"Masuklah Triana," katanya kemudian. Aku pun mengikutinya memasuki ruangan. Di bagian dalam ruang tampak lukisan yang membuatku tak bisa tidur itu. Lukisan itu masih bersandar pada easel berukuran besar. Wajah perempuan itu terlihat sangat detil. Tampak sekali Bramantyo melukisnya dengan penuh perasaan. Beberapa kali lelaki itu menghela nafas panjang, sambil memandangiku dan  lukisan itu bergantian. Seolah ia ingin memastikan betapa miripnya wajahku dengan wajah perempuan dalam lukisannya itu.
"Dia perempuan yang sangat kucintai. Tapi orang tuanya tak merestui hubungan kami. Hampir tiga puluh tahun lalu, kami memutuskan untuk menikah tanpa restu. Namun itu hanya dua bulan. Mereka menemukan persembunyian kami. Lalu  dia dijemput pulang. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi sejak itu." Suara Bramantyo  terdengar getir.
"Siapa nama perempuan itu, Pak?" Tiba-tiba tubuhku bergetar hebat saat menanyakan itu. Sesuatu yang selama ini gelap bagiku seakan menemukan sinar terang. Aku berharap dugaanku benar.
" Nama istriku Pratiwi." Bramantyo menyebutkan sebuah nama yang sangat akrab di telingaku. Nama yang tak pernah kuhapus dalam ingatan masa kecilku.
Kurasakan lututku mulai gemetar. Pandanganku mengabur karena air mata. Teringat kembali aku pada malam-malam saat Mbok Mah mengantarkan tidurku dengan cerita-ceritanya.
"Ibumu meninggal sesaat setelah melahirkanmu. Selama mengandungmu,  ibumu itu sudah lemah jiwa dan raganya karena menahan rindu pada suaminya.  Ibumu  yang lemah tak sanggup bertahan saat mengalami proses melahirkan yang sulit," kata Mbok Mah waktu itu.
Tak kuasa aku menahan air mata yang berguliran mengaliri pipiku.  Kini aku paham mengapa sikap kedua eyangku sangat tertutup  setiap aku menanyakan tentang kedua orang tuaku.
"Mereka sudah meninggal. Jangan tanyakan itu lagi. Sekarang kamu hanya punya  eyang." Begitu selalu jawab eyang. Mungkin  mereka tidak  pernah menyangka bahwa jaman telah berubah. Aku bisa mendapatkan informasi apa saja hanya dengan ketukan jariku saja.
Masih gemetaran, aku meraih tangan lelaki berambut putih itu. Kuciumi dengan penuh rindu. Lalu dari bibirku keluar kata-kata bercampur isak keharuan.
"Pak Bramantyo, Pratiwi itu ibuku. Anda... Anda ayahku." Aku tak sanggup lagi menahan sesak di dadaku. Semuanya tumpah dalam tangis keharuan. Bramantyo menatapku dengan pandangan tak percaya. Kulihat bibirnya bergetar hebat. Lalu muncul  genangan di kedua matanya. Ia melangkah mendekat.
"Kamu? Sungguhkah ini kamu putriku?" Suara Bramantyo tak kalah gemetarnya. Kuanggukkan kepalaku kuat-kuat.  Lalu aku langsung menghambur dalam pelukan lelaki itu. Kami bertangisan dalam rasa sakit dan haru yang teraduk-aduk. Tak pernah kusangka dalam perjalanan hidupku, aku  mencatat sejarah terhebat sore itu.