Tarmidinsyah Abubakar
Oleh : Godfathers
Aceh sejak dulu telah berstatus sebagai provinsi khusus, dengan gelar Istimewa, Nanggroe Aceh Darussalam yang di persepsikan sebagai negeri tersendiri, kini kembali bergelar sebagai Daerah Khusus.Saya tidak penting harus melihat dan menghafal Undang-Undang Nomor berapa, bulan berapa dan tahun berapa dengan penetapan tersebut, karena saya memahami Daerah Aceh sebagai provinsi yang dilanda konfik kepentingan sejak provinsi ini dilahirkan dan perubahan status setiap ada pressure politik keamanan.
Namun hanya satu hal yang penulis harapkan adalah menjadi warga negara Republik Indonesia yang merdeka dan mumpuni serta saya menaruh harapan hidup yang lebih baik dalam wilayah Aceh sebagai tempat saya dilahirkan, dibesarkan hingga generasi masyarakat yang akan datang.
Karena itulah saya berani menulis artikel ini sekaligus berharap agar para pimpinan partai politik dan pemerintah pusat memperlihatkan political will sehingga mereka bisa melihat kondisi sosial di Aceh dengan cara menggunakan "Hati" dan menahan syahwat kekuasaan partai politik semata terhadap masyarakat Aceh.
Sebenarnya dalam penglihatan penulis kondisi sosial Aceh sebagai masalah yang cukup sederhana dalam perspektif ilmu politik sosial. Asalkan semua petinggi negara ini dan pimpinan partai politik dapat membangun kerjasama untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa masyarakat di Aceh dalam kehidupannya dengan provinsi bergelar khusus tersebut.
Politik yang dijalankan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berorientasi pada semangat pressure politik keamanan dimana tool politik yang dipertaruhkan adalah keamanan sosial, ancaman keresahan sosial serta politic pressure terhadap kredibilitas negara Republik Indonesia dimata Internasional.
Bila digolongkan dalam kondisi sosial yang normal dan dipahami secara teori tentu saja dapat digudangkan dalam politik teror. Menjadi keadaan membahayakan kecuali keadaan negara yang dihimpit oleh berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pelanggaran konstitusi negara dan demokrasi sebagai konstitusi Internasional.
Persoalan ini kemudian secara resmi telah diakhiri dengan perjanjian damai Helsinki dan selanjutnya dilahirkan UU Nomor 6 Tahun 2006 (UUPA).
Dengan lahirnya UUPA maka masyarakat Aceh dan mantan GAM sudah menerima sistem hidup yang baru dimana konstitusi utamanya adalah UUD 1945 dan Konstitusi keduanya adalah UUPA sebagai tool politik dan bernegara yang khusus untuk provinsi dan masyarakat Aceh dengan kewenangan yang lebih daripada provinsi lain selain DI. Yogyakarta dan Papua yang merupakan provinsi berstatus khusus juga.
Lalu dengan formulasi sebagai wilayah khusus seyogyanya tahapan kesejahteraan rakyat lebih mudah dicapai karena dari berbagai sisi kehidupan masyarakat mendapat perlakuan khusus dari negara ini. Baik alokasi anggaran maupun fasilitas pembangunan menjadi khusus oleh pemerintah pusat.
Namunpun begitu yang diterima oleh masyarakat Aceh sungguh miris, kondisi kehidupan rakyatnya tidak lebih baik sebagaimana kehidupan masyarakat rata-rata di Indonesia. Bahkan Aceh justru menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan realita kehidupan sosial mengalami pelemahan yang luar biasa dengan angka pengangguran yang tinggi sejak perdamaian.
Apalagi kita bicara tentang pendapatan perkapita masyarakat yang rendah bahkan tidak menjadi suatu issu yang penting bagi masyarakat, justru masyarakat lebih terkonsentrasi pada faktor lain seperti isme kedaerahan berlebihan yang hanya menghasilkan sentimen.
Namun seburuk apapun kondisi hidup masyarakat Aceh, setelah sukses melalui tahapan perdamaian maka politik teror sulit untuk digerakkan meskipun yang melakukannya adalah Tgk. Hasan Tiro pimpinan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sebelumnya mampu membuat peran pemerintah lumpuh di Aceh.
Tapi sekarang setelah melalui proses panjang masyarakat Aceh mulai cukup memahami, kenapa? Ya tentu saja karena politik teror menjadi issu politik basi walaupun yang terburuk menggunakan umpan violent terhadap rakyat, tetap saja saat ini dapat digolongkan sebagai tindakan pidana.
Kita tidak perlu melihat hal ini sebagai kesalahan siapa, yang dibutuhkan adalah penegakan hukum harus terus berjalan secara normal dan tentu tidak ada pihak yang perlu dianggap khusus oleh pemerintah karena berakibat fatal dalam perspektif keadilan berbangsa dan bernegara yang berdampak pada mentalitas dan moralitas sosial yang negatif.
Penulis dapat menggaris bawahi bahwa sesungguhnya dalam perdamaian dan melahirkan UU khusus kepada Aceh telah menempatkan Republik Indonesia sebagai negara paling demokratis yang sempat mengundang nama Susilo Bambang Yudoyono (SBY) presiden ke Enam sebagai salah seorang dominasi peraih Nobel dalam konteks perdamaian di Aceh.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa kondisi kehidupan masyarakat di Aceh justru tak berdaya baik sebagai warga negara yang mumpuni atau sekedar pengembangan ekonominya yang stagnan.
Bahkan yang dirasakan adalah konspirasi anggaran daerah oleh eksekutif, legislatif dan yudikatif begitu sempurna.
Alhasil penerapan otonomi khusus dan puluhan Trilyun dana otsus hanya menjadi alasan memperkaya para pemimpin dalam pemerintahan sementara rumah tempat tinggal rakyat masih banyak yang reot, pendapatan masyarakat tetap saja rendah, lapangan pekerjaan begitu sulit dan mereka tidak bisa berharap kepada pejabat dan petinggi partai politiknya untuk membawa soalan ini ke pemerintah mereka sendiri.
Bangsa Indonesia pada tingkat masyarakat akar rumput pada umumnya melihat politik sebagai partai politik. Demikian pula halnya dalam pengetahuan sosial di Aceh sedikit sekali warga masyarakat yang mampu melihat politik dan partai politik sebagai dua hal yang berbeda.
Prilaku politik adalah prilaku rata-rata anggota dan pimpinan partai politik baik daerah maupun pusat yang dipandang sebagai kesenjangan antara realitas hidup diantara kedua elemen dimaksud. Partai politik belum menjadi alat politik yang sesungguhnya bagi masyarakat sebagaimana latar belakang lahir dan keberadaannya.
Menurut hemat penulis partai politik di negara ini masih dalam sandera oleh pengurus dan pendiri partai politik itu sendiri. Maka partai politik dalam fungsinya terdegradasi dalam industri sebagai alat penghasil uang bagi pengurus yang terkesan sebagai pemilik partai, dengan bahasa sederhana ibarat sebuah pabrik penghasil uang bukan penghasil trust sosial sebagaimana harapan terhadap politik rakyat yang sesungguhnya.
Kesenjangan ini membedakan fungsi partai politik dimata rakyat, dimana pimpinan partai dipandang sebagai orang kaya dan rakyat sebagai si miskin yang mengharapkan bantuan dari partai politik.
Kenapa hingga demikian posisi rakyat dalam politik kepartaiannya?
Jawabannya tidak lain karena pembangunan politik dalam partai politik masih terpelihara budaya kepemimpinan masa lalu yang otoriter dimana anggota  partai tunduk patuh pada perintah atasan tanpa reserve dan mengikuti garis komando sebagaimana pasukan serdadu dalam berperang.
Oleh karena itu pengelolaan partai politik dan pengelolaan politik dalam partai sungguh miskin apalagi dengan konsep yang mengacu pada teori politik yang mengedepankan pemikiran, ide dan gagasan dalam ilmu politik.
Kita berharap partai politik suatu masa berada diposisi tahapan advanced yakni tidak hanya sebagai lembaga yang membeli suara rakyat tetapi dapat juga beraktivitas sebagai lembaga yang mengkaji dan melakukan survey dan penelitian sisi hidup masyarakat sebagaimana idealnya aktivitas kantor partai politik di daerah negara demokrasi yang berjuang memperbaiki kehidupan rakyat daerah untuk menuju ke tahap pencapaian kesejahteraannya.
Nah,,,untuk lebih mudah memahami kondisi kekinian partai politik maka indikator awam lihat saja fungsi kantor partai politik sebahagian besar dibuka hanya saat pemilu, pada hari-hari biasa kantor ditutup rapat apalagi warga miskin banyak yang meminta bantuan. Bila kantor dibuka tidak lebih hanya untuk bermain domino di dalam kantor partai politik, jika tidak begitu maka mereka sulit berkumpul.
Artinya apa?
Tentu saja mereka hanya mencari pekerjaan dengan peluang yang dibuka oleh pemerintah pada saat pemilu legislatif dan pemilukada.
Karena itu masalah-masalah kehidupan rakyat dan advokasi rakyat yang merupakan adu gagasan dalam memberikan pendidikan politik rakyat sama sekali miskin bahkan papa dalam statusnya, maka lihatlah isi kampanye pada saat menjelang pemilu paling-paling prapaganda dengan issu bantuan rumah dhuafa, bantuan peralatan ibadah, bantuan peralatan alat usaha yang menggunakan fasilitas pemerintah. Bahkan peran mereka wakil rakyatpun terseret dalam keagenan pemerintahan.
Indikator politiknya apa? Ya semua partai politik hanya rebutan untuk bergabung dalam pemerintahan untuk bisa membantu rakyat memperoleh akses kepada pemerintah, maka partai oposisi dan kelompok rakyat yang oposisi hanya berada diruang sentimen politik.Â
Rakyat tidak memiliki oposisi dan tentu saja partai politik akan ditinggalkan pengikutnya karena tidak bisa membantu masyarakat secara pragmatis dan sporadis.
Padahal pembangunan rakyat dalam politik adalah membentuk profil manusia secara mentalitas yang terbaik bagi sumber daya manusia politik sehingga mereka menjadi orang-orang terpercaya dalam fungsi kepemimpinan rakyat disetiap tingkatan.
Inilah sumber masalah dalam politik kepemimpinan partai yang jauh dari harapan politik yang sebenarnya dimana mereka bisa membangun kepercayaan (trust) sebagai alat tukar dalam politik yang berbeda dengan alat tukar pragtis dalam kehidupan ekonomi masyarakat yakni uang fiat sebagaimana Rupiah, Dollar, Pounsterling dan lain-lain.
Justru karena itu maka kesenjangan yang tinggi hidup orang partai politik dan rakyat dalam taraf hidupnya sangat jauh berbeda karena apa?
Karena pengetahuan politik kalangan orang partai politik dan kalangan rakyat biasa tidak jauh berbeda sekedar mencari peluang lapangan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan perkapitanya sehingga mereka mencapai status sosial yang lebih tinggi daripada warga masyarakat lainnya.
Petinggi Pusat Partai dan Pemerintah
Dengan permasalahan yang terbuka tersebut di atas maka sudah waktunya pemerintah dan petinggi partai politik pusat melihat soalan kehidupan rakyat di wilayah yang bergelar khusus secara arif untuk memberi solusi kepada rakyat.
Diantara pilihan yang tersedia dapat dipilih jalan yang lebih mudah yaitu menempatkan pemimpin rakyat yang layak dan memahami membangun tahapan kesejahteraan rakyat sebagaimana cita cita negara.
Diantara banyak pilihan maka para pimpinan partai politik dan pemerintah dipusat bisa memberikan pilihan kepada rakyat antara pembangunan rakyat Aceh yang normal dan pilihan bertahan dengan kondisi politik sosial sebagaimana keadaan sekarang atau sering disebut sebagai Status Quo Sosial.
Pertama, Menghadapi pemilukada kali ini setidaknya pimpinan partai politik pusat dalam melakukan penyaringan calon gubernur perlu filter yang lebih jernih minimal yang dapat menjadi alat politik untuk membangun perjanjian baru bagi rakyat Aceh, setidaknya bisa membangun trust sosial yang baik bagi Republik Indonesia dan mampu meletakkan dasar pembangunan rakyat yang sesungguhnya.
Kedua, Mengingat Aceh sebagai daerah khusus maka sudah sewajarnya diurus secara khusus, setidaknya petinggi partai politik meminimalisir sebatas kekuasaan kelompok politik partai untuk memberikan tahapan kesejahteraan bagi rakyat Aceh yang selalu dalam sandera kepentingan politik kekuasaan para pihak.
Ketiga, Partai politik pusat sudah waktunya memberi kesempatan kepada warga masyarakat Aceh yang memililiki potensi membangun Aceh setidaknya menjadi daerah yang lebih terbuka dan mampu memberi keadilan kepada seluruh rakyat dalam perspektif apapun jua.
Keempat, Petinggi partai politik di pusat dan pemerintah pusat harus dapat melihat masyarakat Aceh dengan hati sehingga pemilukada tidak hanya melahirkan kepentingan kekuasaan partai politik, idealnya untuk sementara partai politik diarahkan untuk menahan diri dan memberi kesempatan kepada elemen masyarakat lain untuk membawa kondisi politik dan kondisi sosial yang normal sehingga perjuangan rakyat Aceh tidak hanya di rasakan oleh kelompok yang bisa melakukan rongrongan terhadap pemerintah.
Kelima, Pemimpin partai politik pusat juga sudah seharusnya membangun kesabaran agar tidak menghadap partai politik lokal dengan partai politik nasional dalam pemilukada kali ini karena dapat membangun kembali dikotomi diantara kedua jenis partai tersebut yang berpeluang membangun isme yang tidak baik dalam pengaruh politik partai lokal dan membuat partai menjadi semakin tertutup.
Keenam, Jangan sampai rakyat Aceh mensinyalir bahwa pemerintah dan pimpinan partai politik pusat sengaja membiarkan Aceh dalam pembodohan sosial dengan memelihara pemimpin rakyat yang dipahami otoritarian, untuk mudah menguasai Aceh melalui satu atau dua orang saja.
Demikian yang dapat saya sampaikan semoga bermanfaat.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H