“Sudah siap, Ndhuk?” Bapak membuyarkan lamunanku. Buru-buru kuaduk gula dalam gelas teh hangat itu.
“Iya pak sudah.” Aku berusaha menyembunyikan getaran suaraku.
“Cepat antar ke mas itu!” perintah bapak lagi. Suara drum di dadaku pun semakin kencang. Lalu kuusung baki berisi mangkok mie pangsit dan segelas teh hangat ke depan si ganteng.
Glek! Aku menelan ludah.
Cowok itu masih menatapku. Dari mulai aku berjalan hingga meletakkan mangkok dan gelasnya, pandangannya tak lepas dariku.
“Makasih ya,” ujarnya lembut.
Brul!
Bulu-bulu di tanganku langsung berdiri tegak. Aku hanya meliriknya sekilas sambil melempar senyum sedikit dan segera pergi menjauh. Aku tak mau ia semakin menelanjangi kegugupanku.
Hari-hari berikutnya, si ganteng semakin sering mengunjungi warung mie bapak. Bahkan ia bisa datang lebih dari sekali. Paginya datang, saat makan siang juga, dan malamnya datang lagi. Kadang aku tersenyum geli membayangkan ada gudang mie dalam perutnya karena seharian makan mie terus. Tapi kok aku senang ya? Kenafa?… kenafaaa?
“Namamu Asri kan?” tanyanya suatu hari saat aku menghidangkan semangkok mie pangsit di mejanya. Oh Tuhan, dia tahu namaku! Tiba-tiba aku merasa tak sanggup menahan kepalaku yang makin berat karena ge er. Duh, jangan biarkan kepalaku pecah di depannya Tuhaaan! Aku hanya mengangguk. Sialan banget, mulutku jadi kayak ketumpahan sebotol lem. Lengket tak bergerak!
“Alan. Namaku Alan.” Ia mengulurkan tangannya sambil tersenyum sangaaat manis. Beberapa saat aku hanya bisa memandang tangannya yang kekar itu menggantung di udara. Perlahan kusambut dengan tanganku sendiri yang lalu digenggamnya erat. Tiba-tiba aku seperti kemasukan listrik 1000 volt! Dan senyum itu…Duh! Membuatku tidak bisa tidur memikirkannya. Norak banget kamu Sri! jeritku dalam hati. Tapi aku senang!