Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Berdomisili di Aceh

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setelah Prabowo, Siapa Lagi Ketua Umum Partai yang Ingin Jadi Menteri?

9 Oktober 2020   11:02 Diperbarui: 9 Oktober 2020   11:30 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Telah menjadi kebiasaan dalam ranah politik Indonesia dewasa ini  seorang pemimpin atau Ketua Umum Partai mengincar jabatan menteri dalam kabinet pemerintahan.

Hal ini kemudian menjadi suatu nilai yang dipaksakan sehingga menjadi  wajar dalam sistem perpolitikan kita. Anehnya kader partai tidak pernah mempermasalahkan kebijakan tersebut.

Kemudian kita selalu membicarakan ikhwal profesional dalam berbagai sisi kehidupan namun prilaku kita justru senantiasa menentang dan menghancurkan nilai profesional itu sendiri.

Kita bisa melihat dalam sejarah kabinet yang diwarnai jabatan menteri oleh para pimpinan partai politik yang berkoalisi dengan partai politik pemenang presiden dimasa lalu hingga sekarang.

Menteri Dari Partai Koalisi Pemerintah

Dimasa presiden Susilo Bambang Yudoyono, terdapat beberapa nama menteri yang menjabat ketua Umum Partai Politik. Diantaranya adalah Aburizal Bakri Ketua Umum Partai Golkar, Hatta Rajasa Ketua Umum Partai PAN, Surya Dharma Ali Ketua Umum Partai PPP, Muhaimin Iskandar Ketua Umum Partai PKB, Tifatul Sembiring Ketua Umum Partai PKS, Meutia Hatta Ketua Umum Partai PKPI. Wiranto Ketua Umum Partai Hanura, Yusril Ihza Mahendra Ketua Umum Partai PBB. Sementara PDIP berada diluar kabinet.

Sedangkan pada masa pemerintahan Jokowi periode terakhir, tiga parpol menempatkan Ketua Umumnya sebagai Menteri yakni Golkar dengan Airlangga Hartarto, PPP Suharso Manoarfa dan Prabowo Subianto Ketua Umum partai Gerindra yang merupakan rival Jokowi pada pilpres.

Sementara Surya Paloh Ketua Umum partai Nasdem dan Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Umum partai pemenang Presiden hanya menunjuk kadernya sebagai Menteri namun kita ketahui dominan dalam kabinet Jokowi.

Pada masa pemerintahan SBY anggota kabinet terdiri dari berbagai partai politik dan tentu ada koalisi terbuka antara partai politik dimana kemudian semua partai yang berkoalisi itu mengisi jabatan dalam pemerintahan, namun ada beberapa partai yang mengisi jabatan dikabinet yang lebih dominan melebihi dari satu orang menteri. Seperti partai PAN dan Partai Golkar.

Sementara pemerintahan Jokowi berangkat dari partai yang tumbuh besar seperti PDIP akibat tidak dilibatkan dalam pemerintahan sebelumnya, Ketua Umum partai tidak duduk dalam kabinet tetapi kadernya mendominasi kabinet. Sedangkan Pemerintah SBY yang terdiri dari partai-partai menengah langsung Ketua Umumnya menjadi menteri.

Lalu ada pertanyaan, apakah wajar dalam politik Ketua Umum partai-partai melakukan koalisi dalam mengisi jabatan dikabinet pamerintahan? Jawabnya wajar saja apalagi koalisi itu memberi peluang peran bersama dalam pemerintahan.

Pertanyaan berikutnya, apakah partai-partai yang budaya mereka menempatkan Pemimpinnya dalam jajaran kabinet pemerintahan bisa bertahan dan bisa mengembangkan partai secara lebih baik? Tentu saja untuk jangka pendek hal itu berjalan normal bahkan para kader partai berbangga karena mereka memiliki kekuasaan dipemerintahan sehingga mereka bisa memberi pengaruh dalam pelayanan rakyat.

Lalu, untuk jangka panjang, apakah kebijakan ini sudah pasti yang terbaik? Tentu saja tidak karena semua partai yang Ketua Umumnya pernah berjejer dalam kabinet pemerintahan yang dipimpin oleh presiden dari partai politik lain mengalami pelemahan image partai politiknya. Apalagi pemerintahan itu dianggap gagal dalam tahapan pencapaian pensejahteraan rakyat. Beruntunglah jika pemerintahan dimasa itu dianggap mampu melakukan perubahan-perubahan dalam pencapaian kehidupan berbangsa yang lebih baik.

Berikutnya kenapa partai yang  ikut dalam pemerintahan itu mengalami degradasi kepercayaan rakyat? Tentu saja semua partai itu dianggap kroninya atau pendukung partai yang berhasil menempatkan kadernya sebagai presiden. Ketika kepercayaan masyarakat berkurang terhadap presiden maka kepercayaan itu juga akan berkurang kepada partai-partai pendukungnya. Lalu masyarakat akan mencari partai alternatif  yang bertentangan dengan pemerintahan dimasa itu, meski masyarakat tidak memahami perbedaan dan tingkat kemampuan partai alternatif tersebut dalam memperbaiki kualitas kehidupan rakyat bangsa dan negara.

Kesimpulannya bahwa perubahan kepercayaan masyarakat bukan terjadi karena kualitas evaluasi dan hasil seleksi rakyat terhadap ideology dan konsep-konsep pembangunan dan pelayanan rakyat sebagai pembanding yang ditawarkan oleh partai oposisi. Lalu karena apa? Tentu saja hanya karena faktor emosional dan kekecewaan kepada pemerintahan sebelum itu.

Pertanyaannya? Apakah ada perbaikan dan peningkatan  pencerdasan dalam sistem politik rakyat? Nilainya masih merah dan rakyat Indonesia belum beranjak dari pemikiran politik tradisional yang mengedepankan emosional dan hanya sebatas sikap dalam politik.

Justru karena itu akhirnya politik Indonesia hanya menyajikan kualitas perlawanan antara pemerintahan dan rakyat dari rezim ke rezim, sementara partai politik hanya diam dan terlena dalam konspirasi kecuali mereka tidak mendapat jatah dalam kekuasaan maka mereka memperlihatkan sikap anti dan itupun ketika masyarakat sudah bergerak sendiri dan berduyun melakukan protes kepada pemerintah. Tapi ketika semua partai dapat jatahnya maka mereka akan diam meski rakyat menghadapi masalah besar sebagaimana dalam menghadapi covid 19.

Menteri Bukan Dari Partai Koalisi Pemerintah

Jika dalam koalisi saja sebagaimana penulis diatas bahwa partai-partai pengikut itu mengalami kerugian dalam politik, lalu bagaimana partai politik yang bukan dalam koalisi pemerintahan   kemudian menempatkan Ketua Umumnya sebagai menteri? 

Tentu saja partai tersebut adalah partai politik yang krisis identitas yang sekedar mengutamakan kedudukan dalam jabatan pemerintahan yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat dan mentalitas pemimpin partai itu cenderung korup dalam politik. Karena apa? 

Tentu saja karena mereka tidak memiliki konsep penyeimbang yang ditawarkan kepada rakyat, mereka justru hanya berpikir dalam kepentingan sempit menggunakan jabatan dalam pemerintahan agar bisa menyogok rakyat dalam politik dengan menggunakan fasilitas negara.

Kenapa demikian? Karena mereka tidak sabar dalam mendidik dan mempengaruhi rakyat untuk menjelaskan bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah yang lebih ideal terhadap pananganan masalah sosial. Mereka bukan sebagai pejantan atau pemimpin yang berani menyatakan sikap politik dengan argumen yang logis untuk kepentingan rakyat.

Dalam penulisan ini penulis mengingat ajaran pendiri PAN Amien Rais ketika menghambat Hatta Rajasa maju sebagai Ketua Umum PAN pada Kongres III PAN di Semarang. Karena kala itu Hatta Rajasa menjabat Menteri Perhubungan meski PAN berkoalisi dalam pemerintahan. Kemudian Ketua Umum PAN dilepaskan kepada Soetrisno Bachir dan Hatta Rajasa memaklumi itu dan menyampaikan kepada kader dimana kemudian menyodorkan nama Zulkifli Hasan sebagai Sekjend DPP PAN.

Menteri dari Ketua Umum Partai Oposisi

Selanjutnya yang terakhir, bagaimana bila Ketua Umum partai oposisi menjadi menteri pada kabinet pimpinan lawan politiknya? 

Saya kira jawabannya adalah sesuatu yang kurang wajar dan menggelikan ketika hal itu menjadi keputusan partai politik yang memiliki ideology sesungguhnya serta platform perjuangan.

Lalu, apakah partai yang demikian tidak memiliki ideology dan platform perjuangan sesungguhnya? Tentu saja bisa di duga kuat dengan melihat keputusan tersebut. 

Karena politik model itu hanya akan melahirkan konspirasi yang sempurna yang tentu saja sangat merugikan rakyat. Partai politik tidak lagi dipimpin untuk menjadi saluran aspirasi tetapi telah direduksi untuk sekedar jembatan pada jabatan yang tidak berkualitas dan berkapasitas pemimpin politik.

Maka partai itu dapat dipastikan bukan sebagai pemimpin politik tetapi hanya sebatas pecundang dalam politik. Akhirnya mereka tidak lagi berpihak pada rakyat tetapi ikut mendhalimi rakyat kala ada kebijakan publiknya yang bertentangan sebagaimana kasus Omnibus Law yang dihadapi rakyat saat ini.

Kesimpulannya mereka yang mendirikan partai politik di Indonesia itu hanya beberapa orang yang bermental pemimpin politik serta memiliki Ideology yang dapat kita lihat sikap politiknya yakni Megawati Soekarno Putri dengan PDIP, SBY dengan Demokrat, Surya Paloh dengan Nasdemnya, PKS dengan kelembagaan dan Prof. Amien Rais yang sedang mendirikan Partai Ummat. Silakan berpikir jika anda kurang yakin.

Sekian
*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun