Mohon tunggu...
Tarmidinsyah Abubakar
Tarmidinsyah Abubakar Mohon Tunggu... Politisi - Mantan Pemimpin Partai Politik

Semua orang terlahir ke dunia dengan tanpa sehelaipun benang, maka yang membedakannya adalah pelayanan kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahaya Budaya Kepemimpinan Otoriter dalam Sistem Demokrasi

24 Agustus 2024   07:20 Diperbarui: 24 Agustus 2024   07:32 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Oleh : Tarmidinsyah Abu (Godfathers)


Rakyat Indonesia pada umumnya tidak memahami kehidupan demokrasi sebagaimana kehidupan masyarakat di negara-negara maju yang menempatkan rakyat dalam manajemen bernegara sebagaimana posisi raja. 

Pembaca mungkin menganggap narasi saya ini berlebihan atau melebih-lebihkan. Padahal perubahan sistem bernegara secara modern inilah yang telah meruntuhkan semua kerajaan besar di nusantara.

Negara kerajaan di dunia juga kemudian memisahkan pimpinan pemerintahan dan pimpinan negaranya yakni raja sebagaimana Inggris dan beberapa negara lainnya yang tersisa sebagai bentuk negara kerajaan terbesar di dunia.

Lantas apa perbedaan yang paling mendasar antara sistem kerajaan dengan sistem demokrasi?

Jawabnya adalah dalam sistem demokrasi yang menjadi raja adalah rakyat, sementara dalam sistem kerajaan sudah jelas raja dan keluarganya.

Sistem kerajaan sudah pasti melahirkan perbudakan, karena kekuasaan para raja dan keluarganya absolut atas rakyat yang dipimpinnya, karena itu sebagian besar negara kerajaan dimasa lalu melahirkan perbudakan.

Lalu, apakah didalam negara demokrasi masih terdapat perbudakan yang dapat dilihat secara nyata?

Jawabannya tentu prakteknya masih ada, tetapi hanya bisa dilakukan secara tersembunyi yang pada dasarnya melanggar hukum, yakni perdagangan manusia lintas negara dan di dalam kehidupan terselubung yang akhirnya terbongkar kepada publik dengan kekerasan yang dilakukan oleh majikannya yang akhirnya menjadi kriminal.

Namun pertanyaan berikutnya, apakah masih ada perbudakan yang tidak nyata dimana tidak bisa dilihat oleh mata kepala rakyat biasa?

Jawabnya tentu saja masih ada, dimana terdapat di negara berkonstitusi  demokratis sementara pemimpinnya menggunakan kepemimpinan otoritarian yang pada dasarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip hidup berdemokrasi.

Lalu, apa yang terjadi kalau dalam negara demokrasi, sementara kepemimpinannya masih menganut sistem otoritarianisme? Tidak lain yang terjadi adalah penjajahan dan pembodohan sosial secara mutlak.

Atas dasar logika kehidupan demokrasi tersebut maka sesungguhnya sangat berbahaya bagi kehidupan bagi rakyat apabila pemimpinnya justru tidak cukup memahami sistem kehidupan yang demokratis dan bagaimana kepemimpinan demokrasi yang sebenarnya.

Sebelumnya saya ingin menggaris bawahi bahwa orang-orang yang berpikir dan orang mumpuni sebagai warga negara akan memilih sistem demokrasi sebagai tatacara hidupnya.

Kenapa demikian? tentu saja karena demokrasi memberi mereka keadilan dimana semua warga negara sama dimata hukum dan memberi ruang kebebasan yang menempatkan rakyat sebagai tuan yang harus dilayani oleh pemerintah. Karena itu hidup berdemokrasi membutuhkan kemandirian dan kemampuan sebagai warga negara mumpuni yang memahami hak dan kewajibannya dalam bernegara.

Sebagai indikator kesetaraan hidup dalam sistem demokrasi maka kita bisa menyaksikan bahwa pekerjaan-pekerjaan perbantuan yang tidak memberi harapan jangka panjang untuk hidupnya semakin lama akan semakin hilang seiring kualitas demokrasi di negara dimaksud.

Sementara warga negara tertinggal dapat dipastikan lebih menyukai hidup dalam sistem kerajaan karena mentalitas mereka yang pada dasarnya hanya sekedar mengharapkan bantuan dan sedekah dari pemimpinnya bukan mengharapkan kebebasan dan hak serta kewajiban untuk pelayanan dalam bernegara sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Berikutnya kesetaraan dalam hak untuk dipilih dan memilih termasuk untuk menjadi pemimpin utama dalam bernegara yang tidak pernah dimiliki oleh warga negara dalam sistem kerajaan.

Maka mentalitas warga negara dalam sistem kerajaan dimasa lalu hanya sebagai pengabdi kepada rajanya mereka tidak memerlukan persamaan dan kesetaraan hak serta kewajiban dalam bernegara. Maka pemimpin mereka dilahirkan dari kandungan permaisuri apapun kondisinya, pintar atau bodoh tetap saja menjadi raja dan pemimpin negara bagi rakyatnya.

Kenapa Kepemimpinan Otoritarian Dalam Sistem Demokrasi?

Konstitusi bernegara Republik Indonesia dan seluruh Undang-Undang secara total telah dilahirkan dalam perspektif yang demokratis, namun masih ada juga Undang-Undang yang dilahirkan secara sepihak oleh pemerintah sebagaimana Undang-Undang Cipta Karya dan beberapa yang lain yang terkesan dipaksakan.

Begitu juga terjadi perubahan Undang-Undang dalam meluluskan Gibran putra presiden sebagai wakil presiden.

Kemudian kita bertanya, kenapa ada pemaksaan atau keinginan sepihak oleh pemerintah terhadap pembuatan Undang-Undang di jaman demokrasi?

Apakah hal ini bukannya sebagai bentuk antitesis dari sistem demokrasi yang seharusnya perlu dikawal  agar tidak dicederai oleh sekelompok orang atau oleh pemerintah sendiri yang memaksakan kehendak politiknya.

Beberapa faktor yang mempengaruhi masih berlakunya kepemimpinan otoriter dalam demokrasi disebabkan sebagai berikut :

Pertama, Rakyat terlalu lama hidup dalam budaya kepemimpinan otoriter, sehingga mereka belajar kepemimpinan secara otodidax dalam sistem politik secara umum.

Kedua, Partai politik tidak menjalankan pendidikan politik kepada masyarakat sebagaimana fungsi dan tugasnya dalam Undang-Undang partai politik.

Ketiga, Transaksional dalam politik dan jabatan pemerintah tidak dapat dihindari akibat tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah.

Keempat, Ilmu politik demokrasi yang lemah dalam masyarakat menyebabkan masyarakat pragmatisme dalam berbagai bidang.

Kelima, Sentralisasi kekuasaan dianggap sebagai satu-satunya wujud soliditas nasional sehingga pimpinan masional dan daerah mis uderstanding dalam memaknai otonomi daerah.

Keenam, Kepincangan politik bernegara akibat tidak terbangunnya oposisi yang kuat, sehingga pemerintah hanya berhadapan dengan rakyat dalam politik kemudian masyarakat dibiasakan dengan sekedar sebagai penerima bantuan.

Bahaya Budaya Kepemimpinan Otoriter Dalam Demokrasi

Kepemimpinan Politik demokrasi diorientasikan umtuk pelayanan rakyat maka kekuasaan dijauhkan dari nilai absolut (mutlak) maka kekuasaan pemerintah di bagi dalam tiga kekuasaan yakni eksekutif, legilatif dan yudikatif.

Maka presiden atau kepala negara juga kepala daerah tidak dibenarkan membuat aturan sebagaimana kepentingan politik mereka. Karena itu kepemimpinan dalam demokrasi adalah kepemimpinan terbuka yang semua keputusan adalah dalam pantauan publik, kemudian dibutuhkan partisipasi publik atas segala keputusan yang dilahirkan oleh pemerintah.

Jika dibuat tertutup saja maka kepemimpinan demokrasi telah di bajak untuk kepentingan kelompok.

Hal inilah yang telah menggeser kepemimpinan demokrasi kepada kepemimpinan otoriter yang biasanya berlaku dalam sistem kerajaan atau sistem kepemimpinan komunis yang  sangat bergantung pada pengguna peraturan dan pelaku pemerintahan dalam hal ini kepala negara atau kepala daerah.

Demikian narasi politik, setidaknya sebagai masukan untuk kebijakan penyesuaian sistem politik di negara kita yang sedang centang perenang.

Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun