Tidak akan habis materi ketika kita bicara tentang pemimpin, mulai dari ciri, kewajaran, kebutuhan jaman, kejujuran dan bermacam nilai negatif yang terdapat padanya.
Sayangnya sebahagian besar dari masyarakat menganggap pemimpin dalam perspektif yang justru mendegradasi nilai pemimpin yang harusnya mereka pilih kemudian justru mereka memilih yang berbeda dari nilai-nilai yang vital tersebut.
Kenapa saya berhipotesa demikian? Karena pilihan masyarakat sebahagian besar justru akhirnya menjadi musuh masyarakat itu sendiri.
Apakah mereka tidak menemukan sosok ideal untuk calon pemimpinnya?
Ada tiga faktor Penting secara garis besar yang berkemungkinan dapat diubah pada masyarakat yang seringkali salah dalam menemukan, melahirkan atau memilih pemimpin yang benar-benar ideal untuk memimpin.
Pertama, Salah Menilai, yaitu masyarakat menempatkan nilai yang berbeda dalam mencari sosok pemimpinnya sehingga kepentingan dalam pemikirannya  tidak terarah. Lalu faktor dasar apa yang mempengaruhi penyesatan masyarakat dalam memantapkan pilihannya untuk melawan lahirnya pemimpin yang memiliki wawasan dan ilmu pengetahuan serta memiliki sikap sebagai pemimpin ?
~Faktor desakan sosial ekonomi
~Faktor pendidikan politik yang lemah
~Faktor ilmu pengetahuan
~Faktor wawasan
~Faktor primordialis
~Faktor lingkungan
~Faktor pemahaman demokrasi yang masih lemah
~Faktor tekanan sistem feodal
~Faktor
~Faktor kesenjangan informasi
~Faktor lemahnya wawasan kepemimpinan partai politik
Kedua, Faktor Mentalitas korup akibat kelemahan dalam pengetahuan masyarakat.
Ketiga adalah Faktor Sikap Apatis terhadap politik dan kepemimpinan negara serta daerah. Mereka tidak peduli calon pemimpinnya yang penting bisa memberi bantuan kepadanya meski itu tidak berarti untuk memperbaiki kehidupannya. Maka  masyarakat pemilih menemui calon pemimpin atau timsesnya tidak lebih dalam perspektif bargaining bantuan yang dibarter dengan suaranya.
Tiga faktor penting yang dapat cepat diubah dan sepuluh faktor dasar inilah yang menyebabkan pemilih dalam setiap pemilihan presiden dan kepala daerah bahkan dalam pemilihan wakil rakyat masyarakat itu cenderung pragmatis tanpa berpikir untuk perubahan masa depannya.
Tiga faktor penting ini masih sangat mungkin diperbaiki dalam waktu yang singkat dengan memberi pendidikan politik dan sosial secara intensif kepada masyarakat.
Sementara sepuluh faktor yang mendasar hanya bisa dilakukan oleh political will pemimpin negara atau pemimpin daerah. Kenapa demikian? Karena ini dipengaruhi oleh kecerdasan pemimpin dalam pembangunan yang intinya keberadaan mereka harus dapat melahirkan kebijakan publik yang fundamental untuk mempengaruhi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunannya.
Dimana suatu ketika bila masyarakat sudah berubah maka bila mereka menghadiri kampanye tentu mereka tidak lagi berorientasi pada bantuan atau besarnya jumlah mereka yang tidak lagi harus dibayar ketika mengikuti kampanye massa dalam politik tetapi ingin mendengarkan penegasan dan harapan yang rasional dari calon pemimpinnya.
Jika kita perhatikan fenomena kampanye politik hingga pemilu terakhir setahun yang lalu maka kita bisa memantau dan melihat animo masyarakat dalam menghadiri kampanye yang antusias itu ketika mereka mendapat bayaran bahkan mereka bersedia diangkut ke satu kampanye ke kampanye yang lain untuk itu.
Sesungguhnya kampanye itupun tidak berorientasi pada konsep-konsep kepemimpinan dan harapan terhadap pembangunan masyarakatnya. Akhirnya kampanye politik itu hanya berupa hiburan dan ucapan-ucapan dalam orasi tokoh politik lebih kepada menyemangati massa untuk opini pressure kemenangan.
Oleh karena itu ucapan apapun yang disampaikan secara berlebihan sudah menjadi kebiasaan meski esok dan lusa hal itu sama-sama dilupakan, rakyat tidak mengingat dan si pemimpinpun lupa dengan kata-kata yang diucapkannya.
Ada lagi yang kulitasnya lebih rendah, dimana panggung dan lapangan kampanye itu hanya menjadi gebyar caci maki kandidat yang satu dengan kandidat lain beserta timsesnya.
Sebenarnya, kenapa hingga terjadi sedemikian rupa? Jawabnya karena politisi dan rakyat sama-sama tidak paham, yang mereka pahami adalah ada panggung mewah ada sound paling bagus, ada musik dan penyanyi terkenal.
Itulah pendidikan politik yang tidak mengarah pada substansi politik yang sesungguhnya.
Jika kita menyaksikan kampanye politik partai-partai kita atau calon  kepala daerah kita sebahagian besar bukannya membahas politik,  membahas pembangunan rakyat tetapi sebahagian besar hanya menampilkan penyerahan bantuan kepada fakir dan anak yatim menjadi andalan issu politik yang mempengaruhi.
Padahal yang perlu dilakukan oleh pemimpin politik adalah bagaimana mereka memiliki konsep yang sempurna untuk penanganan masalah masyarakat miskin dan penanganan anak yatim, itulah yang disebut pembangunan karena telah diatur oleh negara melalui konstitusi dan undang-undang turunannya.
Tetapi yang terjadi selama ini adalah pengeksploitasian fakir miskin dan anak yatim untuk memperlihatkan sebatas kebaikan dan kedermawanan politisi pada masyarakat.
Kalau ini yang dilakukan kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dunia politik kita masih sebatas menebar citra baik bukan bagaimana menggunakan otak para pemimpin dan politisi untuk menjawab permasalahan masyarakat yang tidak pernah ada jalan keluar meski pemimpin telah silih berganti.
Akhirnya masyarakat menilai kemampuan politik dan pekerjaan politik dalam batasan yang sangat datar dan sempit dalam bentuk penyerahan bantuan ini dan itu, tentu yang baik dan banyak membantu langsung adalah yang terbaik sebagai pemimpinnya.
Sesungguhnya hal inilah yang telah merusak masyarakat, menjatuhkan martabat rakyat sebagai elemen yang selalu harus dibantu atau sebagai penerima sedekah atau bantuan, padahal negarapun tidak boleh menyebutnya membantu tetapi yang benar adalah mengimplementasikan kewajiban negara terhadap rakyatnya, bukan soal miskin atau tidak. Karena negara dalam konstitusinya adalah melakukan perencanaan pembangunan rakyatnya yang dilakukan oleh pemerintah yang lebih cerdas dari rakyat.
Ketika batasan-batasan dan istilah-istilah itu dibenahi maka negara akan menjadi adil dan membangun kesejahteraan bukan sebagaimana yang berlaku sekarang bahwa pemerintah itu terposisikan sebagai si kaya dan rakyat sebagai si miskin maka pejabatnya yang baik adalah yang dermawan.
Menurut pandangan penulis kerancuan selama ini adalah bentuk penjajahan yang sempurna meski negara ini telah merdeka selama 75 tahun namun rakyatnya masih melarat.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H