Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masyarakat Aceh dan Pemerintah Indonesia dalam Politik, Konstitusi dan Sentimen Politik

23 Januari 2021   13:56 Diperbarui: 24 Januari 2021   09:03 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : freepik.com

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Mendengar nama Aceh dalam kata ejaan lama ditulis Atjeh maka yang terilustrasi adalah kesengsaraan dan penderitaan rakyat dari masa ke masa, konflik, perang, peristiwa, perampasan hak, pengorbanan dan sedikit saja kesenangan sosial, bahkan disaat beberapa perusahaan raksasa minyak dan gas ada disana tetap saja rakyat Aceh tidak memperoleh manfaat yang maksimal untuk meningkatkan taraf hidup dengan baik.

Kebanggaan masyarakat Aceh lebih banyak yang kamuplase dengan penamaan simbolik, nama provinsinya dengan berbagai gelar yang menegaskan lebih dibanding provinsi lain, nama penghasil minyak gas dan minyak disebut petro Dollar, padahal kampung dilingkungan pinggiran perusahaan tetap saja sebagaimana kehidupan biasa yang susah, rumah reot, gubuk derita adalah gambaran nyata diluar berbagai gelar bagi masyarakat Aceh.

Sesungguhnya kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa pihak lain terlalu berani melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kesepakatannya dan menganggap remeh Aceh? Kalau disebut remeh terhadap Aceh terutama pemimpinnya yang dalam hal ini gubernur Aceh dan Wakil Rakyat Aceh di senayan dan DPR provinsi serta DPRK sejak Aceh dalam Republik Indonesia.

Elemen utama lain yang paling utama adalah tokoh-tokoh masyarakat Aceh, yang berani bersikap dengan berbagai caranya, termasuk ulama yang memahami politik dan bernegara.

Dalam pandangan sosial yang kita temui secara nyata dan vulgar, bahwa masyarakat Aceh dikhianati oleh pusat, masyarakat Aceh dipolitisasi oleh pusat, masyarakat Aceh dimarginalkan oleh kebijakan pusat, masyarakat Aceh dianggap sebagai pemberontak negara oleh pusat meski hal itu saat damai terbatas dalam agitasi politik dan sentimen politik untuk menanam kebencian abadi antara rakyat dan pemerintah pusat.

Lalu, dalam posisi yang tersudut dalam pandangan sosial, apakah secara politik sepenuhnya benar bahwa skenario pemerintah pusat terhadap Aceh beraroma negatif?

Apakah pandangan sosial ini sama dengan pandangan dari perspektif politik?

Kita akan membahasnya dalam tulisan ini secara ringkas yang nantinya masyarakat dapat berpikir, apakah rasional atau tidak rasional cara berpikir rata-rata akibat informasi dan wawasan tentang kondisi sosial yang obyektif.

Hipotesa Politik Rakyat

Kita akan buat Hipotesa politik,  plus dan minus sesuai dengan realita yang berkembang ditengah rakyat sebagai berikut :

Pertama, Pejabat pusat mengkhianati Aceh dalam  perjanjian pola hubungan Aceh dan Jakarta, terutama UUPA yang terakhir dan mudah kita updates.

Kedua, Pihak lain sudah pasti ditempatkan sebagai jahat atau berlaku buruk oleh masyarakat Aceh dan lawan politik dalam hati kecilnya, (meunyo kon ie leuhop, meunyo kon droe pasti gob).

Ketiga, Banyak tokoh Aceh yang berkhianat kepada Aceh untuk membangun kehidupan pribadi dan keluarganya dalam kemapanan dan meningkatkan derajat sosial dalam sistem kehidupan rakyat Indonesia.

Keempat, Masyarakat Aceh sebahagiaan besar merasa lebih taat dalam agama dan berkeyakinan hal itu sebagai kelebihan yang harus dihormati oleh siapapun bangsa lain.

Kelima, Masyarakat Aceh lebih pintar daripada masyarakat Indonesia lainnya dalam politik dan bernegara, rakyat miskin karena kebijakan Republik Indonesia yang salah kaprah dan korup.

Keenam, Masyarakat Aceh cukup tertinggal cara pikirnya dalam politik dan bernegara, maka rakyatnya juga miskin dan tertinggal.

Ketujuh, Para pemimpin Aceh yang dipilih oleh rakyat tidak paham membangun rakyat, bangsa dan negara. Mereka terjebak dalam membangun kekuasaan kelompok kekuasaan ditengah kehidupan rakyat.

Kedelapan, Para pimpinan Aceh baik dan normatif tapi pimpinan pusat yang tidak mampu dan tidak adil dalam memimpin rakyat.

Kesembilan, Rakyat Indonesia lain sejahtera, masyarakat Aceh dibodohkan dan dimiskinkan karena pemberontak.

Kesepuluh, Rakyat Indonesia secara keseluruhan memang non sejahtera, pemerintah belum mampu mewujudkannya.

Sepuluh hipotesa ini, tentunya tidak akan menjawab semua hipotesa pilitik tersebut, tetapi minimal dapat memberi gambaran keseluruhan secara umum karena pembahasan dalam media terbatas, yaitu artikel ini.

Alat Uji Politik

Sebagai alat keseimbangan (menimbang) maka kita mengambil dua kalimat umum yang dikutip dari inti kecenderungan politik yang dipercaya sebagai logika, menjadi bagian dari teori politik dan sosial ditengah masyarakat, hal ini juga untuk mudah dipahami oleh semua pihak sebagai berikut :

Pertama, Kondisi sosial yang buruk karena diamnya orang pintar atau diamnya orang-orang yang paham. Maksudnya mereka yang memahami tidak bersikap karena hegemony kekuasaan atau enggan karena potensi sosial yang tidak memenuhi kapasitas.

Kedua, Politik hanya mengenal kepentingan, berteman karena prospek, bersekutu karena power politik, politik cenderung sulit memahami kelemahan dan kasihan. Contohnya begini, Indonesia membantu Belanda dalam menghadapi perang politik dengan Australia, pada waktu yang lain Indonesia berhadapan perang politik dengan Malaysia, belum tentu Belanda berada di pihak Indonesia, tergantung prospektif dan kepentingan nasional bangsanya. Dalam pandangan sosial tentu ini kontroversial, tapi jika cukup dalih bagi Belanda maka dalam perspektif politik sikap tersebut justru normal.

Kesimpulan Politik

Menjawab sepuluh hipotesa politik diatas berdasarkan pengertian politik umum sebagai alat ujinya. Dimana yang terdiri dari dua kalimat diatas maka kesimpulannya sebagai berikut :

Pertama, Adanya damai, bermakna adanya perang politik, meski kedua belah pihak dapat saja berbicara diplomasi politik dalam konteks sebangsa, setanah air, sekeluarga, serumpun dan lain-lain.

Kedua, Karena ada kesebelasan atau versus, apakah tidak meungkin bersatu? Dalam politik sangat mungkin dan berpotensi jika alat pemersatunya ditempatkan alat politik yang benar dan diterima akal sehat. Berikutnya ada ruang yang dipahami oleh kedua pihak dimana negara dengan konstitusinya memiliki ruang kebangsaan atau kenegaraan dan masyarakat Aceh memahami politik dengan logika politik secara benar dengan teori dan kecenderungan politik. Bukan dengan sebatas sentimen politik atau emosional dan spirit berbangsa yang sempit.

Ketiga, MOU Helsinki sebagai kesepahaman menghentikan perang bersenjata, kemudian dikonversikan dalam UUPA (UU No. 11 Tahun 2006) sebagai wujud Hukum dalam ruang (konstitusional) bernegara dalam negara Republik Indonesia serta merupakan tahapan lanjutan dari perjanjian (MOU) yang telah dibawa pada hukum keIndonesiaan (dibahas dan disahkan oleh wakil rakyat (DPR RI)).

Keempat, Politik penguatan daerah dan masyarakatnya kemudian diperjuangkan dan hanya mengagacu dan berorientasi pada  UUPA (produk hukum konstitusional) atau produk hukum pasca kesepahaman (MOU) kesepahaman. Atau Kesepahaman yang berlanjut ketahapan persetujuan (agreement constitusional) yang melahirkan UU No. 11 Tahun 2006. 

Kelima, Jika mengacu pada alat uji politik yang berstandar dengan dua kalimat yang kita sepakati diatas, maka politik dapat melakukan apa saja sesuai kepentingannya, apalagi tidak mengatur etika dan fatsun politik maka tidak ada yang terkhianati atau yang mengkhianati.

Keenam, Dipihak penguasa negara bersikap hanya sebatas mengabaikannnya, menyepelekannya, merasionalkannya, menyederhanakannya, itupun bila dipihak lain tidak cerdas mengawal dan membiarkannya karena kealpaannya atau ketidaksanggupannya.

Ketujuh, Dipihak masyarakat Aceh, yang terjadi secara politik adalah gagal membuat alat politik (UUPA) menjadi penting, terutama sikap masyarakat, tokoh dan pejabatnya yang tidak mengedepankannya dalam penyelenggaraan konstitusi daerahnya. Penguatan konstitusi daerah tersebut tidak menjadi bahagian dari perencanaan pembangunan masyarakat, karena mungkin saja kurang jeli dalam melihat pembangunan. Bisa saja tokoh dan pejabatnya hanya terilustrasikan pembangunan dengan sebatas jalan, jembatan, bangunan kantor dan lain-lain yang sejenisnya. Karena itulah mungkin saja UUPA tidak menjadi penting sebagai alat membangun masyarakat Aceh untuk kehidupannya yang lebih baik.

Kedelapan, Secara politik tidak ada  yang bisa dipersalahkan, tetapi dalam sentimen politik dan pandangan sosial secara awam tentu pihak yang lebih jauh apalagi pernah menjadi lawan politiknya adalah pihak yang salah dan curang. Tanpa berpikir, mengevaluasi serta menyadari kelemahan diri kita sendiri apalagi secara sadar mengakui kealpaan kita sebagaimana mentalitas warga jepang. Berbeda tipikal pemimpin, pemimpin mereka ketika menghadapi masalah dan tidak mampu dihadapinya mereka justru mundur bahkan bunuh diri karena budaya malu meski jabatannya perdana menteri sekalipun. Yang jabatan tersebut menggiurkan bagi warga negara kita dan menjadi beban bagi warga negara yang mumpuni dinegara lain. Tapi menunggu Gubernur Aceh mundur atas kegagalannya, perlu kiranya rakyat bernazar 1.000 ekor sapi untuk mensyukurinya tetapi hal itu adalah mustahil.

Sekian
*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun