ketiga, Kalangan tua juga kecil peluang menambah istri simpanan daripada kalangan muda baik di dalam negeri maupun di negara lain. Apalagi akan menambah beban negara. Beban negara bagi seorang istri pejabat tinggi lebih kurang seratus orang teman atau family lain. Jadi kalau pejabat itu punya dua simpanan saja maka sama dengan membantu dua ratus orang teman dan family secara rutin setiap bulannya, ingat ya simpanan, belum lagi mertua, he he he...
Keempat, Dari perspektif kemampuan tentu tidak berbeda tua dan muda, karena memimpin itu tetap saja bakat dan tuntutan dalam ilmu pengetahuan sekaligus wawasan di berbagai bidang terutama politik, negara dan pemerintahan serta demokrasi, karena negara ini saat ini sebagai negara dengan kepemimpinan yang demokratis.
Kelima, Nah, ini jauh lebih penting, kenapa kalangan tua, mereka setidaknya tidak tergiur lagi dengan pilihan sistem yang sangat politis, apakah liberalis, komunis, sosialis dan lain-lain yang menyebabkan tambah runyam yang mempertaruhkan kemandirian bangsa. Mereka pasti lebih waspada dalam intervensi investasi dan kolonialis modern, karena kematangan usianya.
Keenam, Kalangan tua ini akan lebih dihormati oleh pemimpin negara lain, meski lebih bodoh dan kekurangan lain. Dengan kelebihan itu juga bisa dimanfaatkan oleh anak bangsa untuk kredibelitas pemimpinnya.
Ketujuh, Kalangan tua dalam menggunakan fasilitas negara sudah pasti lebih irit, mereka tidak perlu terlalu bermewah-mewah, cukup sederhana saja dan ini dapat mengilustrasikan kehidupan bangsa Indonesia secara baik serta akan menjadi kebijakan publik yang cenderung diikuti oleh rakyat.
Berikutnya, hal yang tidak kalah pentingnya adalah mengurangi masa jabatan presiden dan wakil dari lima tahun menjadi empat tahun. Karena lima tahun itu lama untuk periode kepemimpinan, sehingga dapat memicu timbulnya kekuasaan absolut.
Empat tahun, dapat menjadi daya ungkit produktiftas pemimpin karena mereka perlu menunjukkan prestasi dan kerjanya untuk dipilih kembali. Soal pekerjaan pasangan presiden sangat bergantung pada pemahaman rakyat dan kemampuan pemerintah itu sendiri dalam mendidik rakyatnya.
Karena keberhasilan memimpin negara dan daerah, bukan dengan menunjukkan jalan, jembatan, gedung dan kantor sebagai output pembangunan. Tetapi warga rakyatnya ditengah jalan tersebut ingin di bawa kemana.
Itulah kira-kira, kenapa kita seharus mengurangi masa jabatan presiden dan memilih kalangan tua bukan kalangan muda ke depan. Hal ini juga untuk mengatasi lahirnya diktator-diktator baru, atau Firaun, Namrud, Stalin, Mussolini model baru dijaman ini. Semoga yang muda terus belajar dan meningkatkan kesabarannya dalam memimpin rakyat. Jika kalangan muda marah dengan pendapat saya, artinya mentalitas dan emosionalnya tidak layak menjadi calon prsiden dan wapres masa depan.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H