Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan dalam Lukisan

17 Juni 2019   09:40 Diperbarui: 17 Juni 2019   10:05 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kulihat jam di pergelangan tanganku. Sepuluh menit lagi kereta yang kutumpangi sampai di stasiun terakhir. Sepanjang usiaku, aku tak pernah melakukan perjalanan sendirian sejauh ini. Kedua eyangku tak pernah membiarkanku pergi sendirian. Jarak ratusan kilometer yang kutempuh ini bukan tanpa tujuan. Ada yang harus kutemui di kota ini, seseorang yang membuatku gelisah dan tak bisa tidur nyenyak.

"Nanti kalau Ndoro kakung bertanya saya harus jawab apa? Sebentar lagi beliau akan bangun untuk berangkat misa pagi." Mbok Mah bertanya dengan wajah khawatir. Aku memang berencana pergi tanpa memberitahu kedua eyangku.

"Katakan saja aku ada tugas luar kota Mbok. Paling besok aku sudah pulang," jawabku pada perempuan yang menjadi pengasuhku sejak kecil itu. Maka selepas dini hari tadi, aku meninggalkan rumah diam-diam. Kuharap Mbok Mah bisa meyakinkan kedua eyangku  bahwa aku akan baik-baik saja.

*****

Semua bermula dari sebuah lukisan wajah perempuan yang kutemukan di sebuah akun facebook.  Lukisan wajah perempuan itu sungguh mirip denganku. Aku hampir tak bisa menemukan perbedaan wajah perempuan dalam lukisan itu dengan wajahku sendiri. Hanya ada tahi lalat kecil di bagian bawah mata kiri pada wajah perempuan dalam lukisan itu  yang tak kupunyai. Selebihnya, aku serasa  duduk di depan cermin, menatap bayanganku sendiri.

Pada bagian bawah lukisan itu tertulis sebait puisi tentang kerinduan. Puisi romantis itu menggambarkan  betapa dalam cinta penulisnya pada pemilik wajah dalam lukisan itu. Kuat dugaanku pelukisnya memiliki hubungan khusus dengan perempuan dalam  lukisan itu. Tapi hubungan apa dan siapa? Aku jadi ingin tahu.

Aku sudah menuliskan pertanyaan tentang siapa yang menjadi model lukisan itu pada  kolom  komentar.  Namun sampai kini tak ada tanggapan apapun dari pemilik akun itu. Aku semakin penasaran. Siapa sebenarnya model lukisan itu? Mengapa ia sangat mirip denganku?

Pemilik akun facebook itu bernama  Bramantyo. Aku pertama kali meminta pertemanan dengannya karena  tertarik pada karya lukisannya yang begitu hidup dan natural. Aku yang juga seorang pelukis banyak belajar dari goresan-goresan lukisan Bramantyo. Kami memang sama sekali belum pernah melakukan obrolan  secara pribadi. Hanya beberapa kali aku berkomentar di bawah postingan lukisannya. Itu pun jarang ia tanggapi. Sepertinya ia sulit meluangkan waktu untuk membalas setiap komentar yang tertulis di bawah kirimannya         

Bramantyo lelaki yang misterius bagiku. Ia tak pernah memajang foto dirinya di bagian profil. Selain itu ia juga jarang membalas komentar-komentar yang bernada memuji karya-karyanya. Ia hanya membalas seperlunya, atau menjelaskan secara singkat jika ada yang ingin membeli lukisannya itu.

Kemisteriusan lelaki itu semakin nyata. Lukisan terbaru yang dikirim ke dinding akunnya itu membuatku penasaran. Bagaimana ia bisa melukis seorang perempuan dengan wajah yang sangat mirip diriku? Bukankah kami sama sekali tidak pernah bertemu? Aku juga ragu jika ia diam-diam mengintip akunku untuk mendapatkan fotoku di sana. Yang kutahu Bramantyo bukan jenis lelaki iseng yang mau menghabiskan waktunya untuk mengintip akun-akun lain.

 Hingga hari ketiga sejak aku menuliskan  pertanyaan  di kolom komentarnya, Bramantyo belum juga menanggapinya. Kurasa aku tak bisa menahan diri lagi. Tanpa berpikir panjang, segera kususuri informasi tentang keberadaannya lewat foto-foto dalam akunnya.

Usahaku tak sia-sia. Kutemukan  sebuah foto dalam akun facebooknya itu yang menggambarkan kondisi galeri lukisnya  Pada salah satu foto tampak sebuah rumah mungil yang asri dengan papan bertuliskan "Galeri Bramantyo". Lalu tertulis sebuah alamat lengkap di bagian bawah papan nama itu. Alamat itu  cukup jauh dari kotaku. Namun demi sebuah informasi, jarak ratusan kilometer itu tak membuatku surut langkah. Aku membulatkan tekad untuk  menemui lelaki misterius itu.

******

Hari beranjak sore saat aku  berdiri mematung di depan sebuah rumah mungil dengan tanaman hijau di sekelilingnya. Kulihat di bagian samping rumah itu terpasang papan kayu dengan tulisan "Galeri Bramantyo". Aku tersenyum lega.

Sambil menenangkan debar jantung yang makin kencang, kulangkahkan kakiku memasuki halaman. Seorang lelaki setengah baya dengan rambut putih membingkai kepalanya membuka pintu depan. Ia memicingkan matanya saat melihatku. Aku menganggukkan kepalku sopan.

"Pak Bramantyo?" tanyaku sopan. Lelaki itu mengangguk pelan. Mendadak hatiku bergetar. Mengapa aku merasa tak asing dengan lelaki ini? Bukankah ia tak pernah memajang foto profilnya di akun facebooknya? Pandangannya masih tak lepas dariku. Kulihat bibirnya gemetar, entah mengapa. "Saya salah satu pengagum lukisan bapak di facebook. Mmmhh... saya... saya tertarik dengan lukisan bapak yang terakhir," kataku agak terbata-bata.

"Kamu siapa?" tanyanya kemudian. Suaranya terdengar bergetar. Matanya masih menatapku lekat.

"Saya Triana," jawabku. Lelaki bernama Bramantyo itu menghela nafas.

"Kamu... kamu sangat mirip dengan dia." ujarnya masih dengan suara bergetar.

"Dengan model dalam lukisan bapak itu kan? Saya jauh-jauh datang ke sini juga karena ingin mengetahui itu. Mengapa model dalam lukisan itu sangat mirip dengan saya? Kita belum pernah bertemu kan?" tanyaku.

Bramantyo kembali menghela nafas. Tatapannya padaku tak juga lepas. Seolah ingin membandingkan secara detil wujud diriku dengan perempuan dalam lukisannya itu.

"Masuklah Triana," katanya kemudian. Aku pun mengikutinya memasuki ruangan. Di bagian dalam ruang tampak lukisan yang membuatku tak bisa tidur itu. Lukisan itu masih bersandar pada easel berukuran besar. Wajah perempuan itu terlihat sangat detil. Tampak sekali Bramantyo melukisnya dengan penuh perasaan. Beberapa kali lelaki itu menghela nafas panjang, sambil memandangiku dan  lukisan itu bergantian. Seolah ia ingin memastikan betapa miripnya wajahku dengan wajah perempuan dalam lukisannya itu.

"Dia perempuan yang sangat kucintai. Tapi orang tuanya tak merestui hubungan kami. Hampir tiga puluh tahun lalu, kami memutuskan untuk menikah tanpa restu. Namun itu hanya dua bulan. Mereka menemukan persembunyian kami. Lalu  dia dijemput pulang. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi sejak itu." Suara Bramantyo  terdengar getir.

"Siapa nama perempuan itu, Pak?" Tiba-tiba tubuhku bergetar hebat saat menanyakan itu. Sesuatu yang selama ini gelap bagiku seakan menemukan sinar terang. Aku berharap dugaanku benar.

" Nama istriku Pratiwi." Bramantyo menyebutkan sebuah nama yang sangat akrab di telingaku. Nama yang tak pernah kuhapus dalam ingatan masa kecilku.

Kurasakan lututku mulai gemetar. Pandanganku mengabur karena air mata. Teringat kembali aku pada malam-malam saat Mbok Mah mengantarkan tidurku dengan cerita-ceritanya.

"Ibumu meninggal sesaat setelah melahirkanmu. Selama mengandungmu,  ibumu itu sudah lemah jiwa dan raganya karena menahan rindu pada suaminya.  Ibumu  yang lemah tak sanggup bertahan saat mengalami proses melahirkan yang sulit," kata Mbok Mah waktu itu.

Tak kuasa aku menahan air mata yang berguliran mengaliri pipiku.  Kini aku paham mengapa sikap kedua eyangku sangat tertutup  setiap aku menanyakan tentang kedua orang tuaku.

"Mereka sudah meninggal. Jangan tanyakan itu lagi. Sekarang kamu hanya punya  eyang." Begitu selalu jawab eyang. Mungkin  mereka tidak  pernah menyangka bahwa jaman telah berubah. Aku bisa mendapatkan informasi apa saja hanya dengan ketukan jariku saja.

Masih gemetaran, aku meraih tangan lelaki berambut putih itu. Kuciumi dengan penuh rindu. Lalu dari bibirku keluar kata-kata bercampur isak keharuan.

"Pak Bramantyo, Pratiwi itu ibuku. Anda... Anda ayahku." Aku tak sanggup lagi menahan sesak di dadaku. Semuanya tumpah dalam tangis keharuan. Bramantyo menatapku dengan pandangan tak percaya. Kulihat bibirnya bergetar hebat. Lalu muncul  genangan di kedua matanya. Ia melangkah mendekat.

"Kamu? Sungguhkah ini kamu putriku?" Suara Bramantyo tak kalah gemetarnya. Kuanggukkan kepalaku kuat-kuat.  Lalu aku langsung menghambur dalam pelukan lelaki itu. Kami bertangisan dalam rasa sakit dan haru yang teraduk-aduk. Tak pernah kusangka dalam perjalanan hidupku, aku  mencatat sejarah terhebat sore itu.

*dimuat di Majalah Hidup, Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun