Ketiga, Kepala pemerintahan yang berasal dari kalangan yang mengutamakan keilmuannya, dengan cita-cita atau bervisi tidak sebagaimana kebanyakan orang dalam politik pragmatis, sehingga mereka justru memimpin sekaligus menguji sistem kepemimpinan sosial untuk tahapan pencapaian cita-citanya yang lebih luas dalam membangun teori sosial, teori politik, ideology politik atau ideology sosial.Â
Visinya yang besar dan luas itu tentu akan mengeleminir terhadap tujuan atau prilaku yang menjerat dirinya pada pragmatisme politik yang mengedepankan sebatas kekuasaan pada pejabat dan pemimpin biasa yaitu tahta, harta dan sebagainya.
Formulasi kepala pemerintahan dari kalangan ini perlulah di uji agar ada solusi dalam pembenahan sistem pemerintahan yang demokratis dan memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, sehingga masyarakat di negara ini tidak mendapatkan ajaran yang salah kaprah dalam demokrasi yang akhirnya justru mendakwakan demokrasi sebagai biang kerusakan negara.
Sebagaimana image terhadap bentuk negara Federasi yang diopinikan dalam ajaran yang salah kaprah pada negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dimasa lalu yang berimage NICA untuk penyempurnaan pembodohan rakyat terhadap formulasi sistem negara demokrasi tersebut.
Dalam banyak hal sejarah bernegara menjadi pelajaran politik sosial bangsa yang pada masanya perlu diluruskan agar terjadi pembenahan dalam pendidikan bangsa sehingga rakyat tidak lagi dalam pendidikan sosial yang selalu salah arah. Tentu hal ini bisa disebababkan lemahnya inisiatif dan misi dan visi pemimpin bangsa yang tidak mampu menggali sumber-sumber pendidikan sosial yang sesunggnya yang dapat meningkatkan kedewasaan, kematangan dan kecerdasan bangsa.
Sekian
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H