Mohon tunggu...
Akbar Sanjaya Rambe
Akbar Sanjaya Rambe Mohon Tunggu... Psikolog - Psikologi Dan Teknologi Informasi

Psikologi, Teknologi Informasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Toleransi

23 April 2024   09:54 Diperbarui: 23 April 2024   10:01 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Din, Dinda, ke bawah yuk, Ibuk nyuruh kita makan di bawah."

"Eum, enggak deh Gus, aku udah kenyang, baru makan tadi."

"Yah, aku sendiri di bawah."

"Tunggu ya aku ajak yang lain ya."

Jadilah aku memanggil teman-teman kos yang lain yang ternyata sudah berkumpul karena mendengar Ibuk kos menyuruh makan di rumahnya, di lantai satu.

"Gimana nih. Ga enak loh sama Ibuk."

"Aman gak tu ya?"

"Iyaa, halal gak itu ya?"

"Ibuknya catering kok, tadi aku liat petugas cateringnya."

Perdebatan itu masih berlangsung antar kami yang masih ragu menerima tawaran Ibuk kos. Oh ya fyi aku tinggal di sebuah kos di mana pemiliknya adalah seorang Nasrani taat. Ini juga baru kuketahui setelah melihat tanda salib di dalam rumahnya saat masuk kos pertama kali. Waktu itu aku berdua dengan Agik. Melihat tanda tersebut kami pun saling berpandangan dan memiliki maksud yang sama. Setengah tahun lebih kos di situ, aku merasakan nyaman-nyaman aja. Apalagi yang mendominasi tinggal di kos tersebut adalah mahasiswa S2 yang berasal dari Sumatera. Hanya sedikit yang asli Jawa. Dampaknya, aku nyambung banget sama mereka. Nyambung kalau cerita. Selera humornya tinggi. Suaranya apalagi, menggelegar. Mungkin Bapak dan Ibuk kos udah elus-elus dada di lantai satu. Gimana enggak, subuh hari kita udah ribut. Apalagi kalau hari Senin Kamis, bangunnya udah lebih awal karena sahur. Sementara Ibuk dan Bapak kos masih terlelap tidur.

Bapak kos aku seorang pendeta di gereja. Tak jarang rumahnya menjadi tempat berkumpul jamaahnya. Dalam sebulan, di rumah Bapak kos sering mengadakan acara entah itu latihan menyanyi, arisan, dan sebagainya. Hingga pada suatu malam, teman ku yang baru pindah bertanya dan merasa risih karena tidak terbiasa dengan hal ini.

"Gapapa kok, lagian kan ini cuma sebulan sekali. Bapak dan Ibuk lebih sering mendengar kita mengaji saat subuh dan maghrib. Ga hanya satu yang mengaji, tapi banyak."

"Iya juga ya."

Begitulah, pada akhirnya kami terbiasa dengan hal ini. Bapak dan Ibuk juga baik sekali. Mereka memiliki kebun yang setiap kali panen, mereka selalu membagikannya dengan semua anak kos. Hingga semalam, ada ibadah di rumah mereka dan mengundang kami, anak-anak kos untuk makan seusai tamu undangan pulang.

Sampailah pada satu keputusan di mana kami meng-iya-kan permintaan Ibuk, mengundang makan di rumah. Di sana tersedia nasi, ayam, telur, sayur, dan buah-buahan. Kami pun makan bersama. Kami ada bertujuh dan semuanya memakai jilbab. Beberapa tamu Ibuk belum pulang dan masih mengobrol. Ku lihat petugas catering yang sibuk menyiapkan makanan.

"Gapapa kok dek InsyaAllah."

Aku meyakinkan adik kos yang dari wajahnya sudah dapat kubaca raut kecemasan.

"Kenapa dek?" sedikit berbisik aku bertanya kepadanya yang dari tadi hanya mengaduk-aduk makanannya.

"Ga kemakan sama aku Mbak" (Maksudnya dia ndak bisa makan karena masih ragu)

"Yaudah ke atas aja, disalin aja nasinya"

Dia pun ke atas untuk menyalin (membuang) makanan yang ada di piring. Tidak berapa lama, ia kembali ke bawah membawa piring dengan kondisi makanan yang sudah ludes.

Selesai makan, kami mengumpulkan piring menjadi satu. Dua orang temanku membawa ke belakang dan mencucinya. Sementara yang lain masih duduk sambil minum air putih dan memakan buah. Setelah selesai, kami pun pamit dan mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan Ibuk kos. Beberapa dari kami membawa buah salak dan pisang yang tersisa.

"Kenapa Dek?"

"Ini dia tadi habis cuci piring bekas makan dan khawatir, jadi pengen disamak."

Temanku yang satu menjawab pertanyaanku ketika kulihat raut wajah cemas adik yang tadi ndak jadi makan.

"Gapapa kali dek, kita ndak boleh terlalu begitu. Lagian Bapak dan Ibuk kos juga tahu kalau kita semua muslim. Kita pakai jilbab. Makanannya juga catering."

"Iya Mbak tadi aku tanya ustadz terus ini jawabannya"

Dia menunjukkan pesan whatsapp dari ustadz dan ternyata memang ga perlu untuk disamak karena memang tidak ada najis. Akhirnya setelah dijelasin dan dibantu oleh temanku yang dari jurusan sosiologi (tentang hubungan dan kematangan sosial), ia pun mengerti.

Hingga subuh tadi pagi, lantunan ayat Al Qur'an masih terdengar di rumah itu. Terkadang sahut-sahutan dengan nyanyian yang biasa dinyanyikan di gereja.

Indahnya toleransi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun