Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Berpeluang, Pimpinan Broker, Trader, Ilmuwan, dan Pribadi Sederhana Menjadi Kepala Pemerintah Indonesia

23 Desember 2020   08:49 Diperbarui: 23 Desember 2020   09:00 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Pixels, Alpha Trader Zone

Oleh : Tarmidinsyah Abubakar

Pemilihan Presiden atau Kepala Daerah langsung oleh rakyat telah berlangsung selama empat periode kepemimpinan pemerintahan di Indonesia yang dimulai sejak masa pemerintahan SBY-JK pada tahun 2004.

Sementara kepala daerah baik gubernur, bupati/walikota dan para wakilnya sejak itu dipilih langsung oleh rakyat disemua daerah. Secara demokrasi sistem pemilihan tersebut telah memenuhi mekanisme pengambilan keputusan secara adil dan memberi hak sepenuhnya kepada rakyat Indonesia untuk menggunakan hak-hak politiknya sebagai warga negara.

Beberapa hal yang perlu mendapat pertimbangan terhadap kualitas demokrasi adalah:

  • Pertama, Tingkat kebebasan individu warga dalam membuat keputusan memilih.
  • Kedua, Tingkatan hidup masyarakat yang memenuhi kebutuhan dasarnya secara merata.
  • Ketiga, Mentalitas sosial warga negara yang memenuhi standar warga negara merdeka
  • Keempat, Standar pengetahuan dan wawasan politik sosial yang memenuhi standar pengambilan keputusan politik
  • Kelima, Kondisi sosial yang tidak dipengaruhi oleh kecenderungan sosial, seperti faktor agama, budaya dan kecenderungan tradisional, primordialisme, patrialisme dan pembelengguan kesetaraan.

Kelima faktor ini setelah dipastikan secara baik maka pemilihan langsung oleh masyarakat dapat terhadap presiden dan kepala daerah dapat dikatagorikan memenuhi syarat pemilihan yang demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang dituntut dalam kebebasan memilih bagi warga negara.

Sebaliknya bila warga negara masih berkutat dalam masalah-masalah di atas maka kualitas pemilihan secara demokratis masih banyak cacatnya. Terutama para pemilih dalam hal ini warga negara belum secara dominan memenuhi syarat untuk berdemokrasi, terutama mereka sebahagian dalam keadaan melarat untuk memenuhi kebutuhan mendasarnya serta dalam kondisi warga negara yang dikatagorikan tidak mumpuni.

Sesungguhnya untuk melaksanakan budaya demokrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, pembenahan kualitas demokrasi perlu dilakukan secara bertahap oleh pemerintah, sehingga semua elemen dalam sistem pengambilan keputusan memiliki kualitas yang baik untuk dapat disebut demokratis dengan segala rasa tanggung jawabnya terhadap negara dan masa depan rakyatnya sendiri yang bermuara pada kedaulatan rakyat dan kesejahteraannya.

Ada dua hal yang membedakan kualitas pemilihan dalam sistem demokrasi suatu masyarakat yang bisa secara vulgar memperlihatkan indikator kualitasnya, sebagaimana berikut:

Pertama, Pada masyarakat dengan kualitas demokrasi yang baik atau masyarakatnya sudah terbebas dari belenggu dalam pengambilan keputusan politiknya maka mereka akan menempatkan tujuan pemilihan kepala pemerintahan sebagai pemimpin yang mengkoordinasikan keadilan hukum dan kebijakan publik yang senantiasa transparan dan terbuka serta memberi kebebasan terhadap hak warganya.

Kedua, Pada masyarakat dengan kualitas demokrasi yang rendah dan biasanya pada masyarakat transisi maka tujuan mereka memilih kepala pemerintah baik presiden maupun kepala daerah lebih kepada opsi mencari Tuan yang adil atau orang yang berpotensi membantu atau meringankan pemenuhan kebutuhan hidup mendasarnya agar mereka lepas dari kemelaratannya.

Dengan demikian, timbul pertanyaan, apakah pada sistem kehidupan rakyat melarat kualitas demokrasi tidak memenuhi kualifikasinya?

Sebenarnya, jawabannya bisa iya dan tidak, tergantung pada faktor apa yang dominan mempengaruhinya, jika dominan warga berpikir dalam standar perubahan masa depannya bisa saja semua mereka secara sadar tidak dalam tekanan faktor kecenderungan sosial lain, maka kualitas pengambilan keputusannya bisa dikatagorikan demokratis. 

Namun demokrasi akan sulit terwujud kualitasnya justru pada suatu masyarakat yang diwarnai dengan kesenjangan sosial yang tinggi, misalnya kepemilikan tanah para raja-raja masa lalu yang diwarisi anak cucunya yang hidup dimasa kini, sementara mata pencaharian masyarakat setempat berbasis agraris tentu saja mekanisme pemilihan masyarakat mesti namanya demokrasi tetapi aroma kontradiksi maka essensinya justru berubah arah.

Atau pada masyarakat biasa saat ini namun ada sejumlah kelompok masyarakat dengan tingkat kesenjangan yang tinggi maka mereka akan menguasai dukungan masyarakat dengan faktor sogok maka demokrasi tidak memenuhi kualifikasinya. Karena kekuasaan yang absolut pada mereka justru akan melahirkan sistem neokolonialisasi atau penjajahan baru justru dalam sistem demokrasi.

Kondisi seperti inilah yang terjadi pada negara berkembang terutama masyarakat transisi dalam sistem kepemimpinan sebagaimana di negara kita.

Lalu, sesungguhnya masalah apa yang mendominasi dalam sistem kepemimpinan yang dipilih rakyat tersebut? Tentu saja penyelengan kekuasaan (abuse power) terutama dalam hal korupsi anggaran atau uang negara, karena masyarakat standar kehidupan ekonominya lemah yang senantiasa berpikir dalam penggalian sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. 

Maka korupsi dalam lingkaran kekuasaan akan mewarnai kehidupan bernegara, karena sistem demokrasi masih membebani pelaku politiknya membiayai dan memfasilitasi pendukung dan pemilihnya secara ketat dalam hal pemenuhan kebutuhan standar hidupnya. 

Padahal demokrasi yang sesungguhnya justru kualitasnya diukur apabila pemimpin dan politisi yang akan dipilih oleh rakyatnya justru tidak membebani apapun pada yang dipilih, kecuali hal-hal yang berkaitan dengan tujuan membangun rakyat dalam kedaulatannya yang bermuara pada tahapan kesejahteraannya.

Berdasarkan pengalaman dalam kehidupan demokrasi di Indonesia banyak kepala Daerah yang akhirnya harus berakhir dalam korupsi anggaran negara. Hal ini adalah masalah krusial agar kasus-kasus ini tidak menjadi alasan melemahkan demokrasi dan sistem pemilihan langsung. Berikutnya apa formulasi yang bisa ditawarkan untuk mengantisipasi kasus korupsi kepala daerah, presiden atau kepala pemerintahan tersebut?

Pertama, Seorang pemimpin pemerintahan atau kepala Daerah atau presiden yang keuangan tercukupi, ada beberapa negara yang kepala pemerintahnya justru mampu hidup bertahan dalam kesederhanaannya. 

Bukan dari kalangan orang kaya atau orang yang diharapkan sebagai Tuan yang adil oleh masyarakatnya. Tetapi dengan sistem hidupnya yang sederhana ia mampu membangun kekompakan antara pemimpin pemerintah dengan rakyatnya secara sungguh-sungguh dan bukan sebatas lips service.

Kedua, Mencari kepala pemerintahan dari kalangan yang bebas finansial, misalnya pemilik broker atau trader yang sukses, mereka tidak lagi mencari uang dengan cara-cara tradisional sebagaimana rakyat kebanyakan. Sehingga mereka tidak memerlukan gaji, fasilitas atau intensif dari jabatan sebagai kepala pemerintahan biasa yang selama ini rakyat  mencurigainya.

Ketiga, Kepala pemerintahan yang berasal dari kalangan yang mengutamakan keilmuannya, dengan cita-cita atau bervisi tidak sebagaimana kebanyakan orang dalam politik pragmatis, sehingga mereka justru memimpin sekaligus menguji sistem kepemimpinan sosial untuk tahapan pencapaian cita-citanya yang lebih luas dalam membangun teori sosial, teori politik, ideology politik atau ideology sosial. 

Visinya yang besar dan luas itu tentu akan mengeleminir terhadap tujuan atau prilaku yang menjerat dirinya pada pragmatisme politik yang mengedepankan sebatas kekuasaan pada pejabat dan pemimpin biasa yaitu tahta, harta dan sebagainya.

Formulasi kepala pemerintahan dari kalangan ini perlulah di uji agar ada solusi dalam pembenahan sistem pemerintahan yang demokratis dan memulihkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, sehingga masyarakat di negara ini tidak mendapatkan ajaran yang salah kaprah dalam demokrasi yang akhirnya justru mendakwakan demokrasi sebagai biang kerusakan negara.

Sebagaimana image terhadap bentuk negara Federasi yang diopinikan dalam ajaran yang salah kaprah pada negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dimasa lalu yang berimage NICA untuk penyempurnaan pembodohan rakyat terhadap formulasi sistem negara demokrasi tersebut.

Dalam banyak hal sejarah bernegara menjadi pelajaran politik sosial bangsa yang pada masanya perlu diluruskan agar terjadi pembenahan dalam pendidikan bangsa sehingga rakyat tidak lagi dalam pendidikan sosial yang selalu salah arah. Tentu hal ini bisa disebababkan lemahnya inisiatif dan misi dan visi pemimpin bangsa yang tidak mampu menggali sumber-sumber pendidikan sosial yang sesunggnya yang dapat meningkatkan kedewasaan, kematangan dan kecerdasan bangsa.

Sekian
*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun