Oleh : Tarmidinsyah Abubakar
Salah satu faktor yang memberi andil besar dalam pembangunan suatu daerah adalah kredibilitas Perguruan Tinggi. Lulusan-lulusannya menjadi pemimpin bidang kehidupan generasi masyarakat dalam kepemimpinan di daerah juga kepemimpinan nasional.
Oleh karena itu kredibilitas suatu Perguruan Tinggi bukan hanya soal bagaimana tanggung jawab pimpinannya terhadap mahasiswa dan orang tuanya. Dalam hal ini pemimpin Perguruan Tinggi (Rektor dan Manajemennya) juga harus bertanggung jawab terhadap sumber daya manusia (human resource) daerah dan negaranya.
Banyaknya jumlah orang miskin disuatu daerah, banyaknya jumlah angka pengangguran secara keseluruhan maupun pengangguran intelektual secara lebih khusus adalah indikator kelemahan Perguruan Tinggi. Karena mereka hanya sebatas menghasilkan sumber daya birokratis yang bertujuan menjadi pegawai negeri. Itu sebagai contoh pembangunan mentalitas masyarakat disemua daerah dalam negara.
Atas dasar vitalnya peran dan fungsi Perguruan Tinggi di daerah maka sudah sewajarnya tuntutan kualitas pengelolaannya diprioritskan. Sehingga semua aparatur yang bekerja sebagai tenaga edukatif, administratif dan mahasiswa-mahasiswinya mendapatkan perlakuan adil oleh pemimpinnya dalam hal ini Rektor dan manajemennya.
Oleh karenanya kepemimpinan (leadership) suatu Perguruan Tinggi itu seyogyanya lebih baik dari kepemimpinan lembaga lainnya bahkan dengan lembaga-lembaga lain pemerintah itu sendiri.Â
Karena Perguruan Tinggi secara total terdiri dari para guru besar yang juga penanggung jawab pendidik generasi masyarakat, sehingga wajar ditempatkan manajemennya sebagai teladan bagi lembaga-lembaga lain.
Jika Perguruan Tinggi dipimpin sebagaimana lembaga politik maka sudah pasti akan ada kompetisi tidak sehat dalam menentukan para pimpinannya, apalagi pemahaman demokrasi pada bangsa kita belum sesempurna pemahaman dan kematangan demokrasi pada bangsa yang terlebih dahulu mengenalnya.
Signal yang memberitahukan bahwa kepemimpinan Perguruan Tinggi itu bobrok adalah adanya sikap dan laporan para guru besarnya terhadap kebobrokan tersebut, adanya komunikasi yang tidak sehat lintas tokoh-tokoh Perguruan Tingginya, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan serta terjadinya suatu manajemen yang tertutup.
Sikap Para Guru Besar
Sikap dan laporan para guru besar sebuah Perguruan Tinggi tentunya bukan sesuatu yang mudah dilahirkan dan disampaikan kepada menteri dan departemen, karena mereka juga telah mempertaruhkan kredibilitasnya tersebut dimata rakyat, dimata kementerian dan departemen serta dihadapan Tuhan bahkan memilih berhadapan dengan temannya yang rektor itu pun bukan perkara gampang bagi mereka yang sudah berada dikalangan tersebut.
Para guru besar yang kita yakin bermental lebih dari masyarakat biasa tidak akan menyeret lembaga itu ke politik praktis. Apalagi jika lebih setengah mereka menyatakan sikap maka dapat dipastikan perguruan tinggi itu bernilai merah dan perlu ditangani untuk pembenahan.
Degradasi Sistem
Degradasi nilai suatu Perguruan Tinggi sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh pemimpinnya. Idealnya lembaga ini dalam kepemimpinannya justru lebih urgen sebagai kepemimpinan kordinatif yang memberi spirit dan fasilitasi kepada aparatur pendidik agar proses belajar, mengajar dan penilitian berjalan lancar dan optimal.
Berkaitan kebijakan sistem manajemen umum seyogyanya  tidak akan menimbulkan hal-hal diskriminasi dan pendhaliman terhadap orang lain, apalagi hingga timbulnya sentimen dari pengambil keputusan dilembaga tersebut. Jika hal inipun menimbulkan problema dilingkungan Perguruan Tinggi maka ada yang salah dalam kepemimpinannya dan dapat dikatagorikan kepemimpinannya bobrok.
Standar Kebutuhan Pemimpin
Sesungguhnya ada 4 hal yang dibutuhkan atas kepemimpinan suatu perguruan Tinggi, yaitu :
1. Â Penataan Organisasi (leading, empowering)
2. Â Kepatuhan terhadap aturan dan prinsip-prinsip good government
3. Â Mekanisme komunikasi yang efektif (fasilitating)
4. Â Monitoring
Jika salah satu saja dari keempat bahagian dari tugas dan peran kepemimpinan ini mengalami masalah maka Perguruan Tinggi ini perlu segera diperiksa, apalagi hingga timbul berbagai sentimen yang dominan dalam kepemimpinan yang telah berdampak terhadap ketidaknyamanan para pengajar dalam lingkungan tersebut. Tentu dampak yang paling parah adalah tingkat keseriusan pengajar, miskinnya penilitian dan dampak negatif lain secara keseluruhan.
Atas dasar itulah dibutuhkan pengawasan yang ketat terhadap kemimpinan perguruan Tinggi, tidak hanya oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat umum yang menempatkan Perguruan Tinggi itu sebagai jantung hati masyarakat suatu daerah. Para guru besarnya yang tergabung dalam senat diperlukan suara dan tindakannya untuk pengawasan tersebut. Sehingga keberanian itu jangan sampai menjadi alat yang justru melemahkan dirinya.Â
Lalu, bagaimana jika perguruan Tinggi mengalami kebalikan dari image standarnya tersebut?
Pertama, Pemilihan Rektornya beraroma sogok
Kedua, Kordinasi lintas pengajar dan para guru besarnya amburadul.
Ketiga, Penempatan orang hanya berdasarkan sentimen para pendukung.
Keempat, Para guru besar yang seharusnya saling bekerjasama justru terjadi miskordinasi dan miskomunikasi
Kelima, Pihak lain sulit berpartisipasi untuk pembangunan
Keenam, Banyak yang mengundurkan diri dari jabatannya setelah pengangkatannya
Ketujuh, Lembaga akan berkonsentrasi dan berorientasi pada lobbying ke pejabat departemen dan meninggalkan fungsi kordinasi di daerah
Kedelapan, masyarakat akan terdidik dalam kebodohan jangka panjang karena perguruan tinggi memproduksi mesin-mesin pembodohan masyarakat, apalagi dalam sistem masyarakat feodal.
Kesembilan, Perguruan Tinggi itu hanya menjadi pilihan alternatif terakhir bagi para mahasiswa yang memilih lembaga pendidikannya.
Kesepuluh, Mentalitas seluruh jajaran aparatur termasuk mahasiswa-mahasiswinya terdegradasi pada kekuasaan dan jabatan birokrasi jauh dari semangat produktifitas.
Siapa yang Salah?
Pernahkah anda membaca berita atau mendengar seorang menteri mundur karena pesawat sering jatuh? Kemudian pernahkah anda membaca berita seorang menteri mundur karena tidak mampu menangani problem sosial dinegaranya yang menjadi tanggung jawabnya? Hal-hal tersebut merupakan standar manajemen negara yang sesungguhnya.
Lalu, jika suatu perguruan tinggi UIN Ar-Raniry mendapatkan kondisi bahwa kepemimpinannya disorot tidak wajar, tidak adil yang mempertegas pendhaliman, manajemen tertutup, pengelolaannya beraroma otoriter jauh dari nilai dan prinsip keterbukaan yang demokratis dan aroma negatif lainnya. Sementara para guru besarnya yang memahami sudah melakukan tugasnya dengan bersikap dan mempertruhkan kredilitasnya. Maka yang patut dipersalahkan adalah Penanggung jawabnya yaitu Menteri Agama yang juga daerah asal lahirnya.
Kenapa disalahkan, karena tidak merespon dengan memanggil para tokoh perguruan tinggi itu untuk didengar pemikiran-pemikirannya tentang seharusnya lembaga pendidkan tinggi dimaksud. Meskipun diatur dengan statuta yang normatif tetapi kekeliruan dan penyalahgunaan jabatan itu termasuk detilnya hanya mereka di dalam yang mengetahuinya.
Kenapa perlu perhatian dan kebijakan menteri karena perguruan tinggi adalah berpengaruh langsung dalam mendidik mentalitas rakyat. Jika diserahkan penanganannya pada bawahan maka dikuatirkan mereka akan bekerja sekedar memeriksa administratif perguruan tinggi yang dapat dikelabui oleh pembuat laporan dengan berbagai cara apalagi mereka memiliki kekuasaan tersebut.
Apalagi bawahan dikementerian itu dipahami oleh masyarakat daerah tidak sedikit dari mereka yang masih bermental korup, sudah menjadi rahasia umum bahwa pekerjaan mereka sekedar menerima laporan dan memeriksa kemudian berorientasi menjadikan pengelola lembaga di daerah sebagai ATM bank.
UIN Ar-Raniry dan Menteri Agama
Menteri agama sekarang adalah Jenderal Fachrul Razi yang lahir di Aceh. Sementara UIN Ar-Raniry berlokasi di Aceh. Sewajarnya parlu menjadikan lembaga pendidikan tinggi ini sebagai perhatiannya. Kenapa? Karena menteri paham kondisi daerahnya dan paham kelemahan dan kekurangan kepemimpinan di daerahnya dan dampak bagi masyarakatnya.
Lalu, apakah lazim memberi perhatian ke daerahnya yang tertinggal itu secara lebih?Menurut penulis mereka yang tidak paham kepemimpinan yang menyoalkan itu, tetapi tentunya bukan dengan kebijakan yang merugikan daerah lain.
Jika tidak demikian maka masyarakat daerah lain tentu akan mempersoalkan ketika menteri menggunakan pakaian adat daerahnya ketika tampil pada momen perayaan hari besar negara.
Sekian
*****
[Sikap dan Laporan Guru Besar UIN Ar-Raniry]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H