Keenam, Dipihak penguasa negara bersikap hanya sebatas mengabaikannnya, menyepelekannya, merasionalkannya, menyederhanakannya, itupun bila dipihak lain tidak cerdas mengawal dan membiarkannya karena kealpaannya atau ketidaksanggupannya.
Ketujuh, Dipihak masyarakat Aceh, yang terjadi secara politik adalah gagal membuat alat politik (UUPA) menjadi penting, terutama sikap masyarakat, tokoh dan pejabatnya yang tidak mengedepankannya dalam penyelenggaraan konstitusi daerahnya. Penguatan konstitusi daerah tersebut tidak menjadi bahagian dari perencanaan pembangunan masyarakat, karena mungkin saja kurang jeli dalam melihat pembangunan. Bisa saja tokoh dan pejabatnya hanya terilustrasikan pembangunan dengan sebatas jalan, jembatan, bangunan kantor dan lain-lain yang sejenisnya. Karena itulah mungkin saja UUPA tidak menjadi penting sebagai alat membangun masyarakat Aceh untuk kehidupannya yang lebih baik.
Kedelapan, Secara politik tidak ada  yang bisa dipersalahkan, tetapi dalam sentimen politik dan pandangan sosial secara awam tentu pihak yang lebih jauh apalagi pernah menjadi lawan politiknya adalah pihak yang salah dan curang. Tanpa berpikir, mengevaluasi serta menyadari kelemahan diri kita sendiri apalagi secara sadar mengakui kealpaan kita sebagaimana mentalitas warga jepang. Berbeda tipikal pemimpin, pemimpin mereka ketika menghadapi masalah dan tidak mampu dihadapinya mereka justru mundur bahkan bunuh diri karena budaya malu meski jabatannya perdana menteri sekalipun. Yang jabatan tersebut menggiurkan bagi warga negara kita dan menjadi beban bagi warga negara yang mumpuni dinegara lain. Tapi menunggu Gubernur Aceh mundur atas kegagalannya, perlu kiranya rakyat bernazar 1.000 ekor sapi untuk mensyukurinya tetapi hal itu adalah mustahil.
Sekian
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H