Baskara merasa terluka. Ia melangkah pulang dengan gontai. Dadanya terasa nyeri. Namun ia belum menyerah. Ia tak rela semua pengorbanannya sia-sia.Â
Baskara kembali ke rumah itu di hari berikutnya. Ia setia menunggu Sonia dan berusaha mengembalikan ingatan perempuan itu tentang dirinya.
"Kamu ingat kan waktu itu? Kamu memegang pisau berdarah itu. Aku yang melihatmu. Tak ada orang lain. Aku yang menggantikanmu." Baskara berusaha mengembalikan ingatan Sonia. Mata perempuan itu membelalak. Bibirnya gemetaran. Ia menggelengkan kepalanya. Ada genangan yang hampir tumpah di sudut matanya.
"Tidaak...Tidaaakk!" Sonia menjerit histeris lalu berlari masuk ke dalam rumah.
"Sonia, tunggu!" seru Baskara. Namun pintu itu telah tertutup. Baskara menelan kembali rasa kecewanya.
Tak berapa lama pintu kembali terbuka. Keluarlah seorang laki-laki dari dalam rumah. Wajahnya tampan namun tidak ramah. Ia menatap Baskara dengan pandangan tak suka.
"Kenapa kamu datang kemari? Dasar pembunuh!" bentak lelaki itu. Baskare menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak! Aku bukan pembunuh! Aku hanya..."
"Lalu apa namanya kalau menghilangkan nyawa orang lain?" potong lelaki itu penuh dengan kemarahan.Â
"Gara-gara kamu, istriku mengalami depresi luar biasa. Apakah tidak cukup bagimu untuk membuat istriku menderita selama sepuluh tahun ini? Ia sudah kehilangan ayahnya yang terbunuh secara kejam dan mengenaskan. Kini ia hampir melupakan semuanya. Jangan ganggu dia lagi! Enyahlah! Kembalilah pada hidupmu sendiri!" sambung laki- laki yang mengaku sebagai suami Sonia itu.
Baskara terdiam mematung. Napasnya tersengal. Dadanya kembali seperti ditusuk puluhan belati. Apa tadi yang dia bilang? Pembunuh? Ia tidak membunuh! Ia hanya memegang pisau yang berdarah itu.Â