Mohon tunggu...
Tantrini Andang
Tantrini Andang Mohon Tunggu... Penulis - penulis cerpen dan buku fiksi

menulis itu melepaskan hal-hal yang biasa menjadi luar biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Si Ganteng di Warung Mie Pangsit

23 April 2017   15:39 Diperbarui: 27 April 2017   18:00 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Mie pangsit satu, Pak.” Terdengar suara dari arah belakangku. Suara  itu  sangat kukenal. Jantungku berdebur keras. Hampir saja mangkok yang sedang kupegang terlepas. Kulihat sosok tubuh tegap itu duduk di kursi favoritnya, di dekat meja racik bapak.

Twing!

Ternyata pemilik suara itu juga sedang melirikku. Ia melempar senyum padaku. Manis banget! Wajahku langsung memanas.

Kucluk!

Aku mengumpat-umpat dalam hati. Lalu kulanjutkan lagi pekerjaanku melap mangkok sambil mengatur suara dag dug di dadaku. Duh noraknya! Kenapa sih dia selalu membuatku jadi blingsatan  kayak monyet kena sumpit gini?

Cowok berbadan tegap itu memang akhir-akhir ini rajin datang ke warung mie pangsit bapak. Penampilannya selalu keren dan wangi. Wajahnya  yang bersih dan senyumnya yang manis mengingatkanku pada  Ello, vokalis idolaku yang ganteng itu.

“Baik mas, minumnya apa ya?” jawab bapak  pada si ganteng.

“Teh manis hangat ya Pak,” jawab cowok itu lagi. Bapak menganggukkan kepala dan segera menyiapkan mie pesanannya. Perlahan kutolehkan lagi kepalaku ke arah cowok itu. Yap! Si ganteng itu  tersenyum lagi, makin manis. Duh malunya aku!  Pipiku pun  terbakar lagi. Kata bapak kalau sedang tersipu seperti itu, pipiku akan berubah warna menjadi  merah jambu. Wah, pasti si Ello  KW1 itu melihatnya!

Buru-buru kubereskan mangkok-mangkok mie yang sedang kulap dengan serbet. Masih dengan tangan gemetar, aku mengangkat tumpukan mangkok ke meja racik bapak. Untunglah tak ada yang merosot jatuh dan pecah gara-gara aku tak bisa menghentikan getaran tanganku ini.

“Siapkan teh buat mas yang itu Sri,” kata bapak sambil menunjuk pada si ganteng. Waduh? Nyiapin teh buat dia? Wah, bapak mau menyiksaku rupanya!

“Eh…tapi masih ada cucian mangkok yang belum selesai, Pak.” Aku berusaha membuat alasan.

“Itu bisa nanti, Ndhuk. Kasihan kalau pelanggan kita terlalu lama menunggu.” Bapak memaksa. Akhirnya terpaksa kusiapkan teh manis hangat pesanan si ganteng yang aku belum tahu namanya itu.  

“Cepet ya Sri!” Bapak kembali mengingatkan. Aku hanya mengangguk-angguk mirip  burung kukuk yang terangguk-angguk di jam dua belas.

Menyiapkan teh hangat yang sedap bukan hal baru bagiku. Aku sudah terbiasa membantu bapak di warung mie pangsitnya ini. Tinggal tuang air panas ke dalam poci berisi seduhan teh kental, lalu kutuang seduhan itu dalam gelas yang telah berisi beberapa bongkah gula batu.

Setiap pulang sekolah aku langsung menuju warung bapak dan membantu bapak hingga menjelang malam. Semenjak ibu meninggal setahun lalu, tinggal bapak dan aku yang melanjutkan usaha warung mie pangsit ini. Tugasku adalah membersihkan alat makan, membuat minuman, dan menyajikan hidangan ke pelanggan. Dulu ibu pernah mengajariku menyiapkan mie, namun bapak rupanya belum mempercayakan tugas itu padaku saat ini.

Aku menjalani tugasku ini dengan senang hati. Sampai akhirnya si ganteng itu menjadi pelanggan tetap warung mie bapak. Sialnya si ganteng itu mulai mencuri perhatianku. Semprulnya lagi, tampaknya dia tahu kalau ia berhasil mengobrak-abrik isi hatiku. Caranya melempar senyum itu seolah mengatakan “Aku ganteng ya? kamu suka kan?”Sialan…Sialan!

Selama membantu di warung mie bapak, banyak pelanggan (yang cowok tentunya) yang berusaha menarik perhatianku. Kata mereka aku manis. Ehem..ehem..ada yang bilang aku mirip Jessica Alba lho.. he he. Bagaimanapun aku bangga. Meskipun aku   anak tukang mie pangsit, wajahku nggak kalah dengan para model yang berseliweran di iklan-iklan tivi itu.

Bapak bukannya tak tahu kalau ada beberapa pelanggan prianya yang berusaha mendekatiku. Namun sebagai seorang bapak, beliau tidak pernah memanfaatkan keadaanku ini. Misalnya menjadikanku sebagai maskot di warungnya. Atau membuat gantungan kunci dengan gambar wajahku sebagai souvenir, lalu dibagi ke para pelanggan setia. Wah nggak dong! Bapak selalu bersikap ramah pada pelanggan, namun sikap ramahnya akan berubah jadi galak kalau ada pelanggan yang mulai kurang ajar padaku.

“Lebih baik bapak kehilangan pelanggan daripada kehilangan kehormatanmu, Ndhuk,” ujar bapak suatu hari. Saat itu bapak baru saja memarahi seorang pemuda yang berusaha mencolek pipiku saat aku sedang menyajikan mie pangsitnya.

Sejak saat itu memang tak ada yang berani mencoba-coba menggodaku. Kalaupun ada yang naksir aku, mereka akan melakukan pendekatan dengan cara yang  lebih sopan. Sayangnya aku bukan gadis yang gampang jatuh cinta. Dari beberapa cowok yang datang ke rumah, tak ada satu pun yang berhasil menarik hatiku. Ada yang mengataiku sombong lalu tidak pernah muncul lagi ke warung bapak. Namun itu tidak membuat bapak gusar. Beliau malah mendukungku.

“Hati-hati memilih teman!” Itu saja pesan bapak.

Namun anehnya, menghadapi si ganteng yang satu ini, aku  selalu blingsatan kayak cacing ditaburi garam. Aku bahkan sering kebingungan mencarinya kalau ia tak datang ke warung bapak. Waduh...jangan-jangan…

“Sudah siap, Ndhuk?” Bapak membuyarkan lamunanku. Buru-buru  kuaduk gula dalam gelas teh hangat  itu.

“Iya pak sudah.” Aku berusaha  menyembunyikan getaran suaraku.

“Cepat antar ke mas itu!” perintah bapak lagi. Suara drum di dadaku pun semakin kencang. Lalu kuusung baki berisi mangkok mie pangsit dan segelas teh hangat  ke depan si ganteng.

Glek! Aku menelan ludah.

Cowok itu masih menatapku. Dari mulai aku berjalan hingga  meletakkan mangkok dan gelasnya, pandangannya tak lepas dariku.

“Makasih ya,” ujarnya lembut.

Brul!

Bulu-bulu di tanganku langsung berdiri tegak. Aku hanya meliriknya sekilas sambil melempar senyum sedikit dan segera pergi menjauh. Aku tak mau ia semakin menelanjangi kegugupanku.

Hari-hari berikutnya, si ganteng semakin sering mengunjungi warung mie bapak. Bahkan ia bisa datang lebih dari sekali. Paginya datang, saat makan siang juga, dan malamnya  datang lagi. Kadang aku tersenyum geli membayangkan ada gudang mie dalam perutnya karena seharian makan mie terus. Tapi kok aku senang ya? Kenafa?… kenafaaa?

“Namamu Asri kan?” tanyanya suatu hari saat aku menghidangkan semangkok mie pangsit di mejanya. Oh Tuhan, dia tahu namaku! Tiba-tiba aku merasa tak sanggup menahan kepalaku yang makin berat karena ge er. Duh, jangan biarkan kepalaku pecah di depannya Tuhaaan! Aku hanya mengangguk. Sialan banget, mulutku jadi kayak ketumpahan sebotol lem. Lengket tak bergerak!

“Alan. Namaku Alan.” Ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum sangaaat manis. Beberapa saat aku hanya bisa memandang tangannya yang kekar itu menggantung di udara. Perlahan kusambut dengan tanganku sendiri yang lalu digenggamnya erat. Tiba-tiba aku  seperti kemasukan listrik 1000 volt! Dan senyum itu…Duh! Membuatku tidak bisa tidur memikirkannya. Norak banget kamu Sri! jeritku dalam hati. Tapi aku senang!

 “Pelanggan kita yang satu itu ganteng ya Sri?” tanya bapak suatu sore saat warung hampir tutup. Aku tersentak dan gugup. Rupanya bapak juga ikut memperhatikan si Alan itu tiap kali datang. Wajahku langsung memanas lagi.

“Emmm yang mana ya pak?” tanyaku berlagak bloon. Padahal aku tahu percuma saja bersikap pura-pura bego di depan bapak. Dan benar, bapak hanya tertawa kecil.

“Sri..Sri.. jangan pura-pura bodo to! Bapak tahu kok kamu udah kenalan sama dia. Namanya siapa?” tanya bapak lagi bernada menggoda. Aku terdiam sesaat menyembunyikan kegugupanku.

“Alan pak…namanya Alan,” jawabku malu-malu. Bapak tertawa lagi.

“Nah tuh, benar kan kamu udah kenalan? Kenapa malu-malu gitu? Hati-hati Ndhuk kalo memilih teman. Ingat pesan bapak ya,” kata bapak lagi masih sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk. Bapak memang T.O.P abis deh! Bijaksanaaa banget! I love you bapak! Muah…muahhhh.

Akhirnya suatu hari kesempatan ngobrol itu datang juga. Alan sepertinya sengaja datang saat warung mie agak sepi karena sudah lewat jam makan siang.

“Asri, teh buatanmu enak!” Alan duduk di tempat biasanya, di sebelah meja racik mie. Kulirik bapak yang sedang sibuk mengaduk bumbu mie untuk dimasukkan ke dalam botol. Botol berisi bumbu itu akan mempercepat kerja bapak saat meracik mie pesanan pembeli.

“Ma kasih,” jawabku lirih sambil tersipu. Dengan lincah kutuang beberapa bongkah gula batu dalam gelas berisi seduhan teh. Soal teh yang enak, aku percaya, Alan memang tak bohong. Bapak sendiri juga mengakui kok kalau teh buatanku rasanya pas. Manisnya, wanginya, kentalnya. Mendiang ibuku  yang mengajariku bagaimana meracik teh yang sedap seperti ini.

Setelah selesai, kuangkat segelas teh hangat ke meja Alan. Pipiku seperti terbakar saat aku merasa cowok itu masih memandangiku.

“Kamu juga manis, kayak boneka,” bisiknya lagi, terasa dekat di telingaku. Ooopss, hampir aku pingsan mendengarnya. Aku jadi pengen teriak: Bapak, anakmu dibilang manis sama cowok ganteeeng!

 Hari itu aku merasa berubah menjadi sebuah kebun bunga. Rambutku, wajahku, sampai ujung kakiku serasa penuh bunga. Oh terutama hatiku! Tuhan, ijinkan aku norak sekali lagi!

Namun keesokan harinya, Alan tidak datang. Padahal aku sudah siap-siap pengen pamer senyumku yang paling manis buatnya. Berkali-kali aku memandang pintu warung saat ada pelanggan yang datang, namun saat kutahu itu bukan Alan, aku pun kecewa. Sampai siang cowok kembaran Ello itu tak muncul juga. Hari itu kebun bungaku mendadak layu. Kemana sih dia?

Hari-hari berikutnya, Alan tak datang juga. Aku mulai merasa kehilangan. Namun aku tetap berusaha menutupi kegelisahanku itu dengan tetap menyelesaikan tugasku. Membuat teh, membersihkan alat makan, dan melayani pengunjung, semua kulakukan dengan sebaik-baiknya. Warung mie bapak yang makin ramai pembeli akhirnya membuat bapak dan aku semakin  sibuk. Dan akhirnya aku tak punya waktu lagi untuk melamunkan ketidakhadiran Alan. Kadang memang terbersit rasa penasaran. Aku pengen banget lihat senyumnya lagi. Si Alan yang memang sialan itu sudah berhasil merampok hatiku!

Sampai pada suatu siang, warung mie bapak sedang ramai pembeli.  Alan akhirnya muncul di warung. Ia memakai topi pet warna hitam dan jaket coklat. Wajahnya yang ganteng hanya terlihat separuh karena tertutup topinya yang sengaja diturunkan. Setelah memesan segelas es teh, ia duduk di kursi favoritnya. Sekilas kulihat ia tersenyum padaku. Segera kubalas dengan senyumku yang paling manis, senyum yang sudah kusimpan untuknya selama berhari-hari.

Namun aku melihat ada yang aneh pada raut wajah gantengnya. Ia tampak  gelisah. Berkali-kali ia melongok ke arah jalan raya seakan ada yang dicarinya. Saat aku sedang menyiapkan es teh pesanannya, tiba-tiba ia sudah berdiri di belakangku. Aku tersentak sebentar merasakan tubuh jangkungnya yang begitu dekat denganku. Namun aku menangkap ada semacam ketakutan di matanya.

“Sri, boleh numpang ke toilet nggak?” tanyanya kemudian. Aku yang terpana karena memandang wajahnya sedekat itu hanya bisa mengangguk dengan bego. Lalu Alan berkelebat menuju ke toilet yang ada di belakang warung. Aku melanjutkan membuat teh. Oalahh, ternyata cuma kebelet pipis to? Aku lalu tersenyum geli.

Beberapa saat kemudian dua orang laki-laki bertubuh kekar masuk ke warung.  Yang satu botak, satunya lagi berambut lurus dan disisir ke belakang. Mereka tidak segera mencari tempat duduk, namun memandang berkeliling seolah mencari sesuatu. Bapak yang sedang meletakkan rebusan mie ke dalam mangkok-mangkok lalu mempersilakan mereka duduk. Namun si botak malahan melangkah mendekati bapak.

“Maaf  Pak, apakah tadi ada seorang pemuda memakai jaket coklat dan bertopi masuk kesini?” tanyanya. Mendengar itu, darahku langsung terkesiap. Aku langsung teringat Alan   Ada apa gerangan? Kenapa laki-laki itu mencarinya?

“Wah, saya kurang perhatian pak, warungnya lagi banyak pembeli. Kamu lihat nggak Ndhuk?” Bapak lalu bertanya padaku. Lalu dengan segala kepolosanku aku menceritakan kedatangan Alan yang  datang dengan wajah gelisah. Kukatakan juga ia memakai kostum seperti yang disebutkan laki-laki botak itu.

“Dia masih di toilet belakang pak, dari tadi belum keluar,” jawabku dengan  masih menyimpan tanda tanya. Si botak lalu mengajak temannya yang masih berdiri di pintu untuk menuju ke toilet. Setelah mengucapkan terima kasih padaku, kedua laki-laki itu bersama-sama menuju ke belakang. Bapak memandangku dengan wajah bingung, sama bingungnya dengan aku.

“Kenapa dengan temanmu itu Ndhuk?”

“Nggak tahu, Pak.” Aku menggelengkan kepalaku. Berbagai macam pertanyaan memenuhi benakku. Lewat cara bapak memandangku, aku tahu bapak menduga sesuatu yang tidak beres pada Alan. Aku jadi merasa tidak nyaman. Dengan gelisah aku melanjutkan menuang beberapa bongkah es batu ke dalam gelas teh pesanan Alan. Jadilah segelas es teh yang beraroma sedap. Kuangkat gelas teh itu untuk kubawa ke meja Alan. Pada saat bersamaan, dua orang lelaki yang mencari Alan tadi muncul lagi. Wajah mereka tampak kecewa.

“Dia sudah tidak ada. Rupanya ia tahu kedatangan kami,” kata si rambut lurus.

“Memangnya siapa pemuda itu pak? Lalu bapak-bapak ini siapa?” tanya bapak masih dengan nada sopan.

“Kami polisi pak. Pemuda itu sudah lama menjadi incaran kami karena menjadi copet langganan di dalam bis jalur ini. Ia licin dan susah ditangkap. Hari ini baru saja ia mencopet handphone seorang penumpang. Beberapa orang melihatnya masuk ke warung ini. Kami berusaha mengejarnya, tapi ternyata dia sudah tidak ada,” jelas si botak.

Kraaakk…Proool!

Mendengar itu hatiku langsung remuk menjadi serpihan kecil-kecil. Kurasakan  kepingannya berjatuhan ke dalam gelas es teh yang sedang kupegang.

Cerpen ini diimuat di majalah STORY edisi  34 / 2012

                                                                                             

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun