Pertanyaan berikutnya, apakah partai-partai yang budaya mereka menempatkan Pemimpinnya dalam jajaran kabinet pemerintahan bisa bertahan dan bisa mengembangkan partai secara lebih baik? Tentu saja untuk jangka pendek hal itu berjalan normal bahkan para kader partai berbangga karena mereka memiliki kekuasaan dipemerintahan sehingga mereka bisa memberi pengaruh dalam pelayanan rakyat.
Lalu, untuk jangka panjang, apakah kebijakan ini sudah pasti yang terbaik? Tentu saja tidak karena semua partai yang Ketua Umumnya pernah berjejer dalam kabinet pemerintahan yang dipimpin oleh presiden dari partai politik lain mengalami pelemahan image partai politiknya. Apalagi pemerintahan itu dianggap gagal dalam tahapan pencapaian pensejahteraan rakyat. Beruntunglah jika pemerintahan dimasa itu dianggap mampu melakukan perubahan-perubahan dalam pencapaian kehidupan berbangsa yang lebih baik.
Berikutnya kenapa partai yang  ikut dalam pemerintahan itu mengalami degradasi kepercayaan rakyat? Tentu saja semua partai itu dianggap kroninya atau pendukung partai yang berhasil menempatkan kadernya sebagai presiden. Ketika kepercayaan masyarakat berkurang terhadap presiden maka kepercayaan itu juga akan berkurang kepada partai-partai pendukungnya. Lalu masyarakat akan mencari partai alternatif  yang bertentangan dengan pemerintahan dimasa itu, meski masyarakat tidak memahami perbedaan dan tingkat kemampuan partai alternatif tersebut dalam memperbaiki kualitas kehidupan rakyat bangsa dan negara.
Kesimpulannya bahwa perubahan kepercayaan masyarakat bukan terjadi karena kualitas evaluasi dan hasil seleksi rakyat terhadap ideology dan konsep-konsep pembangunan dan pelayanan rakyat sebagai pembanding yang ditawarkan oleh partai oposisi. Lalu karena apa? Tentu saja hanya karena faktor emosional dan kekecewaan kepada pemerintahan sebelum itu.
Pertanyaannya? Apakah ada perbaikan dan peningkatan  pencerdasan dalam sistem politik rakyat? Nilainya masih merah dan rakyat Indonesia belum beranjak dari pemikiran politik tradisional yang mengedepankan emosional dan hanya sebatas sikap dalam politik.
Justru karena itu akhirnya politik Indonesia hanya menyajikan kualitas perlawanan antara pemerintahan dan rakyat dari rezim ke rezim, sementara partai politik hanya diam dan terlena dalam konspirasi kecuali mereka tidak mendapat jatah dalam kekuasaan maka mereka memperlihatkan sikap anti dan itupun ketika masyarakat sudah bergerak sendiri dan berduyun melakukan protes kepada pemerintah. Tapi ketika semua partai dapat jatahnya maka mereka akan diam meski rakyat menghadapi masalah besar sebagaimana dalam menghadapi covid 19.
Menteri Bukan Dari Partai Koalisi Pemerintah
Jika dalam koalisi saja sebagaimana penulis diatas bahwa partai-partai pengikut itu mengalami kerugian dalam politik, lalu bagaimana partai politik yang bukan dalam koalisi pemerintahan  kemudian menempatkan Ketua Umumnya sebagai menteri?Â
Tentu saja partai tersebut adalah partai politik yang krisis identitas yang sekedar mengutamakan kedudukan dalam jabatan pemerintahan yang tidak mengutamakan kepentingan rakyat dan mentalitas pemimpin partai itu cenderung korup dalam politik. Karena apa?Â
Tentu saja karena mereka tidak memiliki konsep penyeimbang yang ditawarkan kepada rakyat, mereka justru hanya berpikir dalam kepentingan sempit menggunakan jabatan dalam pemerintahan agar bisa menyogok rakyat dalam politik dengan menggunakan fasilitas negara.
Kenapa demikian? Karena mereka tidak sabar dalam mendidik dan mempengaruhi rakyat untuk menjelaskan bagaimana seharusnya kebijakan pemerintah yang lebih ideal terhadap pananganan masalah sosial. Mereka bukan sebagai pejantan atau pemimpin yang berani menyatakan sikap politik dengan argumen yang logis untuk kepentingan rakyat.