Mohon tunggu...
tanralam
tanralam Mohon Tunggu... -

bukan sesiapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Hendak [Bersusah Payah] Mengubah Catatan di Lauh Mahfuz

6 Agustus 2014   15:37 Diperbarui: 12 Agustus 2015   07:15 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(tulisan satu)

Bayangkanlah semesta ini sebelum segala makhluk hidup diciptakan. Maka kita tahu batas kemampuan pikir kita hanya akan bermuara pada kesimpulan; pada awalnya semesta jagad hanyalah berisi Penciptanya.

Segala benda langit tercipta kemudian bertebaran memenuhi semesta. Bintang-bintang pada selaksa galaksi: lahir, bersinar terang-benderang,  redup, lalu kemudian mati dalam rentang tahun yang tak berbilang.  Peredaran semua bintang pada semua galaksi adalah gerakan patuh pada nasib yang sudah dituliskan oleh Sang Pencipta. Semesta jagad adalah keteraturan dan kepatuhan yang tercipta lewat sebuah kalimat agung: jadi maka jadilah, kun fa yakuun.

Maka dalam keriuhan peredaran segala benda langit semesta tetap saja hening.

Tuhan mungkin saja kesepian dalam keheningan keteraturan jagad  ketika memutuskan untuk menciptakan makhluk hidup.  Jika tidak,  siapakah yang akan tahu dan mengagumi Keagungan, Kemuliaan dan  KebesaranNya? Siapa yang bakal terpesona pada gemerlap selaksa bintang yang diciptakanNya? Makhluk bagaimana yang akan terpana menatap langit  malam dan mengucap kagum pada Pencipta segalanya? MemuliakanNya atas segala kuasaNya?

Istana tempatNya bersemayam kosong dan hening  meski delapan belas ribu dunia di sisi istana itu bergerak dalam kepatuhan mutlak.  Tuhan tetap saja sendiri di semesta seluas itu. Lalu Tuhan ingin keberadaannya diketahui, diakui. Tuhan berkehendak keagunganNya dikagumi. Untuk memperkenalkan diriNya, Tuhan lalu menciptakan makhlukNya dari cahaya juga api, malaikat dan jin.

Mereka hidup di istanaNya dengan taman-taman yang indah, makanan beraneka rupa, pakaian dan perhiasan dari batu-batu permata yang indah.   Mereka bersujud tiada henti menyembah Allah yang Agung. Tiada pengingkaran. Tidak akan pernah hadir ketidakpatuhan.  Penyembahan adalah nafas hidup kedua makhluk surga itu. Sujud pada keagungan Tuhan adalah denyut nadi kehidupan mereka. Hiruk-pikuk kehidupan di surga adalah kepatuhan tiada banding.

Tetapi cukupkah hanya dengan malaikat dan jin sementara Allah tak hanya memiliki istana berupa surga yang megah? Allah juga memiliki bintang-bintang. Dan bintang-bintang itu memiliki planet.  Di sebuah tempat yang sangat berbeda dari surga, Allah menciptakan satu planet biru yang indah. Planet itu berada pada lintasan cakrawala yang begitu sempurna.  Mataharinya berada pada jarak yang tepat untuk sekedar menghangatkan tanpa menghanguskannya. Tidak juga sangat jauh untuk membuatnya beku.

Planet biru ini berada pada kemiringan 23,44 derajat di bidang orbitnya mengelilingi matahari. Angka yang tak berada dalam hitungan bulat tetapi sungguh kemiringan yang diatur begitu sempurna hingga bumi memiliki tempat-tempat dengan iklim berbeda,  musim berbeda. Kemiringan itu membuat sebagian tempat menjadi daerah tropis dan sebagian lain berputar dalam empat iklim yang menakjubkan. Tempat lain menjadi kutub dengan perhitungan waktu yang sungguh ajaib. Kutub Selatan dan Utara menjadi titik imajiner putar bumi pada porosnya. Maka di sana, sepanjang hari adalah segala waktu dari semua tempat di bumi.

Tak ada planet lain yang menyediakan begitu banyak air untuk menopang kehidupan yang memungkinkan beraneka pepohonan tumbuh subur dan rimbun meriah menghijaukan daratannya. Hewan-hewan terbang dan berlarian mengembara di permukaannya. Udaranya sungguh sebuah kemewahan dengan oksigen melimpah untuk nafas kehidupan. Tempat-tempat di planet ini begitu beragam memberi kesempatan hidup yang juga beragam kepada makhluk yang kelak menghuninya. Tetapi siapakah yang pantas menjaga planet biru yang indah ini?

Para malaikat dan jin merasa merekalah yang sungguh layak menghuni dan menjaga  bumi. Mereka patuh dan tak akan pernah berpaling dari Tuhan. Mereka akan menjadi khalifah di muka bumi dengan kepatuhan mutlak.

Tetapi benarkah anggapan para makhluk surga itu?

Bumi tak hanya indah, tetapi juga liar. Karenanya malaikat sungguh bukan makhluk yang tepat untuk mengembara di muka bumi. Kepatuhan lahir dari jiwa-jiwa yang lembut. Jiwa-Jiwa malaikat yang bening hanya layak berada dalam kehidupan surgawi yang indah dan tanpa kesulitan. Kepatuhan  sepertinya bukan senjata yang ampuh  untuk menaklukan liarnya kehidupan di bumi.

Bumi memerlukan satu  bentuk makhluk lain yang lebih tangguh untuk berjalan dan mengembara di permukaannya. Satu makhluk yang di jiwanya bertarung antara kepatuhan dan pengingkaran di saat yang sama. Paduan yang akan membuatnya bertarung melawan diri sendiri sebelum menghadapi dunia lain di luar dirinya. Jika gagal mengalahkan diri sendiri, maka ia akan menjadi makhluk perusak. Tuhan sudah menyiapkan aturan yang sangat jelas untuk kelemahan jiwa seperti itu. Jika berhasil mengalahkan pengingkaran dalam dirinya, maka ia menjadi makhluk mulia yang akan menjaga bumi ini dengan sangat baik. Makhluk itu disebut An-Nas, manusia.

Tuhan mengumumkan keinginannya di hadapan penghuni surga, "Aku hendak menciptakan khalifah di muka bumi."

Serta merta para malaikat menyatakan keberatan mereka. "Apakah Engkau hendak menciptakan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memujiMu dan mensucikan namaMu?"

Allah menenangkan para malaikat dengan mengingatkan Dialah Tuhan, Allah yang Maha mengetahui apa-apa yang makhluknya tidak ketahui, innii a'lamu maa laa ta'lamuun..

Lalu untuk membuktikan kepada para malaikat bahwa makhluk yang Ia ciptakan sungguh sangat  layak menjadi khalifah di bumi, Allah mengajarkan segala sesuatu kepada Adam. Semua nama dari semua benda.  Kemudian Allah membawa Adam ke hadapan semua penghuni surga.

Kepada para malaikat Allah berfirman, "Sebutkan kepadaKu semua (benda) ini jika kamu sekalian yang benar."

Para malaikat menjawab, "Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain apa-apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami."

Ketika Adam dengan cermat mampu menyebutkan nama segala benda di surga saat Allah memintanya menyebutkan semua nama kepada malaikat,  barangkali Tuhan tersenyum puas ketika "menggoda" para malaikat dengan berfirman, "Bukankah telah kukatakan kepadamu bahwa aku mengetahui rahasia-rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?"

Tetapi sungguh benar Adam adalah manusia yang diciptakan dengan segala patuh dan  nafsu yang bersatu di dadanya. Dengan segera Adam menjadi bosan. Ia tak ingin sendiri di surga yang megah itu. Tempat itu terlalu besar untuk ia jelajahi sendiri. Makanan terlalu melimpah untuk dihabiskan olehnya. Keelokan dirinya yang tak tertandingi manusia lain dan selalu dibalut  pakaian-pakaian mewah surgawi tidak berarti apa-apa tanpa ada yang mengaguminya. Lagi pula kepada siapa ia bisa berbagi rasa? Adam sungguh kesepian. Seratus tiga puluh tahun hidup sendiri, rasanya sudah cukup.

Adam menghadap Allah dan memohon Allah berkenan memberinya seorang teman. Allah mungkin iba kepada Adam hingga berkenan mengabulkan permintaan Adam --atau Allah mempunyai rencana lain? Karenanya Hawa lalu dicipta.

Pada titik ini drama kehidupan manusia dimulai.


Salah Perempuan Manusia Diusir ke Bumi?

Kisah  manusia diusir ke bumi adalah separuh kisah tentang pembangkangan iblis kepada perintah Tuhan. Ia enggan sujud kepada Adam dan menyombongkan diri bahwa ia lebih mulia dari Adam. Atas pembangkangan itu, Allah memintanya untuk meninggalkan surga.

Tetapi Allah memang Maha Baik. Dalam murkanya atas pembangkangan itu, Allah membuka ruang negosiasi. Ia mengabulkan permohonan iblis untuk diberi umur yang panjang dan kemampuan untuk membujuk-rayu manusia agar ikut di jalannya. Jalan orang-orang yang ingkar.

Ketika tahu Adam dan Hawa dilarang untuk mendekati pohon khuldi, dengan segera iblis   mendapatkan tugas pertamanya. Ia memperdaya Hawa juga Adam  untuk memakan buah khuldi agar mereka abadi di surga.

Dalam banyak kisah yang dituliskan kemudian, Hawa dipersalahkan. Diceritakan, Hawa ikut membantu iblis merayu Adam untuk memakan buah khuldi. Tetapi bahkan Al Quran menuturkan kisah itu dengan menyatakan bahwa syaitan memperdaya keduanya. Tidak salah satu dari keduanya. Tetapi sesungguhnya tanpa memakan buah khuldi, Adam dan Hawa tetap akan diturunkan ke bumi. Tidakkah memang itu tujuan penciptaannya?

Mari mencoba memahami kisah pengusiran tersebut. Sejak awal Allah yang Agung  menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di  bumi. Dengan atau tanpa menjamah pohon terlarang. Tetapi Allah Maha Bijak ingin mengajarkan manusia bahwa segala kejadian semestinya memiliki penyebab. Meskipun Ia Maha Kuasa dan Maha Berkehendak, tetapi Allah selalu meletakkan pondasi penyebab untuk mendatangkan satu akibat. Tuhan sungguh bekerja dalam kerangka yang sangat sistematis.

Baiklah, Adam dan Hawa memang diciptakan untuk memelihara bumi. Menjadi ayah dan ibu segenap manusia, dari awal hingga akhir zaman.  Tetapi membuat keduanya segera meninggalkan surga haruslah dengan sebuah sebab yang sekaligus mengandung pelajaran penting untuk dikenang dan  dijadikan ingatan yang kuat bagi segenap anak cucu keduanya.

Kisah pengusiran Adam dan Hawa lewat bujuk-rayu syaitan adalah kisah yang membawa pesan sangat jernih dari Allah kepada umat manusia, bahwa dalam menjalani kehidupan di bumi nanti ada aturan yang harus ditaati. Ada yang dibolehkan dan ada yang dilarang. Dan di sepanjang kehidupan mereka kelak, iblis ada untuk terus memperdaya. Dengan sangat jelas Al Quran mengabadikan peringatan Allah kepada Adam ketika Allah berfirman, "Wahai Adam Sungguh iblis musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai dia mengeluarkan kamu dari surga, nanti kamu celaka."

Adam dan Hawa abai. Iblis memperdaya keduanya. Tetapi sekali lagi, dengan itupun Tuhan memberi ingatan bahwa Adam dan Hawa bukanlah malaikat dengan kepatuhan mutlak. Adam dan Hawa adalah manusia dari gumpalan tanah. Dalam jiwa mereka disematkan kepatuhan dan nafsu yang bersanding saling memperebutkan tempat yang dominan. Di cela keduanya bersemayam bimbang dan ragu. Ruang untuk syaitan membisikkan bujuk-rayu.

Tuhan Memang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. Dengan segera Ia menerima tobat Adam. Tetapi sekali lagi Tuhan memberi pesan sangat jelas, "Turunlah berdua dari surga bersama-sama. Sebagian kamu akan menjadi musuh sebagian yang lain. Jika datang petunjuk dariKu, maka ketahuilah barang siapa mengikuti petunjukKu, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka."

Kehidupan di bumi pun dimulai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun